ANALISIS POLA KONSUMSI MASYARAKAT PEDESAAN
DI KABUPATEN BIREUEN - ACEH
Oleh
KHAIRIL ANWAR, SE, M.Si
(Fakultas Ekonomi Universitas Malikussaleh – Lhokseumawe)
ABSTRACT: The aims of this research is to recognize social economic conditions of family (income, education, occupation and family’s size) related to consumption pattern in rural area in Bireuen Regency. Using two stage cluster sampling technique, about 10% of the total population or 120 families were utilized as samples of this study which was conducted during the period of June through August 2009. The data were analyzing by utilized inferential statistic and qualitative descriptions. The result of the study indicates that: (1) the proportion of budget for food consumption is contrary to the total family’s income. On the contrary, the proportion of budget for non food consumption is proportional to the total family’s income, (2) The unskilled workers that need more physical or muscle power rather than education, have the proportion of the food consumption allocation higher than those of skilled workers, (3) The higher the education level the lower the proportion of food consumption allocation or in the other words food consumption proportion is contrary to the education level.
Keywords: income, consumption, education, occupation, family’s size.
PENDAHULUAN
Dalam ilmu ekonomi, pengertian konsumsi lebih luas dari pada pengertian konsumsi dalam percakapan sehari-hari. Dalam percakapan sehari-hari konsumsi hanya dimaksudkan sebagai hal yang berkaitan dengan makanan dan minuman. Dalam ilmu ekonomi, semua barang dan jasa yang digunakan oleh konsumen untuk memenuhi kebutuhannya disebut pengeluaran konsumsi. Dikonsumsi artinya digunakan secara langsung untuk memenuhi kebutuhan.
Manusia sebagai makhluk individu dan sosial mempunyai kebutuhan yang tidak terbatas, baik dalam jumlah maupun jenisnya. Untuk memperoleh berbagai kebutuhan tersebut seseorang memerlukan pengeluaran untuk konsumsi. Dari semua pengeluaran yang dilakukan tersebut sekurang-kurangnya dapat memenuhi tingkat kebutuhan minimum yang diperlukan.
Samuelson (1999) menyebutkan salah satu tujuan ekonomi adalah untuk menjelaskan dasar-dasar prilaku konsumen. Pendalaman tentang hukum permintaan dan mengetahui bahwa orang cenderung membeli lebih banyak barang, apabila harga barang itu rendah, begitu sebaliknya. Dasar pemikirannya tentang prilaku konsumen bahwa orang cenderung memilih barang dan jasa yang nilai kegunaannya paling tinggi.
Konsumen akan memilih barang kebutuhan pokok untuk dikonsumsikan, dengan mempertimbangkan nilai guna dari barang tersebut. Keterbatasan anggaran pendapatan yang diterima oleh masyarakat menyebabkan masyarakat harus menunda untuk mengkonsumsi barang-barang yang mempunyai nilai guna tinggi.
Nurhadi (2000) konsumsi adalah kegiatan manusia menggunakan atau memakai barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan. Mutu dan jumlah barang atau jasa dapat mencerminkan kemakmuran konsumen tersebut. Semakin tinggi mutu dan semakin banyak jumlah barang atau jasa yang dikonsumsi, berarti semakin tinggi pula tingkat kemakmuran konsumen yang bersangkutan sebaliknya semakin rendah mutu kualitas dan jumlah barang atau jasa yang dikonsumsi, berarti semakin rendah pula tingkat kemakmuran konsumen yang bersangkutan. Masih menurut Nurhadi (2000) tujuan konsumsi adalah untuk mencapai kepuasan maksimum dari kombinasi barang atau jasa yang digunakan.
Salvatore (1994) berpendapat bahwa individu meminta suatu komoditi tertentu karena kepuasan yang diterima dari mengkonsumsi suatu barang. Sampai pada titik tertentu, semakin banyak unit komoditi yang dikonsumsi individu tersebut per unit waktu, akan semakin besar utiliti total yang akan diterima. Dari sisi lain Samuelson (1999) menyebutkan bahwa apabila harga meningkat dan pendapatan nominal tetap, maka pendapatan riil akan menurun, maka konsumen akan mengurangi pembelian hampir semua jenis barang.
Menurut Rosydi (1996), konsumsi secara umum diartikan sebagai penggunaan barang-barang dan jasa-jasa yang secara langsung akan memenuhi kebutuhan manusia. Selanjutnya Sukirno (2000) mendefinisikan konsumsi sebagai pembelanjaan yang dilakukan oleh rumah tangga atas barang-barang dan jasa-jasa akhir dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan dari orang yang melakukan pekerjaan tersebut.
Rumah tangga menerima pendapatan dari tenaga kerja dan modal yang mereka miliki, membayar pajak kepada pemerintah dan kemudian memutuskan berapa banyak dari pendapatan setelah pajak digunakan untuk konsumsi dan berapa banyak untuk ditabung (Mankiw, 2003).
Fungsi Konsumsi
Putong (2003) membuat suatu hipotesa pendapatan absolut yang menyatakan bahwa bila pendapatan nasional naik dari sebelumnya, maka konsumsi juga akan ikut naik, tetapi besarnya kenaikan konsumsi tidak sebesar kenaikan pendapatan, sehingga umumnya besarnya tingkat tabungan akan semakin bertambah.
Dornbusch dan Fisher (1994) terdapat hubungan yang erat dalam praktek antara pengeluaran konsumsi dan pendapatan disposibel. Lebih lanjut Dornbusch melihat bahwa individu merencanakan konsumsi dan tabungan mereka untuk jangka panjang dengan tujuan mengalokasikan konsumsi mereka dengan cara terbaik yang mungkin selama hidup mereka. Lebih lanjut Dumairy (1996) menyebutkan konsumsi berbanding lurus dengan pendapatan.
Dalam teori makro ekonomi dikenal berbagai variasi model fungsi konsumsi. Fungsi konsumsi yang paling dikenal dan sangat lazim ditemukan dalam buku-buku makro ekonomi tentulah fungsi konsumsi Keynesian:
(1)
Atau,
C = C (Y – T) (2)
Persamaan ini menyatakan bahwa konsumsi adalah fungsi dari disposable income. Hubungan antara konsumsi dan disposable income disebut consumption function (Mankiw, 2003). Secara lebih spesifik Keynes memasukkan komponen marginal propensity to comsume (MPC) ke dalam persamaan konsumsinya sehingga menjadi:
, c0 > 0, 0 < c < 1 (3)
John Maynard Keynes menyatakan bahwa pengeluaran konsumsi masyarakat tergantung pada (berbanding lurus) dengan tingkat pendapatannya. James S. Duesenberry mengusulkan model lain. Berkaitan dengan hipotesisnya tentang pendapatan relatif, ia berpendapat bahwa tingkat pendapatan yang mempengaruhi pengeluaran konsumsi masyarakat bukan tingkat pendapatan efektif, maksudnya pendapatan rutin yang efektif diterima, tapi oleh tingkat pendapatan relatif (Dumairy, 1996).
Milton Friedman mengajukan model lain lagi, terkenal dengan hipotesis pendapatan permanen. Menurut Friedman tingkat pendapatan yang menentukan besar kecilnya konsumsi adalah tingkat pendapatan permanen. Tentu saja, selain tingkat pendapatan sebagai variabel pengaruh utama, terdapat kemungkinan beberapa variabel lain turut mempengaruhi besar kecilnya pengeluaran konsumsi masyarakat. Untuk menghitung besarnya pendapatan permanen dari pendapatan ”rutin-faktual” berdasarkan data pendapatan yang ada, diasumsikan bahwa pendapatan permanen sekarang (YPt) berhubungan dengan pendapatan sekarang (Yt) dan pendapatan satu periode yang lalu (Yt-1) dalam bentuk:
(4)
(5)
Menurut model Evans (1969) jika fungsi konsumsi ditambahkan laju inflasi sebagai variabel lain yang diduga turut mempengaruhi besar kecilnya pengeluaran konsumsi masyarakat, sehingga model lengkapnya:
(6)
Dimana, C merupakan konsumsi, YP sebagai variabel pendapatan permanen dan P sebagai variabel inflasi. Secara linear model konsumsi ini dapat dikongkritkan sebagai:
(7)
Sukirno (2001) membedakan dua pengertian tentang kecondongan mengkonsumsi marjinal dan kecondongan mengkonsumsi rata-rata:
- Kecondongan mengkonsumsi marjinal dinyatakan sebagai MPC (Marginal Propensity to Consume) dapat didefinisikan sebagai perbandingan diantara tambahan konsumsi dibagi dengan pertambahan pendapatan disposibel yang diperoleh;
(8)
- Kecondongan mengkonsumsi rata-rata dinyatakan sebagai APC (Average Propensity to Consume) didefinisikan sebagai perbandingan diantara tingkat pengeluaran konsumsi dengan tingkat pendapatan disposibel, nilai APC dapat dihitung dengan menggunakan formula:
(9)
Pola konsumsi masyarakat yang belum mapan biasanya lebih didominasi oleh konsumsi kebutuhan-kebutuhan pokok (Dumairy, 1996; Sukirno, 2001).
Konsumsi adakalanya tidak sesuai sebagaimana yang diharapkan, hal ini terjadi karena keterbatasan anggaran. Fisher mencoba membuat persamaan yang menganalisis tentang batas anggaran untuk konsumsi pada dua periode, yaitu; pada periode pertama tabungan sama dengan pendapatan dikurangi konsumsi:
S = Y1 – C1 (10)
Dimana S adalah tabungan. Dalam periode kedua, konsumsi sama dengan akumulasi tabungan (termasuk bunga tabungan) ditambah pendapatan periode kedua, yaitu:
C2 = (1 + r) S + Y2 (11)
Dimana r adalah tingkat bunga riel. variabel S menunjukkan tabungan atau pinjaman dan persamaan ini berlaku dalam kedua kasus. Jika konsumen pada periode pertama kurang dari pendapatan periode pertama, berarti konsumen menabung dan S lebih besar dari nol. Jika konsumsi periode pertama melebihi pendapatan periode pertama, konsumen meminjam dan S kurang dari nol. Untuk menderivasi batas anggaran konsumen, maka kombinasi persamaan (10) dan persamaan (11) menghasilkan:
C2 = (1 + r) (Y1 – C1) + Y2 (12)
Persamaan ini menghubungkan konsumsi selama dua periode dengan pendapatan dalam dua periode. Preferensi konsumen yang terkait dengan konsumsi dalam dua periode bisa ditampilkan oleh kurva indeferens. Kurva ini menunjukkan kombinasi konsumsi periode pertama dan periode kedua yang membuat konsumen tetap merasa senang.
Gambar 1: Preferensi Konsumen Selama Konsumsi
Periode Pertama dan Kedua
Gambar 1 di atas menunjukkan dua dari banyak kurva indeferen. Kurva indeferen yang lebih tinggi seperti IC2 lebih disukai daripada kurva indeferen yang lebih rendah IC1. Konsumen tetap merasa senang mengkonsumsi pada titik W, X dan Y, tetapi lebih menyukai titik Z (Mankiw, 2003).
Selanjutnya masih dalam Mankiw (2003) Franco Modigliani dalam analisis hipotesis daur hidupnya membuat persamaan yang memasukkan periode waktu dan kekayaan. Seorang konsumen yang berharap hidup selama T tahun, memiliki kekayaan W dan mengharapkan menghasilkan pendapatan Y sampai ia pensiun selama R dari sekarang, maka persamaannya dapat ditulis:
C = (W + RY)/T (13)
Sehingga fungsi konsumsi seseorang dapat ditulis;
C = (1/T) W + (R/T)Y (14)
Jika setiap orang dalam perekonomian merencanakan konsumsi seperti ini, maka konsumsi agregat serupa dengan fungsi konsumsi individual. Bisanya, konsumsi agregat tergantung pada kekayaan dan pendapatan. Oleh karena itu fungsi konsumsi perekonomian adalah:
C = αW + βY (15)
Dimana parameter α adalah kecenderungan mengkonsumsi marginal dari kekayaan dan parameter β adalah kecenderungan mengkonsumsi marginal dari pendapatan.
Determinan Konsumsi
Banyak faktor yang menentukan permintaan konsumsi atau pengeluaran individu atas barang-barang dan jasa-jasa dalam suatu perekonomian. Menurut Spencer (1977) faktor tersebut diantaranya adalah pendapatan disposibel yang merupakan faktor utama, banyaknya anggota keluarga, usia dari anggota keluarga, pendapatan yang terdahulu dan pengharapan akan pendapatan dimasa yang akan datang.
Dalam buku Survei Biaya Hidup di sebutkan bahwa pengeluaran masyarakat khususnya pengeluaran konsumsi pada dasarnya dipengaruhi oleh banyak faktor, baik yang bersifat kuantitatif maupun yang bersifat kualitatif. Faktor yang bersifat kualitatif antara lain; tingkat pendidikan dan selera. Sedangkan yang bersifat kuantitatif adalah jumlah pendapatan dan anggota keluarga (BPS Daerah Istimewa Aceh, 1999).
Menurut Samuelson (1999) bahwa faktor-faktor pokok yang mempengaruhi dan menentukan jumlah pengeluaran untuk konsumsi adalah pendapatan disposibel sebagai faktor utama, pendapatan permanen dan pendapatan menurut daur hidup, kekayaan dan faktor penentu lainnya seperti faktor sosial dan harapan tentang kondisi ekonomi dimasa yang akan datang. Dornbusch (1994) mengutip hipotesis daur hidup yang dikembangkan oleh Modigliani melihat bahwa merencanakan perilaku konsumsi dan tabungan masyarakat untuk jangka panjang dengan mengalokasikan konsumsi mereka dengan cara terbaik yang mungkin diperoleh selama hidup mereka.
Dalam serangkaian makalah yang ditulis pada tahun 1950-an Franco Modigliani dan kolaboratornya Albert Ando dan Richard Brumberg menggunakan model perilaku konsumen Fisher untuk mempelajari fungsi konsumsi. Salah satu tujuan mereka adalah memecahkan teka teki konsumsi. Menurut model Fisher, konsumsi tergantung pada pendapatan seumur hidup seseorang, Modigliani menekankan bahwa pendapatan bervariasi secara sistematis selama kehidupan seseorang dan tabungan membuat seseorang dapat menggerakkan pendapatan dari masa hidupnya ketika pendapatan tinggi ke masa hidup ketika pendapatan rendah (Mankiw, 2003).
Selanjutnya Sukirno (2000) menyebutkan bahwa disamping faktor pendapatan rumah tangga, kekayaan dan pajak pemerintah, konsumsi rumah tangga juga ditentukan oleh beberapa faktor antara lain:
- Ekspektasi, mengenai keadaan dimasa yang akan datang sangat mempengaruhi konsumsi rumah tangga pada masa kini, keyakinan bahwa pada masa mendatang akan mendapatkan pendapatan yang lebih tinggi akan mendorong rumah tangga untuk meningkatkan konsumsinya dimasa sekarang.
- Jumlah penduduk, dalam analisis mengenai pembelanjaan agregat yang diperhatikan adalah konsumsi penduduk Negara. Oleh sebab itu tingkat konsumsi bukan saja tergantung pada tingkat pendapatan yang diperoleh seseorang tetapi juga yang diterima penduduk secara keseluruhan.
- Tingkat harga, dalam analisis Keynesian sederhana dimisalkan bahwa tingkat harga adalah tetap, maka setiap kenaikan pendapatan berarti terjadi kenaikan pendapatan riel. Dalam keadaan yang demikian, apabila pendapatan meningkat 100 persen dan MPC sebesar 0,80 (80%) dari kenaikan pendapatan itu akan dikonsumsikan, hal ini menunjukkan terjadi kenaikan konsumsi yang sebenarnya.
Parkin (1993) sependapat dengan teori-teori ahli lainnya bahwa pengeluaran konsumsi rumah tangga ditentukan oleh banyak faktor. Namun menurut Parkin yang paling penting dari faktor-faktor yang menentukan pengeluaran konsumsi hanya dua, yaitu; pendapatan disposibel (disposable income) dan pengharapan terhadap pendapatan dimasa akan datang (expected future income).
Penny (1994) menyatakan besarnya konsumsi yang dapat dinikmati seseorang sangat tergantung pada besarnya pendapatan. Dalam hal ini konsumsi tersebut meliputi kebutuhan primer, kebutuhan sekunder maupun kebutuhan tertier. Golongan yang berpenghasilan rendah cenderung berkonsumsi untuk memenuhi kebutuhan dasar. Apabila pendapatan meningkat, porsi pendapatan yang akan digunakan untuk pangan akan menurun.
Nicholson (1991) menyatakan bahwa persentase pendapatan yang dibelanjakan untuk pangan cenderung turun jika pendapatan meningkat. Kondisi ini menunjukkan adanya hubungan yang terbalik antara persentase kenaikan pendapatan dengan persentase pengeluaran untuk pangan. Keadaan ini lebih dikenal dengan Hukum Engel (Engel’s Law).
Dalam hukum Engel dikemukakan tentang kaitan antara tingkat pendapatan dengan pola konsumsi. Hukum ini menerangkan bahwa pendapatan disposibel yang berubah-ubah pada berbagai tingkat pendapatan. Dengan demikian, naiknya pendapatan, maka persentase yang digunakan untuk sandang dan pelaksanaan rumah tangga adalah cenderung konstan. Sementara persentase yang digunakan untuk pendidikan, kesehatan dan rekreasi semakin bertambah (Ackley, 1992).
Kadariah (1996) menambahkan bahwa pada umumnya golongan yang berpendapatan rendah mengeluarkan sebagian besar dari pendapatannya untuk keperluan hidup yang mutlak seperti; pangan, perumahan dan sandang. Makin tinggi pendapatan seseorang, makin kecil pengeluaran yang dialokasikan untuk kebutuhan pokok.
Delorme dan Ekulend (1993) menyatakan bahwa kelompok berpenghasilan tinggi mempunyai kecenderungan mengkonsumsi rata-rata (average propensity to consume) yang lebih kecil daripada kelompok masyarakat berpenghasilan rendah. Pitomo (1992) menambahkan bahwa rumah tangga miskin pada umumnya mengeluarkan pendapatannya lebih besar untuk kebutuhan dasar, baik yang terdiri dari kebutuhan maupun konsumsi individu (makanan, pakaian, perumahan) maupun keperluan pelayanan sosial tertentu (air minum, sanitasi, transportasi, kesehatan dan pendidikan).
METODOLOGI
Jenis dan Sumber Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil wawancara dengan responden (kepala keluarga) dengan menggunakan daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan sebelumnya. Sedangkan data sekunder yang diperlukan didapat dengan menelaah berbagai publikasi/laporan yang ada pada lembaga dan instansi pemerintah khususnya yang berada di Kabupaten Bireuen.
Metode Penetapan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah semua rumah tangga masyarakat yang menetap dalam wilayah Kabupaten Bireuen. Pemilihan rumah tangga sampel untuk menjadi responden dari populasi yang ada ditentukan secara two stage cluster sampling. Pada tahap pertama ditingkat Kabupaten diterapkan 3 kecamatan sampel, Pada tahap kedua menetapkan masing-masing 6 desa dalam satu kecamatan. Dari setiap kecamatan ini ditetapkan 10 rumah tangga sampel. sehingga didapat seluruhnya 120 rumah tangga sampel.
Model Analisis
Estimasi berbagai jenis pengeluaran konsumsi (K) pada penelitian ini digunakan metode OLS (Ordinary Least Square) dengan model regresi linear berganda yang diadopsi dari model Kautsoyiannis (1977), Domowitz dan Elbadawi (1987), Nachrowi dan Usman (2002), Lains (2006) yaitu:
(16)
Dengan mensubstitusi pengeluaran konsumsi makanan (CF) dan konsumsi bukan makanan (CNF) sebagai dependen variabel dan variabel independen (pendapatan, pendidikan, jenis pekerjaan, dan ukuran keluarga) maka didapat model penelitian ini sebagai berikut:
Model 1:
(17)
Model 2:
(18)
Dimana:
CF = Food Consumption
CNF = Non Food Consumption
Y = Income
EDU = Education
OCU = Occupation
FS = Family’s Size
b0 = Constant of model food consumption
b1 – b4 = Parameters of regression model food consumption.
a0 = Constant of model non food consumption
a1 – a4 = Parameters of regression model non food consumption.
m = Disturbance
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Sosial Ekonomi
Kondisi sosial ekonomi masyarakat Kabupaten Bireuen yang dijadikan sampel penelitian ini meliputi; umur kepala rumah tangga, pendidikan, pekerjaan (utama dan sampingan), pendapatan, dan ukuran keluarga. Gambaran tentang kondisi sosial ekonomi masyarakat yang dijadikan sampel penelitian ini akan dibahas per karakteristik. Sehingga diharapkan akan didapat suatu gambaran komprehensif tentang kondisi sosial ekonomi masyarakat Kabupaten Bireuen.
Umur Responden
Ditinjau dari karakteristik umur responden (kepala keluarga) yang paling banyak dijumpai adalah responden dengan umur 35 tahun dengan frekuensi 20 orang (11,1%), di bawahnya umur 40 dan 50 tahun masing-masing mempunyai frekuensi 18 orang (10%), kelompok lain yang relatif banyak dijumpai pada umur 45 tahun dengan frekuensi 13 orang (7,2%). Sementara untuk kelompok umur lainnya berkisar antara 0,6 sampai 5 persen.
Pendidikan
Di lihat dari segi pendidikan, mayoritas kepala keluarga tidak pernah sekolah formal ataupun sekolah tetapi tidak tamat SD yang mencapai 62 orang (34,4%), namun sebagian dari mereka ini ada yang mendapat pendidikan non-formal dari pesantren-pesantren yang memang banyak dijumpai di Aceh khususnya di Kabupaten Bireuen.
Sementara bagi responden yang pernah mengikuti pendidikan formal dapat diklasifikasikan; menamatkan pendidikan pada Sekolah Dasar (termasuk Madrasah Ibtidaiyah) sebanyak 57 orang (31,7%), menamatkan pendidikan pada Sekolah Menengah Pertama (termasuk Madrasah Tsanawiyah) sebanyak 51 orang (28,3%), dan yang berhasil menamatkan pendidikan pada Sekolah Menengah Atas (termasuk Madrasah Aliyah) hanya 10 orang (5,6%).
Tabel 1. Pendidikan Kepala Keluarga dan Rata-rata Pendidikan Anggota Keluarga
No
|
Karakteristik
|
Frekuensi
|
Persentasi
|
1
|
Pendidikan Kepala Keluarga
- Tidak sekolah/tidak tamat SD
- Tamat SD/MI
- Tamat SMP/MTs
- Tamat SMA/MA
Sub Total
|
41
38
34
7
120
|
34,4
31,7
28,3
5,6
100,0
|
2
|
Rata-rata Pendidikan Anak
- Tidak sekolah/belum sekolah
- SD/MI
- SMP/MTs
- SMA/MA
- Tidak menjawab/tidak punya anak
Sub Total
|
9
42
35
25
9
120
|
7,2
35,0
29,4
21,1
7,2
100,0
|
Sumber: Data Primer (diolah), 2010
Kenyataan ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan kepala keluarga di Bireuen masih sangat rendah. Namun demikian ada hal positif bila dilihat dari segi rata-rata pendidikan anak. Sebagaimana data pada tabel 1 bahwa adanya perbedaan mencolok antara pendidikan orang tua dengan pendidikan anak, dimana pada pendidikan anak terlihat adanya perbaikan.
Dari 120 responden, 25 orang (21,1%) memiliki rata-rata pendidikan anak telah menamatkan SMA/MA, 35 orang (29,4%) memiliki anak yang telah menamatkan SMP/MTs, 42 orang (35%) memiliki anak yang rata-rata baru tamat SD/MI, dan 9 orang (7,2%) memiliki anak yang tidak sekolah/belum masuk sekolah.
Pekerjaan
Dalam penelitian ini penulis mencoba mengklasifikasikan jenis pekerjaan secara lebih spesifik. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi kemungkinan bias dalam pendapatan pada bidang pekerjaan yang sama. Misalnya pekerjaan buruh, pendugaannya ada kemungkinan bahwa antara buruh bangunan dengan buruh industri, atau buruh industri rumah tangga mempunyai perbedaan dari segi pendapatan.
Pertimbangan lain yang mendasari identifikasi karakteristik pekerjaan responden secara spesifik melihat perkembangan di beberapa Negara (yang lebih maju) mengidentifikasi pekerjaan secara spesifik (misalnya; sopir taxi), sementara di Indonesia, termasuk Aceh dan Bireuen, kebanyakan penduduknya diidentifikasi secara umum (misalnya; wiraswasta). Padahal kalau diamati perbedaan antara satu orang wiraswasta dengan wiraswasta lainnya sangat besar (bahkan orang yang tidak mempunyai pekerjaan sama sekali juga menyebut dirinya wiraswasta).
Ditinjau dari segi pekerjaan utama yang digeluti responden; yang paling banyak dijumpai bekerja sebagai petani padi sawah yang mencapai 50 orang (27,8%), jenis pekerjaan ini terutama digeluti oleh masyarakat yang tinggal di wilayah pedesaan. Jenis pekerjaan utama lain yang banyak digeluti oleh masyarakat adalah sebagai nelayan yang mencapai 37 orang (20,6%), didominasi oleh penduduk yang tinggal di wilayah pedesaan bagian pesisir Bireuen.
Tabel 2. Pekerjaan Utama Kepala Keluarga
No
|
Karakteristik
|
Frekuensi
|
Persentasi
|
1
|
Pekerjaan Utama
- Sopir Truck
- Sopir Angkot
- Petani padi sawah
- Petani padi ladang
- Petani palawija cabe
- Petani perkebunan sawit
- Petani perkebunan karet
- Petani perkebunan coklat
- Peternak ayam
- Peternak kambing
- Peternak udang
- Pedagang asongan
- Pedagang kios
- Buruh bangunan
- Buruh pabrik
- Buruh industri rumah tangga
- Tukang ojek becak
- Tukang ojek sepeda motor
- Nelayan
- Pekerjaan lainnya
Sub Total
|
1
1
33
5
1
1
6
5
2
2
1
1
14
2
3
2
3
6
25
7
120
|
0,6
0,6
27,8
3,9
0,6
0,6
5,0
3,9
1,7
1,7
0,6
0,6
12,2
1,7
2,8
1,7
2,8
5,0
20,6
6,1
100,0
|
Sumber: Data Primer (diolah), 2008
Dari 120 responden yang diobservasi, menunjukkan jenis pekerjaan yang digeluti sangat beraneka ragam dan secara keseluruhan termasuk sebagai pekerjaan pada sektor informal. Sebagian besar responden didapati bekerja sebagai petani padi sawah dan juga nelayan dengan persentase masing-masing 27,8% dan 20,6%.
Jumlah Anak dan Tanggungan Keluarga
Kondisi sosial lainnya ditinjau dari jumlah anak dan jumlah tanggungan keluarga. Hasil penelitian dijumpai 13 orang (7,3%) tidak memiliki anak, yang diidentifikasi berstatus janda. Jumlah anak yang paling banyak yaitu 8 dan 7 orang anak hanya dijumpai pada masing-masing 1 rumah tangga (0,6%). Sementara untuk anak 1 sampai 3 orang masing-masing dijumpai 43 orang (23,9%), 52 orang (28,9%), dan 37 orang (20,6%). Tabel 4 berikut ini akan memperlihatkan komposisi jumlah anak dan jumlah tanggungan keluarga.
Tabel 3.Jumlah Anak dan Tanggungan Keluarga
jumlah anak
|
Frek.
|
%
|
jumlah tanggungan
|
frek.
|
%
|
0
1
2
3
4
5
6
7
8
|
13
43
52
37
17
11
5
1
1
|
7,2
23,9
28,9
20,6
9,4
6,1
2,8
0,6
0,6
|
1
2
3
4
5
6
7
8
9
|
9
19
44
43
33
18
5
8
1
|
5,0
10,6
24,4
23,9
18,3
10,0
2,8
4,4
0,6
|
Sub Total
|
180
|
100,0
|
Sub Total
|
180
|
100,0
|
Sumber: Data Primer (diolah) 2008
Jumlah tanggungan keluarga atau ukuran keluarga (family size) disini di definisikan sebagai jumlah orang dalam satu keluarga yang terdiri dari; kepala keluarga, istri, dan anak, serta orang lain yang turut serta dalam keluarga. Sebagaimana ditampilkan pada tabel 4 di atas, jumlah tanggungan keluarga paling besar yaitu 9 orang hanya dijumpai pada 1 (0,6%) keluarga yang diobservasi. Mayoritas tanggungan keluarga 3 dan 4 orang yang dijumpai pada masing-masing 44 keluarga (24,4%) dan 43 keluarga (23,9%). Sisanya mempunyai tanggungan 1, 2, 5, 6, 7, dan 8 orang tanggungan keluarga.
Pola Konsumsi
Konsumsi merupakan hal yang mutlak diperlukan oleh setiap orang untuk bertahan hidup. Dalam ilmu ekonomi semua pengeluaran selain yang digunakan untuk tabungan dinamakan konsumsi. Bagi masyarakat yang tinggal di pedesaan, pengeluaran konsumsi lebih banyak dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dasar dalam bentuk pangan, pada saat yang sama sangat sedikit pengeluaran konsumsi untuk jenis bukan pangan. Sebagaimana telah di jelaskan pada bab sebelumnya jenis konsumsi masyarakat miskin dalam penelitian ini di bagi dalam 2 kelompok, yaitu; konsumsi bahan makanan, dan konsumsi bahan bukan makanan.
Pengeluaran Konsumsi Makanan
Dalam kelompok konsumsi bahan makanan ini dirinci dari 12 jenis pengeluaran sebagaimana disajikan pada tabel 5 berikut ini.
Tabel 5. Rata-rata Konsumsi Bahan Makanan
Jenis barang
|
rata-rata
|
std. deviasi
|
1. Konsumsi beras
2. Konsumsi minyak goreng
3. Konsumsi gula
4. Konsumsi kopi/teh
5. Konsumsi ikan basah
6. Konsumsi ikan asin
7. Konsumsi garam
8. Konsumsi sayur-sayuran
9. Konsumsi buah-buahan
10. Konsumsi rokok/tembakau
11. Konsumsi rempah-rempah
12. Pengeluaran jajanan anak
|
123.390,00
19.322,22
19.800,00
8.461,11
83.288,89
11.466,67
3.986,11
29.677,78
4.055,56
61.861,11
29.955,56
49.672,22
|
44.009,52
5.507,64
5.791,68
4.466,34
26.000,32
5.720,58
1.484,02
10.179,20
7.470,40
59.547,71
10.299,33
37.303,35
|
Sumber: Data Primer (diolah) 2008
Takaran beras yang umum digunakan di Bireuen dalam bentuk aree (bambu) dan mok (mug/kaleng susu). 1 aree setara dengan 6 mok atau bila dikonversi dalam bentuk kilogram sekitar 1,5 Kg, dengan harga rata-rata untuk beras kualitas sedang-rendah sekitar Rp.7.500.
Tabel 5 di atas memperlihatkan rata-rata konsumsi beras masyarakat di Kabupaten Bireuen sebesar Rp.123.390,00 per keluarga per bulan, merupakan pengeluaran terbesar untuk sub kelompok konsumsi makanan. Konsumsi makanan jenis lain yang relatif juga besar adalah untuk konsumsi ikan basah dengan rata-rata Rp. 83.288,89, dan konsumsi tembakau/rokok yang rata-ratanya mencapai Rp.61.861,11 per keluarga per bulan.
Sementara jenis konsumsi makanan yang relatif kecil pada sub kelompok konsumsi garam dan buah-buahan. Sebagai barang inferior rata-rata keluarga di Bireuen mengkonsumsi garam Rp.3.986,11 per keluarga per bulan. Untuk konsumsi buah-buahan juga relatif kecil yang hanya Rp.4.055,56 hal ini disebabkan hanya sebagian kecil keluarga yang diobservasi membeli buah-buahan untuk konsumsi keluarga.
Pengeluaran Konsumsi Bukan Makanan
Dalam kelompok pengeluaran konsumsi bahan bukan makanan juga dirinci berdasarkan 11 jenis pengeluaran dari 12 jenis yang direncanakan, namun satu item yaitu pengeluaran untuk gas dihilangkan karena hasil penelitian hanya menjumpai 4 orang keluarga masyarakat yang menggunakan gas. Adapun rata-rata pengeluaran berbagai jenis konsumsi bukan makanan sebagaimana disajikan pada tabel 6 di bawah ini.
Tabel 6. Rata-rata Pengeluaran Konsumsi Bukan Makanan
Jenis barang
|
rata-rata
|
std. deviasi
|
1. Pengeluaran minyak tanah
2. Pengeluaran bensin/solar
3. Pengeluaran sabun cuci
4. Pengeluaran sabun mandi, sampo dan odol
5. Pengeluaran untuk alat kecantikan
6. Pengeluaran untuk tagihan listrik
7. Pengeluaran untuk transport
8. Pengeluaran untuk SPP anak
9. Pengeluaran untuk pakaian
10. Pengeluaran untuk kesehatan
11. Pengeluaran untuk perabotan
|
26.927,78
26.527,78
8.872,22
9.500,00
10.872,22
19.411,11
12.333,33
8.616,67
30.261,11
5.183,33
16.333,33
|
10.582,09
53.937,41
3.729,73
5.193,73
4.584,44
9.554,19
22.074,02
13.675,00
18.731,97
7.274,71
12.973,97
|
Sumber: Data Primer (diolah) 2008
Berdasarkan data pada tabel 6 di atas, menunjukkan bahwa rata-rata pengeluaran untuk minyak tanah mencapai Rp.26.927,78 per keluarga per bulan, lebih besar dari tagihan listrik rata-rata yang hanya Rp.19.411,11. Hal ini memperlihatkan kebutuhan akan minyak tanah bagi keluarga di wilayah pedesaan sangat penting. Sementara pengeluaran untuk bensin/solar rata-rata Rp.26.927,78, ini disebabkan jumlah keluarga di pedesaan yang memiliki fasilitas transportasi sepeda motor hanya 40 rumah tangga. Bagi keluarga yang tidak memiliki fasilitas transportasi harus mengeluarkan biaya transport untuk bepergian ke pusat pasar, besarnya pengeluaran untuk transport rata-rata Rp.12.333,33 per keluarga per bulan.
Rata-rata pengeluaran untuk sabun cuci sebesar Rp.8.872,22 hampir sama dengan pengeluaran untuk sabun mandi/shampoo/odol yang bernilai rata-rata Rp.9.500 per keluarga per bulan. Selanjutnya pengeluaran untuk SPP anak memiliki rata-rata Rp.8.616,67. Sebagai informasi, rata-rata biaya pendidikan di Bireuen untuk tingkat SMA sebesar Rp. 15.000, tingkat SMP sebesar Rp.10.000, dan untuk tingkat SD pada umumnya gratis.
Pengaruh Pendapatan, Pendidikan, Jenis Pekerjaan, dan Ukuran Keluarga Terhadap Pola Konsumsi
Estimasi untuk mengetahui pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat dilakukan dengan menggunakan model regresi linier berganda. Sebagaimana rumusan model regresi linier berganda di peroleh hasil sebagai berikut:
Model 1:
CF = 220499,396 + 0,598(Y) – 1256,645(EDU) – 192,136(OCU) + 9334,887(FS)
(23,845)*** (–1,031) (–2,152)** (2,887)***
Model 2:
CNF = – 220499,396 + 0,402(Y) + 1256,645(EDU) + 192,136(OCU) – 9334,887(FS)
(23,845)*** (1,031) (2,152)** (–2,887)***
Keterangan: )*** signifikan pada α = 0,01
)** signifikan pada α = 0,05
)* signifikan pada α = 0,10
Berdasarkan model tersebut di atas, dijumpai besarnya nilai konstanta 220499,396 bermakna bahwa konsumsi dasar masyarakat Kabupaten Bireuen sebesar Rp.220.499,4 yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan bahan makanan sehingga harus menunda pengeluaran konsumsi bukan makanan. Parameter pendapatan untuk model 1 sebesar 0,598 bermakna bahwa kecenderungan mengkonsumsi untuk jenis makanan sebesar 59,8% sisanya sebesar 40,2% digunakan untuk pengeluaran konsumsi bukan makanan. Kondisi ini memberi gambaran bahwa seluruh responden yang diobservasi tidak memiliki tabungan.
Selanjutnya veriabel pendidikan dijumpai koefisien sebesar 1256,645 bermakna bahwa dengan bertambahnya tingkat pendidikan masyarakat akan mengurangi pengeluaran terhadap makanan sebesar Rp.1.256,65 dan dialihkan sebagai pengeluaran untuk bukan makanan. Koefisien variabel jenis pekerjaan dijumpai sebesar 192,136 bermakna bahwa dengan jenis pekerjaan yang lebih baik masyarakat akan meningkatkan pengeluaran konsumsi bukan makanan sebesar Rp.192,13 pada saat bersamaan justru akan mengurangi konsumsi makanan dengan jumlah yang sama. Selanjutnya koefisien variabel Ukuran keluarga sebesar 9334,887 yang bermakna bahwa dengan bertambahnya tanggungan keluarga 1 orang, maka pola konsumsi akan bergeser dimana pengeluaran konsumsi akan meningkat sebesar Rp.9.334,89 dan mengurangi konsumsi bukan makanan dengan jumlah yang sama.
KESIMPULAN
Dari hasil dan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pola konsumsi masyarakat pedesaan di Kabupaten Bireuen lebih banyak didominasi oleh kebutuhan mendasar terutama untuk jenis makanan. Seluruh pendapatan yang diterima dibelanjakan untuk kebutuhan konsumsi tanpa sisa untuk tabungan. Tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, dan ukuran keluarga sebagai variabel sosial ternyata turut mempengaruhi pola konsumsi masyarakat pedesaan. Dengan bertambahnya tingkat pendidikan, dan semakin baik jenis pekerjaan, maka pengeluaran konsumsi makanan semakin dikurangi dan pendapatan yang diperoleh dialihkan untuk konsumsi bukan makanan. Secara statistik hanya variabel tingkat pendidikan yang tidak signifikan mempengaruhi pola konsumsi, sedangkan variabel observari lain berpengaruh signifikan terhadap pola konsumsi masyarakat pedesaaan di Kabupaten Bireuen.
IMPLIKASI
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata sub pengeluaran konsumsi (makanan dan bukan makanan) masih sangat rendah yang menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat di wilayah pedesaaan masih rendah. Demikian juga dengan tingkat pendidikan masyarakat yang tergolong masih rendah, jenis pekerjaan yang digeluti merupakan pekerjaan yang bersifat tidak tetap dan tergolong dalam sektor primer, imbasnya pendapatan yang diterima juga relatif rendah dan tidak mampu menutupi besarnya kebutuhan untuk pengeluaran konsumsi. Kondisi ini mengharapkan adanya kebijakan dari pemerintah daerah dalam membuat kebijakan yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui; menciptakan lapangan kerja, meningkatkan kualitas dan kuantitas lembaga pendidikan (formal maupun non formal).
RUJUKAN
Acklay, Gardener (1992) Teori Ekonomi Makro, Terjemahan Paul Sitohang, Erlangga, Jakarta.
Badan Pusat Statistik (1999), Peta Konsumsi Pangan di Indonesia, BPS Daerah Istimewa Aceh, Banda Aceh.
______ (2006) Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Bireuen, BPS Bireuen.
______ (2007) Potret dan Prospek Ekonomi Indonesia Memanfaatkan Hasil Sensus Ekonomi, Makalah Sosialisasi Hasil Sensus Tahun 2006, Tanggal 14 Mei 2007, Lhokseumawe-NAD.
Darlina (1994) Pengaruh Pendapatan Terhadap Tingkat Konsumsi: Studi Kasus Dosen Unsyiah, Jurnal Ekonomi Pembangunan, Volume 1 Nomor 1 hal. 1-13.
Delorme, C.D. and Ekulend, R.B. (1993) Macroeconomics, PBI Inc, Texas.
Domowitz dan Elbadawi (1987) An Error Approach to Money Demand (The Case of Sudan), Journal of Development Economics, Vol. 26 pp. 257-275.
Dornbusch, R dan Fisher, S (1994) Macroekonomi, Edisi Keempat, Alih Bahasa Mulyadi, JA, Penerbit Erlangga, Jakarta.
Dumairy (1996) Perekonomian Indonesia, Penerbit Erlangga, Jakarta.
Ghozali, Imam (2005) Aplikasi Analisis Multivariate Dengan Program SPSS, BP-Undip, Semarang.
Gujarati, Damodar (1978) Ekonometrika Dasar, Alih Bahasa, Sumarno Zain, Penerbit Erlangga, Jakarta.
Hermawan, Asep (2006) Penelitian Bisnis: Paradigma Kuantitatif, Penerbit Grasindo, Jakarta.
Ilhamuddin, Tasdik (2006) Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pendapatan Rumah Tangga di Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2004, Tesis (tidak dipublikasi), Unsyiah, Banda Aceh.
Kadariah (1996) Pengantar Teori Ekonomi Makro, Bina Aksara, Jakarta.
Koutsoyiannis (1977) Theory of Econometrics, Second Edition, The Macnillan Press Ltd, London.
Kuncoro, Mudrajad (2004) Metode Kuantitatif: Teori dan Aplikasi Untuk Bisnis dan Ekonomi, Edisi Kedua, Penerbit AMP-YKPN, Yogyakarta.
Lains, Alfian (2006) Ekonometrika: Teori dan Aplikasi, Jilid II, LP3ES, Jakarta.
Mankiw, N. Gregory (2003) Teori Makroekonomi, Edisi Kelima, Erlangga, Jakarta.
Mubyarto dan Sardono Kartodiredjo (1990) Pembangunan Pedesaan di Indonesia, UGM, Jogyakarta.
Nachrowi, N. D dan Hardius Usman (2002) Penggunaan Teknik Ekonometri, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Nazir, Mohd. (1988) Metode Penelitian, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta.
Nicholson, Walter (1991) Teori Ekonomi Mikro I, Terjemahan Deliarnov, Rajawali, Jakarta.
Parkin, Michael (1993) Economics, Adison Wesley Publishing Company, New York.
Pass dan Lowes (1994) Kamus Lengkap Ekonomi, Penerbit Erlangga, Jakarta.
Pindyck R.S. and D.L. Rubinfeld. (1991). Econometric Models and Economic Forecasts. Third Edition. McGraw-Hill, Inc., Singapore
Putong, Iskandar (2003), Pengantar Ekonomi Mikro dan Makro, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Rosydi, Suherman (1996), Pengantar Teori Ekonomi, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Salvatore Dominick (1994), Ekonomi Pembangunan, Erlangga, Jakarta.
Samuelson, Paul dan Nordhaus, (1999), Mikro Ekonomi, Ed. XIV, Erlangga, Jakarta.
Sobri (1987) Ekonomi Makro, BPFE-UGM, Yogjakarta.
Spencer, H. Milton (1977) Contemporary Macroeconomics, Worth Publisher Inc, New York
Suharyadi, Asep et.al (2000) The Evolution of Property During The Crisis in Indonesia 1996-1999, Policy Research Working Paper, No. 2435
Sukirno, Sadono (2000), Pengantar Teori Makroekonomi, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
______ (2006) Makroekonomi: Teori Pengantar, Edisi Ketiga, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Sumardi, Muldjanto (1982) Sumber Pendapatan Kebutuhan Pokok dan Prilaku Menyimpang, CV Rajawali, Jakarta.
Susanti, C. Yuniar (2000) Analisis Pengaruh PDRB Terhadap Jumlah Konsumsi Masyarakat di Provinsi Daerah Istimewa Aceh, Jurnal Ekonomi Pembangunan, Volume 6 Nomor 3 hal. 332-345.
Susilowati, S. Hery dkk (2002) Diversifikasi Sumber Pendapatan Rumah Tangga di Pedesaan Jawa Barat, Jurnal FAE, Volume 20 No. 1, Mei 2002, hal. 85 -109.
Suyanto Nurhadi (2000), Ekonomi, Erlangga, Jakarta.
Todaro, M.P (1998) Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga, Edisi Keenam, Penerbit Erlangga, Jakarta.