De Vos (1991) dengan
mengunakan konsep Expended Linier
Expenditure System dimana jumlah
anak dianggap sebagai faktor pembeda (differentiating
factor) terhadap pengeluaran subsisten.
Hasil estimasi τi semuanya bernilai
positif dan konsisten dengan konsep pengeluaran subsisten. Total pengeluaran
subsisten (Gi) dari berbagai jenis pengeluaran (makanan,
pakaian, perumahan, pengeluaran lain yang bersifat tetap, pembangunan &
rekreasi). Dengan bertambahnya jumlah anak. Total pengeluaran subsisten (Gi) atau garis kemiskinan untuk masing-masing kelompok anggota keluarga,
yaitu kelompok dengan 1 hingga 6 anggota keluarga (AK) ternyata cukup
bervariasi yaitu masing-masing 12.355, 16.489, 24.355, 28.476, 32.184, dan
33.912. Demikian pula koefisien dari masing-masing pengeluaran semuanya
bertanda positif (sejalan dengan teori
konsumsi Keynes) dan t hitung lebih besar dari t tabel.
Darlina (1994) mengemukakan
bahwa pendapatan yang diperoleh oleh dosen yang mengajar saja dan dosen yang
berpendapatan selain mengajar digunakan sebagian besar untuk konsumsi bukan
makanan. Secara keseluruhan konsumsi yang dilakukan dosen yang berpenghasilan
hanya dari mengajar lebih besar daripada konsumsi yang dilakukan dosen yang
berpendapatan selain mengajar. Hasil penelitiannya ditunjukkan dengan
elastisitas antara kedua kelompok objek. Dosen yang hanya berpenghasilan dari
mengajar memiliki elastisitas sebesar 0,5628 sedangkan dosen yang berpendapatan
selain mengajar memiliki elastisitas sebesar 0,5383.
Keban (1995) mencoba
menggambarkan profil kemiskinan di Nusa Tenggara Timur dengan menganalisis
rumah tangga berdasarkan data Susenas 1983. Di dalam analisisnya dinyatakan
bahwa suatu keluarga tergolong miskin kalau ratio pengeluaran untuk makanan terhadap
total pengeluaran melebihi 75 persen. Keban juga mengatakan bahwa criteria ini
sifatnya multivariate yang disebut “Logit Regression” atau Logit.
Temuannya tentang penyebab kemiskinan adalah perbedaan letak kabupaten, letak
di kota dan didesa, tingkat pendidikan, lapangan pekerjaan dan jumlah anggota
keluarga.
Sementara Masbar (1996)
mengukur garis kemiskinan di Kodya Banda Aceh dengan menggunakan konsep Extended
Linier Expenditure System dimana jumlah anak dianggap sebagai faktor
pembeda terhadap pengeluaran subsisten. Total pengeluaran subsisten (Gi) atau garis kemiskinan untuk masing-masing
kelompok anggota keluarga dengan 1 hingga 6 orang anak ternyata cukup
bervariasi. Garis kemiskinan untuk masing-masing kelompok anggota keluarga itu
adalah Rp. 102.977,78, Rp. 101.112,13, Rp. 166.950,68, Rp.164.803,69, Rp.
158.271,11 dan Rp. 210.239,39. Dengan demikian semakin banyak anggota keluarga
itu semakin besar pula garis kemiskinannya. Namun demikian tingkat kemiskinan
per kapita menjadi lebih rendah karena pendapatan relatif kecil itu dibagi
dengan anggota yang lebih banyak.
BPS Daerah Istimewa Aceh
(1999), Peta Konsumsi Pangan di Indonesia” menyatakan, secara Nasional diakui
bahwa penduduk Aceh menduduki rangking teratas dalam mengkonsumsi karbohidrat
dan protein hewani dan sebaliknya untuk konsumsi protein nabati masih rendah. Disini
berarti belum adanya penganekaragaman konsumsi pangan, hal ini sudah terpola
sejak dahulu.
Susanti (2000) mengemukakan
bahwa perkembangan rata-rata pengeluaran konsumsi rumah tangga di Provinsi Aceh
periode 1986-1998 sebesar 5,2 persen per tahun. Pertumbuhan PDRB membawa
pengaruh yang positif terhadap pengeluaran konsumsi rumah tangga masyarakat di
Provinsi Aceh. Hal tersebut ditunjukkan dengan hasil regresi yang didapat C = 409,160
+0,61897PDRB. Sehingga membuktikan bahwa setiap perubahan dari pendapatan
memberi efek pada konsumsi.
Anwar (2001) yang meneliti
tentang dampak krisis moneter terhadap konsumsi masyarakat Provinsi Aceh
menyimpulkan bahwa konsumsi dipengaruhi oleh pendapatan per kapita dan inflasi
sebesar 98,5%. Namun koefisien inflasi
secara parsial berhubungan dengan inflasi dengan koefisien -0,00256%.
Untuk memperlihatkan dampak krisis digunakan variabel dummy, karena penelitiannya
dimasukkan variabel inflasi, maka data yang digunakan merupakan data atas harga
berlaku.
Isnawati (2001) yang meneliti
tentang dampak krisis ekonomi terhadap konsumsi dan tabungan masyarakat
Provinsi Aceh menyimpulkan bahwa dampak dari krisis ekonomi terhadap konsumsi
sebesar 78,05%. Sedangkan dampak krisis terhadap tabungan mencapai 97,6%.
Suparta (2003) penelitiannya
juga menggunakan konsep Extended Linear
Expenditure System di desa IDT pada Kabupaten Aceh Besar dengan jumlah
tanggungan keluarga sebagai faktor pembeda. Hasil penelitian ini juga
disebutkan bahwa keluarga dengan tanggungan lebih sedikit adalah lebih
sejahtera dari pada keluarga dengan tanggungan lebih besar. Hasil estimasi
menunjukkan bahwa variabel pendapatan, tanggungan keluarga, pendidikan dasar,
pendidikan tinggi dan variabel pekerjaan berpengaruh nyata terhadap pengeluaran
jenis makanan masyarakat miskin.
Darma (2003) Hasil estimasi
pada masing-masing kelompok pengeluaran yang mengikut sertakan variabel sosial
dan ekonomi rumah tangga, menunjukkan bahwa terdapat pengaruh dari variabel
aktivitas ekonomi kepala rumah tangga, jenis mata pencaharian kepala rumah
tangga, tingkat pendidikan kepala rumah tangga, dan tempat tinggal rumah tangga
terhadap nilai garis kemiskinan. Nilai garis kemiskinan berdasarkan aktivitas
ekonomi rendah (J1) Rp. 70986,635 dan aktifitas ekonomi tinggi (J3) Rp.
103531,874. Nilai garis kemiskinan berdasarkan jenis mata pencaharian petani
(M1) Rp. 138309,885, jenis mata pencaharian buruh tani (M2) Rp. 167377,727,
jenis mata pencaharian pedagang kaki lima (M3) Rp. 211600,798, jenis mata
pencaharian nelayann tradisional (M4) Rp. 162701,942. Nilai garis kemiskinan
berdasarkan tingkat pendidikan tinggi (S3) Rp. 89164,591. Nilai garis
kemiskinan berdasarkan jumlah anggota keluarga 3 (A3) Rp. 255304, berdasarkan
jumlah anggota 4 (A4) Rp.451203,108, berdasarkan jumlah anggota keluarga 5 (A5)
Rp. 384799,917 dan berdasarkan jumlah anggota keluarga 6 (A6) Rp. 387410,846.
Nilai garis kemiskinan berdasarkan
tempat tinggal dikota Kabupaten (T1) Rp.95548,486 dan berdasarkan tempat
tinggal didesa (T3) Rp. 50132,737.
Insya (2003) menyebutkan bahwa
rata-rata pengeluaran untuk kebutuhan pangan mencapai Rp. 1.674.737 atau 79,26
persen sisanya 438.249,- atau 20,74 persen untuk kebutuhan non pangan.
Sementara pola pengeluaran rumah tangga terbesar adalah untuk keperluan makanan
sebesar Rp. 1.674.754,- atau mencapai 79,26 persen dari total pengeluaran
pertahun. Sedangkan untuk pengeluaran non pangan terkonsentrasi pada kelompok
perumahan, bahan bakar penerangan dan air sebesar 6,29 persen. Kemudian disusul
untuk sandang sebesar 5,29 persen serta aneka barang dan jasa 4,5 persen.
Pengeluaran untuk keperluan lainnya sebesar 3,05 persen. Sementara pengeluaran
rumah tangga rata-rata perkapita perbulan mencapai Rp. 32.248,- terdiri dari
pengeluaran untuk kebutuhan pangan sebesar 79,25 persen dan sisanya untuk non
pangan. Ini berarti pendapatan rata-rata rumah tangga berada di atas garis
kemiskinan.
Arifin (2005) menyimpulkan
bahwa dampak tsunami terhadap perekonomian Nanggroe Aceh Darussalam sangat
besar tidak hanya pada sektor riel tetapi juga pada sektor moneter. Akibat dari
tsunami diperkirakan jumlah pengangguran akan meningkat drastis karena rusaknya
lahan pertanian serta industri kecil dan rumah tangga. Di sektor pertanian diperkirakan
sekitar 300.000 orang akan kehilangan pekerjaan akibat rusak dan hilangnya
lahan, di sektor Usaha Kecil Menengah (UKM) diperkirakan 170.000 orang
kehilangan pekerjaan, ditambah lagi sektor perikanan sekitar 130.000 orang.
Akibat dari meningkatnya jumlah pengangguran maka jumlah penduduk miskin akan
bertambah mencapai ± 2 juta orang.
BRR NAD & Nias (2005)
bencana gempa dan tsunami selain merenggut korban jiwa dalam jumlah yang sangat
besar, juga menyebabkan kerusakan di berbagai sektor kehidupan. Dalam
aspek sosial dan kemasyarakatan
kerusakan terjadi pada bidang pendidikan dimana diperkirakan 1.168 rumah
sekolah rusak atau setara dengan 16,1% dari populasi sekolah yang ada di NAD,
total keseluruhan kerugian di bidang pendidikan ditaksir mencapai satu trilyun
rupiah. Dalam bidang perekonomian, bencana gempa dan tsunami menyebabkan
kerusakan pada bidang perindustrian dan perdagangan, koperasi, usaha kecil dan
menengah, pertanian dan kehutanan, perikanan dan kelautan serta
ketenagakerjaan.
Ilhamuddin (2006) pada tahun 2004 pengeluaran
per kapita penduduk Provinsi NAD Rp. 182.465, dimana sebagian besar digunakan
untuk keperluan makanan (64,89 persen) dan sekitar sepertiganya(35,11 persen)
untuk pengeluaran bukan makanan. Pengeluaran penduduk kota relatif lebih besar
(Rp. 257.569) daripada penduduk desa (Rp. 154.832). Sementara pengeluaran
penduduk pedesaan untuk kebutuhan makanan 10 persen lebih tinggi dibandingkan
perkotaan. Hasil estimasi model regresi logistik menyimpulkan bahwa jumlah
anggota rumah tangga, tingkat pendidikan, wilayah tempat tinggal, sektor
pekerjaan, status perkawinan, usia, jumlah jam kerja, dan jenis kelamin
mempengaruhi kecenderungan tingkat pendapatan per kapita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar