Permasalahan serius yang dihadapi praktisi, akademisi akuntansi dan keuangan
selama beberapa dekade terakhir ini adalah manajemen laba. Alasannya,
pertama, manajemen laba seolah-olah telah menjadi budaya perusahaan
(corporate culture) yang dipraktikkan semua perusahaan di dunia. Sebab
aktivitas
ini tidak hanya di negara-negara dengan sistem bisnis yang
belum tertata, namun juga dilakukan oleh perusahaan-perusahaan di negara
yang sistem bisnisnya telah tertata, seperti halnya Amerika Serikat.
Kedua,
sebab dan akibat yang ditimbulkan aktivitas rekayasa manajerial ini
tidak hanya menghancurkan tatanan ekonomi, namun juga tatanan etika dan
moral. Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika publik mempertanyakan
etika, moral, dan tanggung jawab pelaku bisnis yang seharusnya
menciptakan kehidupan bisnis yang bersih dan sehat. Bahkan, di beberapa
negara, publik juga mempertanyakan dan meragukan integritas dan
kredibilitas para akuntan yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam
mendeteksi manajemen laba dan regulator yang seharusnya mempersiapkan
regulasi yang memadai untuk menciptakan kehidupan bisnis yang bersih dan
sehat.
Ini sebabnya mengapa publik meragukan informasi-informasi
yang disajikan dalam laporan keuangan. Informasi yang seharusnya menjadi
sumber utama untuk mengetahui kondisi perusahaan yang sesungguhnya
kehilangan makna dan fungsi karena penyimpangan ini. Laporan keuangan
tidak lagi mampu menjalankan fungsinya untuk menginformasikan apa yang
sesungguhnya telah dilakukan dan dialami perusahaan selama satu periode.
Selain
itu, publik juga meragukan orang yang menyusun dan memeriksa laporan
keuangan, mempertanyakan dan meragukan kelayakan standar akuntansi dan
pemeriksaan yang selama ini dipakai secara luas oleh dunia usaha.
Apalagi jika mengingat manajemen laba tidak hanya mempengaruhi
perekonomian nasional namun juga perekonomian internasional.
Secara makro, manajemen laba
telah membuat dunia usaha seolah berubah menjadi sarang pelaku korupsi,
kolusi, dan berbagai penyelewengan lain yang merugikan publik. Publik
menganggap apa yang diinformasikan dunia usaha hanya merupakan
akal-akalan pelakunya untuk memaksimalkan keuntungan pribadi dan
kelompok tertentu, tanpa memperhatikan kepentingan pihak lain. Tidak
aneh jika pada akhir dasawarsa 1980-an kasus creative accounting ini
menyebabkan good corporate governance menjadi perhatian publik di
Inggris.
Demikian juga dengan kasus-kasus kecurangan korporasi di
Indonesia yang terbukti menjadi salah satu penyebab runtuhnya
perekonomian negara ini atau skandal keuangan Enron, WoIrdcom, dan Xerox
yang menyebabkan publik Amerika Serikat meragukan integritas dan
kredibilitas para pelaku dunia usaha. Skandal ini bahkan tidak hanya
membuat perusahaan yang melakukannya mengalami kebangkrutan namun juga
mengakibatkan para pelakunya diseret ke pengadilan sebagai pelaku
kejahatan ekonomi.
Namun
upaya yang dilakukan KAP Arthur Andersson&Co di Amerika Serikat
untuk melegalisasi atau menyembunyikan penyelewengan yang dilakukan
kliennya ternyata tidak hanya meruntuhkan KAP Arthur Andersson&Co di
negara itu tetapi juga seluruh afiliasinya di seluruh dunia. Lebih
menarik lagi, KAP ini runtuh tanpa harus melewati proses pengadilan,
namun hanya karena dijauhi oleh klien dan publik yang menganggapnya
sebagai pesakitan. Skandal keuangan yang melibatkan KAP ini berdampak
secara luas rerhadap bisnis internasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar