Posted on 05/07/2009 by Arman
Bolehkah memilih pemimpin wanita didalam Islam ?
Oleh : Armansyah
Oleh : Armansyah
Pemilihan kepala negara sama artinya
dengan memilih Khalifah pada masa awal kematian Nabi dahulu, semuanya harus
tetap mengacu pada aturan main yang ditetapkan oleh Islam.
Seputar Ketentuan Pemimpin wanita :
1. Tidak ada Nabi
dan Rasul wanita
(Nabi dan Rasul adalah refleksi dari pemimpin, baik dalam skala besar maupun dalam skala kecil, dan suka atau tidak suka, mereka adalah contoh, pedoman atau acuan bagi manusia lainnya)
(Nabi dan Rasul adalah refleksi dari pemimpin, baik dalam skala besar maupun dalam skala kecil, dan suka atau tidak suka, mereka adalah contoh, pedoman atau acuan bagi manusia lainnya)
Rujukannya lihat :
“Dan kalau Kami bermaksud menjadikan
Rasul itu dari golongan malaikat, tentulah Kami jadikan dia berupa laki-laki.”
(Qs.al-An’aam 6:9)
“Kami tidak mengutus sebelum kamu,
melainkan orang laki-laki yang kami berikan wahyu kepadanya diantara penduduk
suatu negeri.” (Qs. Yusuf 12:109)
“Kami tiada mengutus Rasul-rasul
sebelum kamu, melainkan beberapa orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada
mereka. “ (Qs. Al-Anbiyaa’ 21:7)
2. Imam dalam
sholat tidak boleh wanita, kecuali makmumnya juga wanita (berdasarkan Imam
Hanafi, Syafi’I, Hambali dan Ja’fari/ Imammiah)
3. Laki-laki sudah
ditetapkan sebagai pemimpin wanita
Rujukannya :
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita.” (Qs. An-Nisaa’ 4:34)
Rujukannya :
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita.” (Qs. An-Nisaa’ 4:34)
Ayat ini memang konteksnya berbicara
seputar rumah tangga, akan tetapi secara logikanya, seorang kepala rumah tangga
saja haruslah laki-laki, apalagi seorang kepala negara yang notabene sebagai
kepala atau pemimpin dari banyak kepala keluarga lain, maka tidak bisa lain,
dia haruslah laki-laki.
“Dan anak laki-laki tidaklah sama
dgn anak wanita” (Qs. Ali Imron 3:36)
4. Hadist :
“Diriwayatkan dari Abu Bakar, katanya : Tatkala sampai berita kepada Rasulullah bahwa orang-orang Persi mengangkat raja puteri Kaisar, Beliau bersabda: Tidak akan pernah beruntung keadaan suatu kaum yang menyerahkan kepemimpinannya pada seorang perempuan.” Diriwayatkan oleh Bukhari, Turmudzi dan an-Nasa’i)
Hadist diatas memang diucapkan oleh
Rasul ketika menanggapi kabar dipilihnya seorang wanita, puteri Anusyirwan dari
Persi, menjadi pemimpin. Akan tetapi coba perhatikan konteks sabda tsb tidak
menyebut bahwa ucapan tsb hy berlaku bagi kerajaan Persi, namun suatu gambaran
umum tentang tidak layaknya wanita dijadikan pemimpin dalam suatu bangsa.
Pertanyaan yg timbul …
1. Bagaimana dgn
pemerintahan Ratu Saba’ yang dikenal bernama Balqis ?
- Ratu Balqis menjadi kepala negara, jauh sebelum dia mengenal Islam dan dipercaya kawin dengan Nabi Sulaiman. Setelah dia ditundukkan oleh Sulaiman dan menjadi istrinya, otomatis yang menjadi kepala negara adalah Sulaiman, bukan lagi Balqis.
- Ratu Balqis menjadi kepala negara, jauh sebelum dia mengenal Islam dan dipercaya kawin dengan Nabi Sulaiman. Setelah dia ditundukkan oleh Sulaiman dan menjadi istrinya, otomatis yang menjadi kepala negara adalah Sulaiman, bukan lagi Balqis.
2. Apakah Islam
melakukan diskriminasi terhadap perempuan ?
- Islam tidak melakukan
diskriminasi,
Untuk memimpin suatu negara, orang harus benar-benar total, baik dalam waktu, pikiran maupun resiko dan tanggung jawabnya bahkan terkadang harus rela disibukkan oleh aktifitasnya, menghadiri rapat diberbagai kesempatan, melakukan perjalanan dinas dan seterusnya yang tentu saja sulit dilakukan oleh seorang wanita, karena ia juga harus melayani suami dan anak-anak sebagai tugas utamanya.
“Bagi para wanita, mereka punya hak
yg seimbang dgn kewajibannya menurut cara yg benar. Tapi para suami memiliki
satu tingkat kelebihan dari istrinya.” (Qs. Al-Baqarah 2:228)
“Setiap kamu adalah pemimpin dan
setiap kamu bertanggung jawab atas kepemimpinanmu. Laki-laki adalah pemimpin
dlm keluarganya, dan dia harus mempertanggung jawabkan kepemimpinannya itu.
Perempuan adalah pemimpin dlm rumah suaminya dan diapun bertanggung jawab thd
kepemimpinannya.” (Hadist Riwayat Ahmad, Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi
dari Ibnu Umar)
Dalam sejarah, Nabi Saw mengikut
sertakan wanita dalam medan perang, namun mereka bukan dijadikan umpan peluru,
tetapi sebagai prajurit yang bertugas memberikan pertolongan bagi mereka yg
terluka seperti dicontohkan oleh Fatimah az-Zahrah puteri Beliau sendiri,
kemudian wanita juga mempersiapkan konsumsi seperti dilakukan oleh ‘Aisyah,
istri Beliau.
Bahkan Khadijah istri Nabi yang pertama adalah seorang saudagar (pengusaha).
Bahkan Khadijah istri Nabi yang pertama adalah seorang saudagar (pengusaha).
Sesudah Nabi wafat, Khalifah Umar, sahabatnya, mengangkat Ummu As-syifa’ al-Ansyoriah sebagai pengawas dan pengontrol pasar Madinah (kalau sekarang ini mungkin bisa disetarakan dengan kedudukan menteri ekonomi).
Patut dicatat bahwa tugas seorang
menteri tidak seberat dan sebesar tanggung jawab tugas kepala negara. Disisi
lain, menteri tetap harus bertanggung jawab kepada pemimpinnya, yaitu presiden
(dlm istilah agamanya, isteri memiliki tanggung jawab atas kepemimpinannya
dalam rumah tangga suaminya).
Itulah contoh dan bentuk emansipasi wanita didalam Islam.
Lalu Bagaimana bila kepala negaranya
wanita dan wakilnya pria ?
- Ini terbalik, alQur’an dan Hadist tidak membenarkan wanita memimpin pria, istri memimpin suami, Imam wanita Makmum laki-laki.
- Ini terbalik, alQur’an dan Hadist tidak membenarkan wanita memimpin pria, istri memimpin suami, Imam wanita Makmum laki-laki.
Lalu Bagaimana bila suatu saat sang
wakil melengserkan sipemimpin yang sebelumnya adalah wanita ?
- Tetap saja pada waktu pemilihan pertama, sang pemimpin adalah wanita dan sang wakil adalah laki-laki, tetap bertentangan dengan ajaran Islam.
- Tetap saja pada waktu pemilihan pertama, sang pemimpin adalah wanita dan sang wakil adalah laki-laki, tetap bertentangan dengan ajaran Islam.
Kapan kita boleh memilih wanita sbg
pemimpin ?
- Bila sudah tidak ada lagi laki-laki Islam yg mampu jadi pemimpin !
- Bila sudah tidak ada lagi laki-laki Islam yg mampu jadi pemimpin !
- Bolehkah kita Golput ?
Golput artinya tidak memilih, inipun
tidak dibenarkan oleh Islam.
Ali bin Abu Thalib sempat tidak setuju dgn kepemimpinan Abu Bakar pasca kematian Nabi Muhammad. Tetapi itu diawali dgn ketidakpuasan Fatimah az-Zahrah Istri Ali yang juga puteri kesayangan Rasul dengan keputusan politik Abu Bakar terhadap tanah Fadak yang diklaim sebagai warisan Nabi Saw untuk puterinya itu. Namun setelah Fatimah wafat dan dengan pemikiran yang panjang kedepan, enam bulan sesudahnya Ali bin Abu Thalib akhirnya memilih mengikuti kepemimpinan Abu Bakar selaku Khalifah/ kepala negara.
Ali bin Abu Thalib sempat tidak setuju dgn kepemimpinan Abu Bakar pasca kematian Nabi Muhammad. Tetapi itu diawali dgn ketidakpuasan Fatimah az-Zahrah Istri Ali yang juga puteri kesayangan Rasul dengan keputusan politik Abu Bakar terhadap tanah Fadak yang diklaim sebagai warisan Nabi Saw untuk puterinya itu. Namun setelah Fatimah wafat dan dengan pemikiran yang panjang kedepan, enam bulan sesudahnya Ali bin Abu Thalib akhirnya memilih mengikuti kepemimpinan Abu Bakar selaku Khalifah/ kepala negara.
Dalam hal kepemimpinan, Islam secara
tegas memberi arahan pada umatnya tentang kriteria dan juga kewajiban untuk
melaksanakan pemilihannya. Hal ini telah dinyatakan dalam nash-nash syar’i.
Nabi Muhammad Saw bersabda:
Jika ada tiga orang bepergian, hendaknya mereka mengangkat salah seorang di antara mereka menjadi pemimpinnya. (HR. Abu Dawud dari Abu Hurairah)
Bila untuk sebuah rombongan kafilah saja diwajibkan pengangkatan kepemimpinan sebagai ketua rombongan yang bertanggung jawab terhadap jemaahnya, maka apakah lagi dalam suatu ruang lingkung kenegaraan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar