Oleh Fauzi Husin
ISU tentang akan berakhir kontrak penjualan LNG Arun ke Korea Selatan akan berakhir pada tahun 2014, wacana ini semakin hangat bergulir di kalangan publik. Berbagai analisa tentang berakhirnya operasional kilang LNG Arun sering juga direspons dengan perspektif, di mana fasilitas kilang bernilai Rp 6.3 triliun akan segera berubah menjadi besi tua bila tidak dipikirkan sekarang ini.
Spekulasi publik tentang berbagai kemungkinan yang akan terjadi muncul karena melihat kenyataan beberapa industri raksasa di Aceh seperti; pabrik pupuk AAF, kilang kertas KKA dan kilang Humpus Aromatic, dalam beberapa tahun belakangan kilang tersebut telah terhenti operasional, karena alasan tidak memiliki sumber bahan baku gas untuk berproduksi.
Ketika kapasitas cadangan gas alam dari ladang Arun, South Lhoksukon, Pase dan North Sumatra Offshore yang rata-rata produksi semakin hari terus merangkak turun. Sekitar tahun 2000-an bersamaan dengan terus meningkatnya harga pasar energi dunia, industri-industri Aceh tersebut mengalami kendala bisnis akhirnya secara bertahap menghentikan kegiatan produksi.
Persoalan baru yang lebih krusial akan segera muncul ketika berakhirnya kontrak penjualan LNG Arun tahun 2014 nanti, bila pemerintah tidak segera mencari solusi dengan kebijakan yang tepat. Krisis akan menciptakan multiplier effect akibat terhenti operasional kilang LNG Arun sehingga berkembang dampaknya terhadap masalah sosial ekonomi masyarakat Aceh lebih luas.
Menyadari gas alam adalah salah satu energi karbon seperti halnya dengan minyak bumi Bensin, Diesel, Aftur, dan minyak tanah yang terdapat di dalam perut bumi melalui proses pembusukan organisme. Perubahan ini terjadi ribuan, bahkan jutaan tahun lalu, apabila energi ini terus menerus dieksploitasi akan berkurang dan suatu saat akan habis total, karena tidak dapat diperbaharui.
Kondisi krusial semacam ini sebenarnya telah lama diprediksi oleh para ahli energi nasional, ketika muncul pertanyaan kalangan publik awal kilang PT Arun NGL didirikan. Cadangan gas alam dari ladang Arun di Lhoksukon hanya dapat beroperasi selama 20-an tahun, termasuk sebagian pasokan industri-industri derivatif yakni pabrik pupuk PIM, AAF dan KKA.
Investasi yang sedang dikembangkan pemerintah yakni pemanfaatan ladang Block-A di lokasi Aceh Timur, yang sekarang sedang dilakukan oleh Medco Energy, diharapkan proyek tersebut sudah mulai dibangun tahun 2008 dan diharapkan tahun 2010 telah dapat memasok gas alam ke industri-industri nasional di Aceh. Penundaan konstruksi karena berbagai faktor, maka proyek eksploitasi gas tersebut masih dalam proses pengembangan.
Mempertahankan operasional kilang LNG Arun melalui mencari ladang-ladang baru dan mencari sumber alternatif untuk menjaga kelangsungan bisnis di Aceh memang perlu, dan harus segera dilakukan, agar menjalankan kembali industri dan kegiatan bisnis di Aceh dapat segera dilakukan.
Rencana untuk membangun kembali industri Aceh melalui usaha modifikasi kilang LNG Arun menjadi Fasilitas Penerima LNG dan unit regasifikasi yang perlu segera direalisasikan mengingat waktu (tahun 2014) yang sudah mendesak.
Beberapa ahli gas nasional telah melakukan asesmen ke kilang LNG Arun mereka telah membuat kalkulasi teknis untuk mencari solusi bagi kemungkinan pemanfaatan kiang LNG Arun untuk dimanfaatkan menjadi gas recieving terminal unit. Bila kebijakan ini dapat direalisasi kelanjutan operasional proyek nasional di Aceh dapat dioperasikan kembali.
Apabila program regasifikasi fasilitas kilang LNG Arun dan hasil kalkulasi berupa Front End Enggineering Design (FEED), fasilitas kilang LNG Arun yang ada sekarang dapat dikonversi menjadi gas recieving terminal unit proyek ini akan mampu men-supply gas alam sekitar 200 MMscfd, dan dapat ditingkatkan menjadi 320 MMscfd. Secara ekonomi, untuk konversi kilang LNG Arun sekarang ke bentuk gas recieving terminal fase awal akan membutuhkan investasi dana sekitar US $73 juta.
Kalkuasi dan kapasitas proyek tersebut dari perkiraan teknis dapat kembali menghidupkan pabrik pupuk Pupuk Iskandar Muda (PIM) yang akan membutuhkan 110 MMscfd, pabrik pupuk Aceh Asean Fertilizer (AAF) sekitar 60 MMsscfd, Pabrik Kertas Kraft Aceh (KKA) kebutuhan gas sekitar 15 MMscfd. Apabila proyek ini dapat direalisasikan nanti, selain menghidupkan industri yang ada di Aceh, juga dapat menghidupkan sarana pembangkit listrik dari fasilitas kilang LNG Arun yang akan idle berupa pembangkit Gas Turbin yakni aset hibah Pemerintah Pusat ke Pemda Aceh butuh sebesar 22,5 MMscfd untuk menghidupkan 3 unit generator yang mampu mensuply 3X20 MW.
Selain itu jika berakhirnya operasional kilang LNG Arun nanti pada tahun 2014, sarana kilang LNG Arun kelebihan pembangkit listrik sebesar 6x20 MW. Infrastruktur ini dapat digunakan untuk membangkitkan tenaga listrik dapat diinterkoneksi ke sistem milik PLN dipasok melalui transmisi 150 kV antara Aceh-Sumatra Utara.
Secara teknis untuk menghidupkan fasilitas pembangkit listrik tersebut, keuntungan yang akan diperoleh dari kegiatan bisnis energi ini sekitar Rp 180 miliar/tahun. Dibandingkan dengan kondisi sekarang ini di mana pemakaian pembangkit tenaga diesel cukup tinggi biaya operasionalnya.
Kita menyadari bahwa pembangkit listrik bahan bakar diesel disamping kurang efisien, emisi gas rumah kaca juga sangat tinggi, sehingga iklim bisnis energi kita di mata dunia bisnis internasional dinilai kurang ramah lingkungan. Bayangkan, bila proyek recieving gas terminal ini dengan investasi sekitar US$73 juta, investasi ini akan memperoleh penerimaan (revenue) sebesar US$ 13.55 juta pertahun.
Peluang ini didukung karena karena fasilitas tanki penimbun (5-unit LNG Tank) serta fasilitas pelabuhan yang merupakan pendukung utama yang sudah ada. Secara kasar proyek regasifikasi tersebut akan memberi manfaat bagi daerah dan juga pemerintah pusat.
Apabila potensi bisnis ini ingin dikembangkan lebih lanjut oleh pemerintah misalnya melalui pengembangan pipanisasi sekitar 350 KM dari kilang Arun-Aceh ke Sumatra Utara, proyek tersebut dapat juga memberi pasokan gas ke pembangkit PLTGU Belawan yang membutuhkan sekitar 60 MMscfd dan mampu juga memasok industri-industri lain di Sumatra Utara diperkirakan mencapai sekitar 120 MMscfd, bisnis ini memberi peluang sangat menarik.
Proyek ini cukup prospektif secara bisnis, karena kelanjutan kegiatan bisnis melalui operasionalisasi kembali industri-industri di Aceh, serta terjamin pasokan untuk pembangkit listrik PLTGU Medan semakin terjamin.
Ketersediaan 2 unit pelabuhan khusus LNG/LPG di kilang LNG Arun yang sampai kini masih terpelihara dengan baik, investasi untuk mengubah bisnis kilang LNG Arun ke proyek gas recieving terminal akan menjadi sangat strategis, selain pengembangan biaya sangat murah, ketimbang pemerintah membangun unit baru yang menelan pembiayaan modal yang cukup besar.
* Penulis adalah President Director PT Arun NGL.
ISU tentang akan berakhir kontrak penjualan LNG Arun ke Korea Selatan akan berakhir pada tahun 2014, wacana ini semakin hangat bergulir di kalangan publik. Berbagai analisa tentang berakhirnya operasional kilang LNG Arun sering juga direspons dengan perspektif, di mana fasilitas kilang bernilai Rp 6.3 triliun akan segera berubah menjadi besi tua bila tidak dipikirkan sekarang ini.
Spekulasi publik tentang berbagai kemungkinan yang akan terjadi muncul karena melihat kenyataan beberapa industri raksasa di Aceh seperti; pabrik pupuk AAF, kilang kertas KKA dan kilang Humpus Aromatic, dalam beberapa tahun belakangan kilang tersebut telah terhenti operasional, karena alasan tidak memiliki sumber bahan baku gas untuk berproduksi.
Ketika kapasitas cadangan gas alam dari ladang Arun, South Lhoksukon, Pase dan North Sumatra Offshore yang rata-rata produksi semakin hari terus merangkak turun. Sekitar tahun 2000-an bersamaan dengan terus meningkatnya harga pasar energi dunia, industri-industri Aceh tersebut mengalami kendala bisnis akhirnya secara bertahap menghentikan kegiatan produksi.
Persoalan baru yang lebih krusial akan segera muncul ketika berakhirnya kontrak penjualan LNG Arun tahun 2014 nanti, bila pemerintah tidak segera mencari solusi dengan kebijakan yang tepat. Krisis akan menciptakan multiplier effect akibat terhenti operasional kilang LNG Arun sehingga berkembang dampaknya terhadap masalah sosial ekonomi masyarakat Aceh lebih luas.
Menyadari gas alam adalah salah satu energi karbon seperti halnya dengan minyak bumi Bensin, Diesel, Aftur, dan minyak tanah yang terdapat di dalam perut bumi melalui proses pembusukan organisme. Perubahan ini terjadi ribuan, bahkan jutaan tahun lalu, apabila energi ini terus menerus dieksploitasi akan berkurang dan suatu saat akan habis total, karena tidak dapat diperbaharui.
Kondisi krusial semacam ini sebenarnya telah lama diprediksi oleh para ahli energi nasional, ketika muncul pertanyaan kalangan publik awal kilang PT Arun NGL didirikan. Cadangan gas alam dari ladang Arun di Lhoksukon hanya dapat beroperasi selama 20-an tahun, termasuk sebagian pasokan industri-industri derivatif yakni pabrik pupuk PIM, AAF dan KKA.
Investasi yang sedang dikembangkan pemerintah yakni pemanfaatan ladang Block-A di lokasi Aceh Timur, yang sekarang sedang dilakukan oleh Medco Energy, diharapkan proyek tersebut sudah mulai dibangun tahun 2008 dan diharapkan tahun 2010 telah dapat memasok gas alam ke industri-industri nasional di Aceh. Penundaan konstruksi karena berbagai faktor, maka proyek eksploitasi gas tersebut masih dalam proses pengembangan.
Mempertahankan operasional kilang LNG Arun melalui mencari ladang-ladang baru dan mencari sumber alternatif untuk menjaga kelangsungan bisnis di Aceh memang perlu, dan harus segera dilakukan, agar menjalankan kembali industri dan kegiatan bisnis di Aceh dapat segera dilakukan.
Rencana untuk membangun kembali industri Aceh melalui usaha modifikasi kilang LNG Arun menjadi Fasilitas Penerima LNG dan unit regasifikasi yang perlu segera direalisasikan mengingat waktu (tahun 2014) yang sudah mendesak.
Beberapa ahli gas nasional telah melakukan asesmen ke kilang LNG Arun mereka telah membuat kalkulasi teknis untuk mencari solusi bagi kemungkinan pemanfaatan kiang LNG Arun untuk dimanfaatkan menjadi gas recieving terminal unit. Bila kebijakan ini dapat direalisasi kelanjutan operasional proyek nasional di Aceh dapat dioperasikan kembali.
Apabila program regasifikasi fasilitas kilang LNG Arun dan hasil kalkulasi berupa Front End Enggineering Design (FEED), fasilitas kilang LNG Arun yang ada sekarang dapat dikonversi menjadi gas recieving terminal unit proyek ini akan mampu men-supply gas alam sekitar 200 MMscfd, dan dapat ditingkatkan menjadi 320 MMscfd. Secara ekonomi, untuk konversi kilang LNG Arun sekarang ke bentuk gas recieving terminal fase awal akan membutuhkan investasi dana sekitar US $73 juta.
Kalkuasi dan kapasitas proyek tersebut dari perkiraan teknis dapat kembali menghidupkan pabrik pupuk Pupuk Iskandar Muda (PIM) yang akan membutuhkan 110 MMscfd, pabrik pupuk Aceh Asean Fertilizer (AAF) sekitar 60 MMsscfd, Pabrik Kertas Kraft Aceh (KKA) kebutuhan gas sekitar 15 MMscfd. Apabila proyek ini dapat direalisasikan nanti, selain menghidupkan industri yang ada di Aceh, juga dapat menghidupkan sarana pembangkit listrik dari fasilitas kilang LNG Arun yang akan idle berupa pembangkit Gas Turbin yakni aset hibah Pemerintah Pusat ke Pemda Aceh butuh sebesar 22,5 MMscfd untuk menghidupkan 3 unit generator yang mampu mensuply 3X20 MW.
Selain itu jika berakhirnya operasional kilang LNG Arun nanti pada tahun 2014, sarana kilang LNG Arun kelebihan pembangkit listrik sebesar 6x20 MW. Infrastruktur ini dapat digunakan untuk membangkitkan tenaga listrik dapat diinterkoneksi ke sistem milik PLN dipasok melalui transmisi 150 kV antara Aceh-Sumatra Utara.
Secara teknis untuk menghidupkan fasilitas pembangkit listrik tersebut, keuntungan yang akan diperoleh dari kegiatan bisnis energi ini sekitar Rp 180 miliar/tahun. Dibandingkan dengan kondisi sekarang ini di mana pemakaian pembangkit tenaga diesel cukup tinggi biaya operasionalnya.
Kita menyadari bahwa pembangkit listrik bahan bakar diesel disamping kurang efisien, emisi gas rumah kaca juga sangat tinggi, sehingga iklim bisnis energi kita di mata dunia bisnis internasional dinilai kurang ramah lingkungan. Bayangkan, bila proyek recieving gas terminal ini dengan investasi sekitar US$73 juta, investasi ini akan memperoleh penerimaan (revenue) sebesar US$ 13.55 juta pertahun.
Peluang ini didukung karena karena fasilitas tanki penimbun (5-unit LNG Tank) serta fasilitas pelabuhan yang merupakan pendukung utama yang sudah ada. Secara kasar proyek regasifikasi tersebut akan memberi manfaat bagi daerah dan juga pemerintah pusat.
Apabila potensi bisnis ini ingin dikembangkan lebih lanjut oleh pemerintah misalnya melalui pengembangan pipanisasi sekitar 350 KM dari kilang Arun-Aceh ke Sumatra Utara, proyek tersebut dapat juga memberi pasokan gas ke pembangkit PLTGU Belawan yang membutuhkan sekitar 60 MMscfd dan mampu juga memasok industri-industri lain di Sumatra Utara diperkirakan mencapai sekitar 120 MMscfd, bisnis ini memberi peluang sangat menarik.
Proyek ini cukup prospektif secara bisnis, karena kelanjutan kegiatan bisnis melalui operasionalisasi kembali industri-industri di Aceh, serta terjamin pasokan untuk pembangkit listrik PLTGU Medan semakin terjamin.
Ketersediaan 2 unit pelabuhan khusus LNG/LPG di kilang LNG Arun yang sampai kini masih terpelihara dengan baik, investasi untuk mengubah bisnis kilang LNG Arun ke proyek gas recieving terminal akan menjadi sangat strategis, selain pengembangan biaya sangat murah, ketimbang pemerintah membangun unit baru yang menelan pembiayaan modal yang cukup besar.
* Penulis adalah President Director PT Arun NGL.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar