Sejak Perang Dunia II usai, kata yang paling banyak dibicarakan orang
adalah “pembangunan”. Pembangunan adalah berkah perdamaian dan
kemerdekaan yang dicapai oleh banyak negara selepas dari kekuasaan
kolonial. Pembangunan juga merupakan usaha yang dilakukan secara sadar
untuk
memperbaiki kehidupan. Usaha itu mencakup hampir seluruh faset
kehidupan manusia, seperti ekonomi, politik, mental-spiritual, seni, dan budaya. Kadang-kadang, pembangunan ekonomi
juga dijadikan dasar pembenaran atas langkah-langkah tertentu, seperti
penggusuran, dan stabilitas dengan justifikasi dari pembangunan yang
sering kali disokong pembenarannya, baik oleh agama, budaya, maupun
komitmen kemasyarakatan.
Kita tahu sejak 25 tahun yang lalu, Indonesia melaksanakan pembangunan ekonomi
dengan titik berat pada bidang perekonomian. Hasil-hasilnya pun sudah
banyak dan dapat dirasakan oleh semua orang. Keberhasilan Indonesia
membangun adalah keberhasilan rakyat Indonesia, termasuk umat Islam,
yang merupakan bagian terbesar rakyat Indonesia. Untuk itu, kita
bersyukur. Namun, keberhasilan itu masih sangat terbatas dibandingkan
dengan yang telah dicapai negara-negara lain, apalagi bila dibandingkan
dengan keinginan dan cita-cita bangsa. Tantangan masih sangat banyak dan
berat.
Umat Islam, sebagai bagian terbesar dari bangsa kita,
ditantang menggegaskan tugas suci menyejahterakan diri dan bangsanya.
Dan, ini tidak boleh gagal. Kegagalan Indonesia membangun tidak bisa
lain adalah kegagalan umat Islam. Umat Islam-lah yang seharusnya paling
bertanggung jawab atas berhasil-tidaknya pembangunan ekonom
karena umat Islam jualah yang seharusnya paling berkepentingan dengan
kemajuan bangsa, negara, dan tanah airnya. “Cinta tanah air adalah
sebagian dari iman,” kata mubalig. Satu-satunya cara agar kita berhasil
mengubah citra melalui peningkatan kesejahteraan ekonomi umat adalah
dengan bekerja, yaitu bekerja dalam suatu sistem dan mekanisme yang
unggul serta teruji untuk mencapai tingkat produktivitas yang optimal
dan efisiensi yang tinggi.
Patut disayangkan, sampai sekarang
berdasarkan pengamatan penulis, secara nasional perekonomian Indonesia
adalah yang paling tidak efisien dibandingkan dengan semua negara ASEAN,
kecuali Filipina. Apalagi bila dibandingkan dengan negara-negara newly
industrializing countries (NICs).” Hal itu berarti hasil-hasil ekonomi pembangunan
yang selama ini dicapai dapat lebih baik lagi bila masyarakat pelaku
ekonomi Indonesia dapat bekerja lebih produktif dan efisien.
Apabila
kita melanjutkan pengamatan kasar ini dengan menambahkan observasi
etnologis, tak ayal lagi dapat menimbulkan pikiran yang agak
menggelikan, misalnya kita membandingkan persentase penduduk China di
Taiwan, Hongkong, Singapura, Thailand, Malaysia, dan Indonesia. Urutan
berdasarkan persentasi tertinggi sampai terendah itu dapat menggoda kita
untuk mengambil kesimpulan bahwa semakin sedikit jumlah orang China,
semakin kurang efisien, kurang maju perekonomian, dan semakin rendah
tingkat industrialisasi. Semakin banyak orang China, semakin maju dan
modernlah perekonomian.
Pengamatan ini tidak terlalu salah bila
kita perhatikan kenyataan kelompok-kelompok etnis lain yang juga unggul
dalam perekonomian di Eropa dan di wilayah lain di dunia. Sementara itu,
kelompok etnis Melayu di Malaysia” dan pribumi di Indonesia untuk
sekian lama masih perlu belajar banyak untuk mengejar ketertinggalannya.
Salah satu faktor yang menyebabkan ketertinggalan itu adalah sikap
kerja bumiputera dan pribumi yang perlu terus mendapat suntikan semangat
dari “ideologi” atau keyakinan yang dianutnya. Hal yang terakhir ini
akan kita bahas pada bagian lain perbincangan kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar