Evi Mutia
Heru Fahlevi
Abstract: Emotional intelligence represent ability feel, comprehending, and
selectively apply energy and sensitivity of emotion as source of influence
Intelligence of emotion claim owner of feeling, to learn to confess, esteeming
feeling at the others and also answering it correctly, applying effectively
emotion energy in everyday life. This study examines the relationship between
Emotional intelligence and Work Stress
of lecturer at Economic Faculty of UNSYIAH. The population of this research is all lecturers at Economic
Faculty of UNSYIAH. The sample was
taken by Purposive sampling technique with criteria respondents have structural
position the data were collected by
using questionnaires. Data analysis to test hypothesis is done with simple
linear regression. This research results shows that Emotional
intelligence had significantly effect
on Work Stress of lecturer
at Economic Faculty of UNSYIAH. Result
of this research can give contribution that Emotional intelligence is important intelligence among
educator accountant in upgrading education.
Key
Words: Emotional Intelligence and Work Stress
|
Evi Mutia, Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala
Heru Fahlevi, Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala
22
PENDAHULUAN
Proses
belajar mengajar dalam berbagai aspeknya sangat berkaitan dengan kecerdasan
emosional baik dari dosen maupun mahasiswa. Dosen sebagai pihak yang memberikan
pengayaan wawasan dan ilmu pengetahuan kepada mahasiswanya dituntut memiliki
seluruh keterampilan dan kemampuan pendukung dalam upaya memberikan yang
terbaik kepada mahasiswa. Selain harus memiliki kecerdasan intelektual (IQ)
yang tinggi, seorang dosen juga harus memiliki tingkat kecerdasan emosional (EQ)
yang tinggi pula yang ditunjukkan melalui kemampuannya untuk memotivasi dirinya, kesanggupannya untuk
untuk tegar dalam menghadapi frustasi (tekanan) serta mampu berempati dan
bekerja sama dengan orang lain (Melandy dan Aziza, 2006).
Di sisi lain, stress (tekanan) kerja
merupakan bagian dari kehidupan, tak terkecuali dalam profesi tenaga pengajar
(dosen). Stress yang negatif (distress)
merupakan akibat dari kegagalan seseorang yang tidak mampu menyelesaikan
persoalannya sesuai dengan harapannya sehingga memberikan dampak buruk bagi
kehidupannya (Lentera hati,2006).
Namun, bagi seseorang yang memiliki
kecerdasan emosional yang tinggi (EQ) diperkirakan sanggup bertahan melawan
frustasi akibat stress. Hal ini disebabkan orang yang cerdas secara emosional punya
kemampuan untuk mengendalikan diri, semangat dan ketekunan (Lentera hati,2006).
Berdasarkan pemikiran di atas, stress (tekanan) kerja dan tekanan hidup telah menjadi isu yang
menarik untuk diuji oleh para peneliti akuntansi. Weick (1983) menyimpulkan bahwa
stress merupakan suatu hal penting yang mengiringi praktek akuntansi (Rebele
dan Michaels, 1990). Lebih lanjut lagi, Libby(1983) menyatakan bahwa konsep
stress dapat menyediakan suatu struktur yang berguna dalam menganalisa
keragaman isu-isu akuntansi (Rebele dan Michaels, 1990).
Stress dapat diartikan sebagai
sebuah ungkapan psikologis yang terjadi ketika seseorang menghadapi
situasi-situasi yang dirasa melebihi kemampuannya (Lazarus,1996; Snead dan
Harrell,1991). Studi yang telah dilakukan untuk mendapatkan faktor-faktor
penyebab tekanan kerja telah dilakukan oleh Snead dan Harrell (1991). Studi
tersebut menyimpulkan bahwa kelebihan jam kerja dan beban kerja merupakan
faktor-faktor yang memberi kontribusi terhadap tekanan kerja. Sedangkan
mengenai dampak tekanan kerja terhadap kerja adalah berkurangnya kepuasan
kerja, meningkatnya tegangan (konflik) dan kecenderungan untuk meninggalkan
organisasi (Senatra,1980; Rebele dan Michaels 1990).
Kecerdasan emosional (Emotional
Quotient : EQ) ditenggarai mampu meningkatkan ketangguhan dan optimisme individual dalam menghadapi
tekanan kerja. Oleh karena itu, penelitian mengenai pengaruh kecerdasan
emosional terhadap kemampuan mengadapi tekanan kerja perlu dilakukan, karena
konsekuensinya yang besar terhadap kinerja yang dihasilkan.
Mengingat sikap dan perilaku etis
akuntan dapat terbentuk melalui proses pendidikan yang terjadi dalam lembaga
pendidikan akuntansi melalui proses belajar-mengajar (Sudibyo, 1995; Khomsiyah
dan Indrianto; Tikollah et al, 2006) maka dibutuhkan sebuah penelitian yang
akan memberikan bukti empiris mengenai
pengaruh kecerdasan emosional terhadap kemampuan mengadapi (tekanan
kerja) dosen akuntansi demi optimalnya hasil yang diperoleh dalam proses
pendidikan tersebut.
KERANGKA TEORITIS
Pengertian Kecerdasan Emosional
Berdasarkan
pengertian tradisional, kecerdasan meliputi kemampuan membaca, menulis dan
berhitung yang merupakan keterampilan kata dan angka yang menjadi fokus di
pendidikan formal (sekolah), dan sesungguhnya mengarahkan seseorang untuk
mencapai sukses di bidang akademis. Tetapi definisi keberhasilan hidup tidak
hanya ini saja. Pandangan baru yang berkembang mengatakan bahwa ada kecerdasan
lain di luar kecerdasan intelektual (IQ), seperti bakat, ketajaman pengamatan
sosial, hubungan sosial, kematangan emosional, dan lain-lain yang harus juga
dikembangkan.
Howes dan Herald (1999) mengatakankecerdasaan emosional merupakan komponen
yang membuat seseorang menjadi pintar menggunakan emosi. emosi manusia berada
diwilayah dari perasaan lubuk hati, naluri yang tersembunyi, dan sensasi emosi
yang apabila diakui dan dihormati, kecerdasaan emosional menyediakan pemahaman
yang lebih mendalam dan lebih utuh tentang diri sendiri dan orang lain (Mu'tadin
: 2002)
Selanjutnya. menurut Wibowo (2002) kecerdasan emosional adalah kecerdasan
untuk menggunakan emosi sesuai dengan keinginan, kemampuan untuk mengendalikan
emosi sehingga memberikan dampak yang positif (Melandy dan Aziza, 2006). Kecerdasan emosional dapat membantu membangun hubungan
dalam menuju kebahagiaan dan kesejahteraan. Sedangkan menurut Goleman (2000)
kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan, memahami, dan secara efektif
menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi, koneksi,
dan pengaruh yang manusiawi (Melandy dan Aziza, 2006).. Menurut Salovey dan
Mayer (dalam Melandy dan Aziza, 2006), pencipta istilah “kecerdasan emosional”,
mendefinisikan kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk mengenali perasaan,
meraih dan membangkitkan perasaan untuk membantu pikiran, memahami perasaan dan
maknanya, dan mengendalikan perasaan secara mendalam sehingga membantu
perkembangan emosi dan intelektual.
Lebih lanjut, kecerdasan emosional mencakup pengendalian diri, semangat,
dan ketekunan, serta kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan
menghadapi frustrasi, kesanggupan untuk mengendalikan dorongan hati dan emosi,
tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban
stress tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, untuk membaca perasaan terdalam
orang lain (empati) dan berdoa, untuk memelihara hubungan dengan
sebaik-baiknya, kemampuan untuk menyelesaikan konflik, serta untuk memimpin
(Secapramana,1999).
Dari beberapa pendapat di atas dapatlah dikatakan bahwa kecerdasan
emosional menuntut diri untuk belajar mengakui dan menghargai perasaan diri
sendiri dan orang lain dan untuk menanggapinya dengan tepat, menerapkan dengan
efektif energi emosi dalam kehidupan dan pekerjaan sehari-hari. Menurut
Mu’tadin (2002) dalam Melandy dan Aziza, 2006, terdapat tiga unsur penting
kecerdasan emosional yang terdiri dari: kecakapan pribadi (mengelola diri
sendiri); kecakapan sosial (menangani suatu hubungan) dan keterampilan sosial
(kepandaian menggugah tanggapan yang dikehendaki pada orang lain).
Komponen Kecerdasan Emosional
Menurut Daniel Goleman (2003), terdapat
lima dimensi atau komponen kecerdasan emosional (EQ) yaitu:
1. Pengenalan diri (Self awareness),
2. Pengendalian diri (self regulation),
3. Motivasi (motivation),
4. Empati (empathy),
5. Keterampilan sosial (social skills),
Pengenalan Diri (Mengenali emosi diri )
Kesadaran diri dalam
mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi merupakan dasar kecerdasan
emosional. Pada tahap ini diperlukan adanya pemantauan perasaan dari waktu ke
waktu agar timbul wawasan psikologi dan pemahaman tentang diri. Ketidakmampuan
untuk mencermati perasaan yang sesungguhnya membuat diri berada dalam kekuasaan
perasaan. Sehingga tidak peka akan perasaan yang sesungguhnya yang berakibat
buruk bagi pengambilan keputusan masalah.
Pengendalian diri (Mengelola emosi )
Mengelola emosi berarti
menangani perasaan agar perasaan dapat terungkap dengan tepat, hal ini
merupakan kecakapan yang sangat bergantung pada kesadaran diri. Emosi dikatakan
berhasil dikelola apabila : mampu menghibur diri ketika ditimpa kesedihan,
dapat melepas kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan bangkit kembali
dengan cepat dari semua itu. Sebaliknya orang yang buruk kemampuannya dalam
mengelola emosi akan terus menerus bertarung melawan perasaan murung atau
melarikan diri pada hal-hal negatif yang merugikan dirinya sendiri.
Motivasi; Kemampuan seseorang memotivasi diri dapat
ditelusuri melalui hal-hal sebagai berikut : a) cara mengendalikan dorongan
hati; b) derajat kecemasan yang berpengaruh terhadap unjuk kerja seseorang; c)
kekuatan berfikir positif; d) optimisme; dan e) keadaan flow (mengikuti
aliran), yaitu keadaan ketika perhatian seseorang sepenuhnya tercurah ke dalam
apa yang sedang terjadi, pekerjaannya hanya terfokus pada satu objek. Dengan
kemampuan memotivasi diri yang dimilikinya maka seseorang akan cenderung
memiliki pandangan yang positif dalam menilai segala sesuatu yang terjadi dalam
dirinya.
Empati (Mengenali emosi orang lain ); Empati atau mengenal emosi orang lain dibangun
berdasarkan pada kesadaran diri. Jika seseorang terbuka pada emosi sendiri,
maka dapat dipastikan bahwa ia akan terampil membaca perasaan orang lain.
Sebaliknya orang yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan emosinya sendiri
dapat dipastikan tidak akan mampu menghormati perasaan orang lain.
Keterampilan sosial (Membina
hubungan dengan orang lain); Seni dalam
membina hubungan dengan orang lain merupakan keterampilan sosial yang mendukung
keberhasilan dalam pergaulan dengan orang lain. Tanpa memiliki keterampilan
seseorang akan mengalami kesulitan dalam pergaulan sosial. Sesungguhnya
karena tidak dimilikinya keterampilan-keterampilan semacam inilah yang
menyebabkan seseroang seringkali dianggap angkuh, mengganggu atau tidak
berperasaan
Seseorang yang tidak mempunyai
kecerdasan emosional yang tinggi dapat ditandai dengan hal-hal berikut:
mempunyai emosi yang tinggi, cepat bertindak berdasarkan emosinya, dan tidak
sensitif dengan perasaan orang lain. Orang yang tidak mempunyai kecerdasan
emosional tinggi, biasanya mempunyai kecenderungan untuk menyakiti dan memusuhi
orang lain (Dameria; 2005).
Dalam dunia kerja, orang-orang yang
mempunyai kecerdasan emosional yang tinggi sangat diperlukan, terlebih dalam
tim untuk mencapai tujuan tertentu. Karenanya, orang tua dan para guru harus
memupuk kecerdasan emosional sejak dini (Dameria; 2005).
Tabel 1: Kerangka Kerja Kecakapan Emosi
Kecakapan
pribadi
Menentukan bagaimana
kita mengolah diri sendiri
|
Kecakapan Sosial
Menentukan bagaimana kita menangani suatu hubungan
|
Kesadaran Diri
Mengetahui kondisi diri sendiri, kesukaan, sumberdaya dan intuisi
•
Kesadaran emosi : mengenali emosi diri sendiri dan efeknya
•
Penilaian diri secara teliti : mengetahui kekuatan dan batas-batas diri
sendiri.
•
Percaya diri : keyakinan tentang harga diri dan kemampuan sendiri.
Pengaturan diri
mengelola kondisi, implus, dan sumberdaya diri sendiri.
•
Kendali diri : mengelola emosi dan desakan hati yang merusak.
•
Sifat dapat dipercaya : memelihara norma kejujuran dan integritas
•
Kewaspadaan : bertanggung jawab atas kinerja pribadi
•
Adaptibilitas : keluwesan dalam menghadapi perubahan
•
Inovasi : mudah menerima dan terbuka terhadap gagasan, pendekatan dan informasi
baru
Motivasi
Kecenderungan emosi yang mengantar atau memudahkan peraihan sasaran.
•
Dorongan prestasi : dorongan untuk menjadi lebih baik atau memnuhi
standar keberhasilan
•
Komitmen : menyesuaikan diri dengan sasaran kelompok atau perusahaan
•
Inisiatif : kesiapan untuk memanfaatkan kesempatan
•
Optimisme : kegigihan dalam memperjuangkan sasaran kendati ada halangan
dan kegagalan.
|
Empati
Kesadaran terhadap perasaan, kebutuhan, dan kepentingan
orang lain
•
Memahami orang lain : mengindra perasaan dan perspektif orang lain dan
menunjukkan minat aktif terhadap kepentingan mereka.
•
Orientasi pelayanan: mengantisipasi, mengenali dan berusaha memenuhi
kebutuhan pelanggan
•
Mengembangkan orang lain: merasakan kebutuhan perkembangan orang lain dan
berusaha menumbuhkan kemampuan mereka.
•
Mengatasi keseragaman : menumbuhkan peluang melalui pergaulan dengan
bermacam-macam orang.
•
Kesadaran politis : mampu membaca arus emosi
sebuah kelompok dan hubungannya dengan kekuasaan.
Keterampilan tatis
Kepintaran dalam menggugah tanggapan yang dikehendaki pada orang lain.
•
Pengaruh : memiliki taktik untuk melakukan persuasi
•
Komunikasi : mengirimkan pesan yang jelas dan meyakinkan
•
Kepemimpinan : membangkitkan inspirasi dan memandu kelompok dan orang
lain
•
Katalisator perubahan : memulai dan mengelola perubahan
•
Manajemen konflik : negosiasi dan pemecahan silang pendapat
•
Pengikat jaringan : menumbuhkan hubungan sebagai alat
•
Kolaborasi dan kooperasi : kerja sama dengan orang lain demi tujuan
bersama
•
Kemampuan tim : menciptakan sinergi kelompok dalam memperjuangkan tujuan
bersama.
|
Sumber : Goleman (2003)
Tekanan Kerja
Jika
seseorang dihadapkan pada tuntutan pekerjaan yang melampaui kemampuan
individunya, maka dikatakan bahwa individu tersebut mengalami stress kerja
(Rini, 2002). Stress
dapat diartikan sebagai sebuah ungkapan psikologis yang terjadi ketika
seseorang menghadapi situasi-situasi yang dirasa melebihi kemampuannya
(Lazarus,1996; Snead dan Harrell,1991). Jadi, stress (tekanan) dapat
disiumpulkan sebagai tanggapan psikologis atau perilaku individual ketika
menghadapi situasi-situasi di atas kemampuannya untuk mengatasinya.
Dalam sebuah artikel yang dimuat di situs Lentera
Kehidupan, stress dapat disebabkan oleh beberapa statis (stressor), yaitu: ketidakharmonisan keluarga, lingkungan, beban
studi dan pekerjaan, atau kenyataan tidak sesuai dengan harapan.
Sedangkan menurut Rini (2002), gejala stress dapat
dibagi tiga yaitu:
1.
Gejala psikologis seperti:
kecemasan, ketegangan, bingung, memendam perasaan, komunikasi tidak efektif,
depresi, merasa terasing dan mengasingkan diri, ketidakpuasan kerja, kebosanan,
lelah mental dst.
2.
Gejala fisik, seperti:
meningkatnya detak jantung dan tekanan darah, gangguan gastrointestinal, mudah
lelah secara fisik dst.
3.
Gejala perilaku, seperti:
menghindari tugas, penurunan prestasi dan produktivitas, meningkatnya frekuensi
absensi,penurunan kualitas hubungan interpersonal dst.
Untuk
memahami sumber stress kerja, amatlah penting untuk melihat stress kerja
sebagai interaksi dari beberapa faktor, yaitu stress di pekerjaan itu sendiri
sebagai faktor eksternal, dan faktor internal seperti karakter dan persepsi
dari karyawan itu sendiri. Dengan kata lain, stress kerja tidak semata-mata
disebabkan masalah internal, sebab reaksi terhadap stimulus akan sangat
tergantung pada reaksi subyektif individu masing-masing (Rini,2002).
Beberapa
sumber stress yang menurut Cary Cooper (1983) dianggap sebagai sumber stress
kerja adalah stress karena kondisi pekerjaan, masalah peran, hubungan
interpersonal, kesempatan pengembangan karir, dan struktur organisasi. Kondisi
kerja yang buruk berpotensi menjadi penyebab karyawan mudah jatuh sakit, mudah
stress, sulit berkonsentrasi dan menurunnya produktivitas kerja seperti:
ruangan kerja tidak nyaman, panas, sirkulasi udara kurang memadai, ruangan
kerja terlalu padat, lingkungan kerja kurang bersih, berisik, tentu besar
pengaruhnya pada kenyamanan kerja karyawan (Rini,2002).
Ada sebuah penelitian menarik
tentang stress kerja menemukan bahwa sebagian besar karyawan yang bekerja di
perusahaan yang sangat besar, atau yang kurang memiliki struktur yang jelas,
mengalami stress karena konflik peran. Mereka stress karena ketidakjelasan
peran dalam bekerja dan tidak tahu apa yang diharapkan oleh manajemen (Rice,
1992: Rini 2002).
Penelitian yang
dilakukan oleh Seiler dan Pearson (1984) yang melibatkan pengajar akuntansi
menyimpulkan bahwa tingkat stress dapat diprediksi. Lebih
lanjut, kepuasan kerja menjadi faktor utama dalam meningkatnya tingkat stress
di kalangan tenaga pengajar akuntansi.
Menurut
Undang-undang No. 14 tahun 2005, ditetapkan beberapa tugas utama dosen yaitu:
mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan,
teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
Berdasarkan undang-undang tersebut, seorang dosen dituntut untuk melaksanakan
kegiatan pendidikan dan juga kegiatan penelitian dan pengabdian kepada
masyarakat secara bersamaan. Besarnya beban dan terlalu umumnya penjelasan
tugas dosen ini ditenggarai mampu menimbulkan tingkat tekanan kerja yang
relatif tinggi dan ditambah lagi tugas tersebut memiliki pengaruh yang besar
terhadap kenaikan pangkat dan kesejahteraan dosen.
Berdasarkan
uraian di atas dan penelitian-penelitian terdahulu maka dapat dikembangkan
hipotesis berikut ini:
Ha: Kecerdasan
emosional mempengaruhi kemampuan dalam menghadapi tekanan kerja dosen Fakultas
Ekonomi Unsyiah.
METODOLOGI RISET
Populasi dan Sampel
Penelitian
Populasi
penelitian ini adalah seluruh dosen Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala. Sedangkan metode sampling yang
digunakan adalah purposive sampling dengan kriteria sampel adalah dosen yang memiliki jabatan
struktural di
Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala. Kriteria ini ditetapkan mengingat ada
sejumlah dosen yang juga memiliki pekerjaan sampingan di institusi lain
sehingga dikuatirkan akan menimbulkan bias yang signifikan yang berhubungan
dengan sumber tekanan kerja
Data dan Tehnik Pengumpulan Data
Penelitian
ini merupakan penelitian empiris yang terstruktur dengan menggunakan metode
survey yang menguji hipotesis dengan menggali pertanyaan tentang kecerdasan
emosional dan tekanan kerja di lingkungan Fakultas Ekonomi Unsyiah.
Pengumpulan
data penelitian ini dilakukan dengan metode kuesioner yang berisikan
pertanyaan-pertanyaan yang secara valid dapat mengukur variabel penelitian. Kuesioner
terbagi dua, yaitu pertanyaan untuk mengukur tingkat kecerdasan emosional
respoden dan pertanyaan untuk menilai tingkat tekanan kerja responden.
Pertanyaan-pertanyaan mengenai kecerdasan emosional merupakan instrumen yang
telah digunakan oleh peneliti sebelumnya (Melandy, R dan Aziza, N: 2006),
begitu juga untuk pengukuran tingkat tekanan kerja yang merupakan
pertanyaan-pertanyaan yang digunakan oleh peneliti sebelumnya
Definisi dan Operasonal
Variabel
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah tekanan kerja (Y), yaitu
ungkapan psikologis yang terjadi ketika seseorang menghadapi
situasi-situasi yang dirasa melebihi kemampuannya (Lazarus,1996; Snead dan
Harrell,1991).Variabel ini diukur dengan menggunakan kuesioner yang
dikembangkan oleh Hendrix et al (1985) dalam Snead dan
harrell (1991). Instrumen ini melihat kemampuan menerima tekanan kerja
responden.
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah tingkat kecerdasan emosional (X)
yaitu: kecerdasan untuk menggunakan emosi sesuai dengan keinginan, kemampuan
untuk mengendalikan emosi sehingga memberikan dampak yang positif. Kecerdasan
emosional dapat membantu membangun hubungan dalam menuju kebahagiaan dan
kesejahteraan. (Wibowo, 2002; Melandy dan Aziza, 2006). Variabel ini diukur
dengan menggunakan kuesioner yang dikembangkan oleh Melandy dan Aziza (2006).
Instrumen ini melihat tingkat kecerdasan emosional responden.
Metode Analisis
Data
Untuk menguji hipotesa
yang telah dikembangkan sebelumnya, digunakan alat statistic simple
regression kemudian juga akan dianalisis koefisien regresi.dengan tujuan
untuk melihat pengaruh kepuasan kerja terhadap komitmen organisasional auditor
pemerintah di Banda Aceh dan diolah dengan menggunakan program SPSS
(Statistical Package For Social Science) realesed 13 programe.
Adapun persamaan regresi dalam penelitian
ini adalah:
Di mana :
Y = Tekanan kerja
a = konstanta
b = koefisien regresi
X = kecerdasan
emosional
Uji Reabilitas Dan Validitas
Sebelum penelitian ini dilakukan, terlebih dahulu dilakukan uji
pendahuluan untuk keandalan (reliabilitas) dan validitas. Uji reliabilitas
untuk mengukur data yang digunakan
apakah bebas dari kesalahan, sehingga diharapkan konsisten. Pengukuran reliabilitas dianggap handal berdasarkan koefisien alpha di
atas 0,50 (Nunnally, 1967) atau 0,60 (Maholtra,1997). Uji validitas untuk
mengukur instrumen yang digunakan agar benar-benar valid, sesuai dengan apa
yang ingin diukur.
Uji Asumsi
Klasik
Uji asumsi klasik dilakukan untuk
mengetahui apakah model estimasi yang digunakan memenuhi asumsi regresi linear
klasik. Hal ini penting
dilakukan agar diperoleh parameter yang valid dan handal. Pengujian ini hanya
menggunakan Uji Normalitas, uji ini dilakukan untuk mengetahui normalitas
variable pengganggu (residual). Regresi linier normal
klasik mengasumsikan bahwa tiap + (residual) didistribusikan secara
normal. Residual variabel yang terdistribusi normal akan terletak disekitar
garis horizontal (tidak terpencar jauh dari garis diagonal).
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam
rangka keperluan penelitian ini maka penulis melakukan pengumpulan data primer
dengan menggunakan kuesioner, yang disampaikan secara langsung oleh peneliti
kepada para responden sebanyak 40 kuesioner Dari jumlah kuesioner yang
diedarkan kepada responden sebanyak 40 lembar kuesioner yang dikembalikan hanya
30 kuesioner, sehingga tingkat pengembalian kuesioner mencapai 75%. Berdasarkan
persentase tingkat pengembalian kuesioner maka data tersebut sudah mencukupi
sebagai ukuran sampel untuk tujuan analisis dan telah memiliki sifat-sifat
bentuk distribusi normal (Wanacot, 1995)
Untuk memberikan
gambaran mengenai variabel-variabel penelitian digunakan tabel statistik deskriptif
yang menunjukkan angka total jumlah, minimum, maksimum, rata-rata, dan standar
deviasi.
Tabel
2: Descriptive Statistics
|
N
|
Minimum
|
Maximum
|
Mean
|
Std. Deviation
|
Kecerdasan emosional
|
30
|
120
|
159
|
141.07
|
9.078
|
Tekanan kerja
|
30
|
17
|
47
|
32.83
|
7.321
|
Valid N (listwise)
|
30
|
|
|
|
|
Uji Validitas dan Reliabilitas
Uji
kualitas data yang diperoleh dari penggunaan statistic penelitian dapat
dievaluasi melalui uji validitas dan uji reliabilitas. Uji validitas menguji
seberapa baik satu atau statistic pengukuran mengukur dengan tepat suatu konsep
studi yang dimaksudkan untuk diukur. Suatu pertanyaan dikatakan valid jika
pertanyaan tersebut mampu untuk mengukur apa yang perlu diukur (Cooper, 2003).
Pengujian
validitas data dalam penelitian ini dilakukan secara Statistic, yaitu dengan
menggunakan uji Pearson product-moment coefficient of correlation dengan
bantuan SPSS 11.5. selanjutnya masing-masing item pertanyaan harus mempunyai
korelasi yang positif dan memiliki tingkat signifikansi di bawah 5%. Sedangkan
jika dilakukan secara manual maka nilai korelasi yang diperoleh masing-masing
pernyataan harus dibandingkan dengan nilai kritis korelasi product moment di mana hasilnya
menunjukkan bahwa semua pernyataan mempunyai nilai korelasi di atas nilai kritis
5% dan berarti data tersebut adalah valid. Hasil pengujian validitas
menunjukkan bahwa semua item-item pertanyaaan dapat dinyatakan valid.
Pengujian
reliabilitas dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana hasil pengukuran tetap
konsisten juga dilakukan secara statistik yaitu dengan menghitung besarnya Cronbach’s Alpha. Berdasarkan tabel di
atas diketahui bahwa Cronbach’s Alpha
mempunyai nilai sebesar 93,80 persen. Dengan demikian pengukuran reliabilitas terhadap
variable penelitian menunjukkan bahwa menunjukkan bahwa instrumen dalam
penelitian ini reliabel (handal) karena nilai alphanya lebih besar dari
0,50 (Malhotra,1996 : 305).
Uji
Asumsi Klasik
Uji Normalitas
Uji normalitas
bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi, variabel terikat dan variabel
bebas keduanya mempunyai distribusi normal atau tidak. Model regresi yang baik adalah memiliki distribusi data normal atau
mendekati normal. Untuk menguji apakah distribusi data normal ataukah tidak,
maka dapat dilakukan analisis grafik atau melihat normal probability plot yang
membandingkan distribusi kumulatif dari data sesungguhnya dengan distribusi kumulatif
dari distribusi normal. Jika distribusi data adalah normal, maka garis yang
menggambarkan data sesungguhnya akan mengikuti garis diagonalnya. (Gozali,
2001).
Dari grafik normal plot, terlihat bahwa titik-titik menyebar disekitar
garis diagonal, serta penyebarannya mengikuti arah garis diagonal. Ini menunjukkan
bahwa model regresi layak dipakai karena memenuhi asumsi normalitas.
Pengujian Hipotesis
Berdasarkan analisis hasil penelitian yang
dilakukan dengan menggunakan regresi linear sederhana untuk menentukan
signifikan kecerdasan emosional terhadap tekanan kerja, maka diperoleh hasil
Adjusted R Square adalah sebagai berikut:
Tabel 3: Hasil Adjusted R
Square Model Summary(b)
Model
|
R
|
R Square
|
Adjusted R Square
|
Std. Error of the Estimate
|
1
|
,701 (a)
|
,480
|
.591
|
7.104
|
a
Predictors: (Constant), kecerdasanemosional
b
Dependent Variable: tekanankerja
Angka Adjusted R Square adalah 0,591 ( 59 % ), hal ini berarti bahwa
tekanan kerja yang dirasakan oleh dosen Fakultas Ekonomi bisa dijelaskan oleh
variabel kecerdasan emosional . Sedangkan sisanya (100% - 48% = 52%) dijelaskan
oleh sebab-sebab yang lain.
Hasil
pengujian hipotesis menunjukkan bahwa kecerdasan emosional berpengaruh negative
terhadap tekanan kerja dengan tingkat signifikansi 0,012 atau nilai
probabilitasnya (sig) ≤ 0,05. pengaruh
kecerdasan emosional terhadap tekanan kerja ditunjukkan oleh koefesien regresi
sebesar -0,275, bentuk pengaruhnya negative. Artinya bahwa jika seseorang
memiliki kecerdasan emosional yang baik maka akan mempengaruhi tingkat tekanan
kerja yang dihadapi.
Tabel 4: Hasil Pengujian
Hipotesis
Model
|
Unstandardized Coefficients
|
Standardized Coefficients
|
|
|
||
B
|
Std. Error
|
Beta
|
t
|
Sig.
|
||
1
|
(Constant)
|
71.684
|
14.822
|
|
4.836
|
.000
|
|
Kecerdasan emosional
|
-.275
|
.105
|
-.323
|
-2.603
|
.012
|
a Dependent Variable: tekanan kerja
Hasil penelitian ini selaras dengan penelitian luthans yang menemukan
bahwa tingkat kecerdasan emosional yng dimiliki oleh seseorang sangat
berpengaruh terhadap kemampuannya dalam menghadapai tekanan kerja.
Hasil
penelitian ini juga menunjukkan bahwa pentingnya seorang dosen mempunyai
kecerdasan emosional yang tinggi untuk dapat mengatasi tekanan kerja dan
bagaimana mensikapinya dengan hal-hal yang baik. Dan Tentu saja stres yang
negatif tidak akan mengidap orang-orang yang punya kecerdasan emosional dan
spiritual yang baik. Sebab, orang yang cerdas secara emosional punya kemampuan
untuk mengendalikan diri, semangat dan ketekunan. Ia juga mampu memotivasi diri sendiri dan bisa bertahan
menghadapi frustasi. Sanggup mengendalikan dorongan hati dan emosi. Ia tidak
melebih-lebihkan kesenangan, mampu mengatur suasana hati (mood), dan
menjaga agar beban stress tidak melumpuhkan kemampuan berpikir serta membaca
perasaan terdalam orang lain (empati), bahkan mampu memelihara hubungan dengan
sebaik-baiknya. Dengan begitu, ia punya kemampuan untuk menyelesaikan masalah
dengan baik.
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data dapat disimpulkan
bahwa tekanan kerja sangat dipengaruhi oleh tingkat kecerdasan emosional yang
dimiliki oleh seseorang. Semakin tinggi kecerdasan emosionalnya maka tekanan
kerja yang dihadapinya menjadi kecil atau dengan kata lain bahwa seseorang yang
memiliki kecerdasan emosional akan mampu mengadapi tekanan kerja yang mungkin
terjadi.
Keterbatasan dan Implikasi
Penelitian
Keterbatasan dari penelitian ini adalah hanya
menggunakan variabel kecerdasan emesional saja serta tidak melihat bagaimana
pengaruh dari masing-masing komponen kecerdasan emesional terhadap tekanan
kerja sehingga tidak dapat diketahui mana yang lebih dominan pengaruhnya.
Adapun implikasi penelitian yang diharapkan pada
penelitian selanjutnya adalah menguji satu per satu dari komponen kecerdasan
emosional, memasukkan variabel lain seperti kecerdasan intelektual dan
kecerdasan spiritual serta tidak hanya melihat pengaruhnya terhadap tekanan
kerja tetapi dapat juga dilihat pengaruhnya terhadap kepuasan kerja.
REFERENSI
Agustian, Ari Ginanjar. 2003. Rahasia Sukses Membangkitkan Kecerdasan Emosional Dan Spiritual.
Jakarta. Arga.
Baihaqi, S. 2002. Analisis Pengaruh EQ Karyawan
terhadap Kualitas Perilaku Pelayanan Kepada Wajib Pajak di Kantor Pelayanan PBB
(Studi pada KPPBB Kediri dan Tulung Agung). Skripsi. Fakultas Ekonomi
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Goleman, Daniel. 2000. Working With Emotional
Intelligence. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama
Loeb, S.E. 1971.
A Survey of Ethical Behavior in the
Accounting Profession. Journal of
Accounting Research Autumn: 287–306.
Luthans, F.
(1995). Organizational Behavior.
Fifth Editions. Singapore: McGraw-Hill Inc
Melandy, R dan Aziza, N (2006) “Pengaruh
Kecerdasan Emosional Terhadap Tingkat Pemahaman Akuntansi, Kepercayaan Diri
Sebagai Variabel Pemoderasi”. Simposium Nasional Akuntansi IX, Padang.
Mu’tadin,
Zainun. 2002. http://www.e-psikologi.com/remaja/250402.htm
Patton, Patricia, Dr. 2002. EQ-Pengembangan Sukses Lebih Bermakna. Jakarta. PT. Mitra Media Publisher.
Rebele,
J.E dan Michaels, RE (1990) “Independent Auditor’s Role Stress:
Antecendent, Outcome, and Moderating Variables”. Behavioral Research in Accounting, Vol 2, pp 124-153.
Rini, F, Jacinta. 2002. http://e-psikologi.com
Svyantek, D.J.
2003. Emotional Intelligence and
Organizational Behavior. The
International Journal of Organizational Analysis 11 (3): 167–169.
Snead, K dan Harrell, A (1991) “The Impact of Psychological Factors on the
Job Satisfaction of Senior Auditors”.
Behavioral Research in Accounting, Vol 3, pp 85-96.
Sularso, Sri,
Drs, M. Si.,Akt. 2003. Metode Penelitian Akuntansi; Sebuah
Pendekatan Replikasi. Yogyakarta. BPFE.
Suryaningrum, Sri, Sucahyo Heriningsih, Afifah Afuwah.
2004. Pengaruh Pendidikan Tinggi Akuntansi Terhadap Kecerdasan Emosional. Denpasar.
Simposium Nasional akuntansi VII.
Sullivan, S. E., & Bhagat, R. S. (1992). Organizational stress, job
satisfaction and job performnace: Where do we go from here?Journal of
Management. Vol. 18, No.2.
Management. Vol. 18, No.2.
Secaprama, VL (1999) http://secapramana.tripod.com/,
Emotional Intelligence,1999.
Tikollah , MR dkk (2006) “Pengaruh
Kecerdasan Intelektual, Kercerdasan Emosional dan Kecerdasan Spiritual Terhadap
Sikap Etis Mahasiswa Akuntansi”. Simposium Nasional Akuntansi IX, Padang
terimakasih ya pak. barakallahu
BalasHapus