Kamis, 15 Desember 2011 09:53 WIB
Mashudi
Oleh Mashudi SR
PUSAT Pelaporan Analisis dan Transaksi Kekuangan (PPATK) belum lama ini melansir laporannya seputar transaksi mencurigakan milik Pegawai Negeri Sipil (PNS) berusia muda dan bergolongan rendah. Sebanyak 50% PNS muda itu memiliki uang dalam jumlah yang mencengangkan. Laporan itu juga sepuluh orang PNS muda golongan III, yang memiliki rekening transaksi mencurigakan karena didapati aliran uang sampai milirian rupiah. Diduga kuat, uang yang tidak sebanding dengan pendapatan resmi perbulan yang mereka terima itu, berasal dari hasil korupsi.
Temuan PPATK terkait dengan rekening mencurigakan milik abdi negara ini bukan peristiwa pertama. Sebelumnya seorang PNS golonggan yang sama Gayus Halomoan P Tambunan, berhasil mencuri perhatian masyarakat luas. Lelaki berbadan subur dan bekerja di Kantor Pajak ini, berhasil mengumpulkan uang dalam jumlah yang sangat pantastis, puluhan miliar rupiah.
Kasus Gayus mengundang perhatian publik bukan hanya karena besarnya jumlah uang yang dimiliki Gayus. Tetapi sumber uang tersebut berasal dari beberapa perusahan wajib pajak yang memiliki kaitan dengan salah seorang politisi dari partai politik besar di tanah air. Meski kasus ini berhasil menggambarkan bagaimana pola dan modus yang digunakan para wajib pajak dan PNS yang bermental seperti Gayus dalam meringankan besarnya biaya atau tunggakan yang harus dibayar, tetapi gagal menyentuh perusahaan mana saja yang menjadi sumber penghasilan tambahan tersebut. Kasus inipun hanya berakhir dengan menjadikan Gayus seorang sebagai pelaku.
Pemberitaan tentang korupsi saban hari dilakukan media. Apa yang diberitakan itu, pastilah belum menggambarkan realitas yang sesungguhnya. Seperti puncak dari sebuah gunung es, kasus-kasus yang muncul kepermukaan hanya yang kecil-kecil saja. Masih banyak korupsi berskala raksasa yang dilakukan para penjahat keuangan.
Begitu juga temuan PPATK terhadap rekening gendut para PNS muda tersebut, barulah sebatas kulit terluar yang ada di permukaan. Praktik berburu rente dengan merampok uang rakyat seperti itu, bahkan terjadi sangat masif dengan melibatkan PNS tua sebagai "mentornya". Sebab tidak mungkin seorang pegawai rendahan berani berbuat nekat seperti itu, tanpa diketahui atau bahkan direstui senior atau atasan. Dengan kata lain, mustahil praktik ini dilakukan sendiri-sendiri tanpa mngikutsertakan orang yang ada di sekitar, apakah itu atasan atau teman sekerja.
Generasi lapis kedua
Birokrasi selama ini dikenal sebagai salah satu episentrum praktik korupsi yang sangat besar, selain partai politik, legislatif dan yudikatif. Hasil penelitian yang dilakukan banyak lembaga menggambarkan betapa perilaku, mental dan pola pikir koruptif dan manipulatif telah berurat-berakar tumbuh di lembaga ini. Dan kondisi ini terjadi merata disemua tingkatan, mulai pusat sampai leevel terendah aparatur desa.
Tidak mengherankan bila setiap laporan Transparansi Internasional tentang Indeks Persepsi Korupsi (IPK) negara-negara, Indonesia selalu berada pada nomor buncit. Tahun 2011, IPK Indonesia berada pada angka 3,0 atau naik 0,2 dari tahun sebelumnya sebesar 2,8 . Dengan angka ini, Indonesia berada pada urutan 100 dari 183 negara yang disurvei, jauh berada di bawah Singapura (9,2), Brunei (5,2), Malaysia (4,3), dan Thailand (3,4). Diakui atau tidak sebagian besar sumbangan atas rendahnya IPK bangsa ini diberikan oleh perilaku dan mental koruptif para amtenar.
Kasus rekening jumbo sepuluh PNS muda tersebut mengabarkan kepada kita bahwa generasi korupsi lapis kedua sudah mulai tumbuh besar. Saat yang sama reformasi birokrasi yang dilakukan ternyata tidak banyak membawa pengaruh berarti bagi perbaikan kinerja, mental dan perilaku pegawainya. Renumerasi yang dianggap sebagai anti thesa atas rendahnya kesejahteraan para pegawai negeri sehingga mudah tergoda untuk berlaku curang, nyatanya bukan jawaban yang tepat.
Praktik pat-gulipat yang menjangkiti para PNS muda ini tentu saja sangat mengkhawatirkan. Mereka adalah generasi yang tumbuh dengan bekal pendidikan yang cukup memadai yang didapat mulai sejak usia dini. Para PNS muda ini lahir dan besar dalam era di mana tuntutan akan perbaikan kehidupan pemerintahan melalui reformasi birokrasi begitu tinggi. Karena itu, kepada merekalah sebetulnya harapan besar digantungkan untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik dan bersih. Sebab tidak lagi bisa berharap terlalu banyak pada generasi lapis pertama, yang sudah begitu terkontaminasi perilaku culas.
Kehidupan birokrasi yang sudah sangat permisif terhadap perilaku korupsi menjadi salah satu penyebab begitu mudahnya praktik haram ini berkembang biak. Tidak ada lagi kepedulian dan rasa ingin tahu yang tinggi terhadap asal muasal uang yang diberikan teman sekerja atau atasan. Atau sikap cenderung mendiamkan dan memahami ketika ada kawan atau atasan yang diketahui sedang atau telah melakukan praktik korupsi. Tidak mengherankan bila ada semboyan "tahu sama tahu" sebagai ungkapan bentuk saling pengertian dan perlindungan terhadap teman satu korps.
Fenomena tumbuhnya korupsi PNS muda ini, harus segera dipangkas, jangan sampai menjalar ke generasi berikutnya. Adanya banyak pihak yang harus terlibat dan bertanggungjawab guna memutus mata rantai terjadinya proses kaderisasi pelaku korupsi di tubuh birokrasi. Selain internal birokrasi itu sendiri, legislatif juga memiliki peran yang sangat strategis. Seperti melakukan penataan sistem pengawasan berlapis melalui serangkaian regulasi.
Saat yang sama aparatur penegak hukum dituntut pula memiliki semangat pemberantasan korupsi dengan menegakkan aturan hukum secara transparan dan akuntabel. Tidak menjadikan kasus ini sebagai peluang atau celah untuk melakukan transaksi jual beli pasal. Demikian halnya dengan partai politik, agar bisa mengontrol kadernya yang memiliki potensi melakukan penyimpangan kekuasaan politik. Sudah menjadi rahasia umum, kader partai ikut menyuburkan perilaku korupsi ditubuh birokrasi ketika berburu rente melalui proyek pembangunan yang didanai APBN atau APBD.
Secara internal pembenahan sistem promosi, rotasi, dan mutasi seta punishment harus dilakukan secara radikal. Promosi jabatan misalnya, harus mempertimbangkan kredibilitas, integritas, dan etika serta rekam jejak. Begitupun, punishment harus memberikan efek jera sehingga bisa menjadi terapi kejut bagi pegawai yang lain. Untuk mendukung hal ini, koreksi terhadap peraturan yang mengatur tentang sanksi bagi pegawai negeri yang melakukan pelanggaran menjadi penting untuk diperbaiki.
Kelompok masyarakat dan media massa menjadi palang pintu terakhir yang harus melakukan penghadangan terhadap serangan balik dari komplotan koruptor. Karena itu pengawalan terus menerus terhadap penegakan hukum dan perbaikan sistem hendaknya dilakukan. Kita pastikan para pelaku koruptor dijatuhi hukuman yang adil, sembari kita bangun kesadaran hukum di masyarakat bahwa korupsi dan para pelakunya layak menerima hukum yang setimpal termasuk hukuman sosial.
* Penulis adalah Aktivis Pemuda Muhammadiyah Aceh.
PUSAT Pelaporan Analisis dan Transaksi Kekuangan (PPATK) belum lama ini melansir laporannya seputar transaksi mencurigakan milik Pegawai Negeri Sipil (PNS) berusia muda dan bergolongan rendah. Sebanyak 50% PNS muda itu memiliki uang dalam jumlah yang mencengangkan. Laporan itu juga sepuluh orang PNS muda golongan III, yang memiliki rekening transaksi mencurigakan karena didapati aliran uang sampai milirian rupiah. Diduga kuat, uang yang tidak sebanding dengan pendapatan resmi perbulan yang mereka terima itu, berasal dari hasil korupsi.
Temuan PPATK terkait dengan rekening mencurigakan milik abdi negara ini bukan peristiwa pertama. Sebelumnya seorang PNS golonggan yang sama Gayus Halomoan P Tambunan, berhasil mencuri perhatian masyarakat luas. Lelaki berbadan subur dan bekerja di Kantor Pajak ini, berhasil mengumpulkan uang dalam jumlah yang sangat pantastis, puluhan miliar rupiah.
Kasus Gayus mengundang perhatian publik bukan hanya karena besarnya jumlah uang yang dimiliki Gayus. Tetapi sumber uang tersebut berasal dari beberapa perusahan wajib pajak yang memiliki kaitan dengan salah seorang politisi dari partai politik besar di tanah air. Meski kasus ini berhasil menggambarkan bagaimana pola dan modus yang digunakan para wajib pajak dan PNS yang bermental seperti Gayus dalam meringankan besarnya biaya atau tunggakan yang harus dibayar, tetapi gagal menyentuh perusahaan mana saja yang menjadi sumber penghasilan tambahan tersebut. Kasus inipun hanya berakhir dengan menjadikan Gayus seorang sebagai pelaku.
Pemberitaan tentang korupsi saban hari dilakukan media. Apa yang diberitakan itu, pastilah belum menggambarkan realitas yang sesungguhnya. Seperti puncak dari sebuah gunung es, kasus-kasus yang muncul kepermukaan hanya yang kecil-kecil saja. Masih banyak korupsi berskala raksasa yang dilakukan para penjahat keuangan.
Begitu juga temuan PPATK terhadap rekening gendut para PNS muda tersebut, barulah sebatas kulit terluar yang ada di permukaan. Praktik berburu rente dengan merampok uang rakyat seperti itu, bahkan terjadi sangat masif dengan melibatkan PNS tua sebagai "mentornya". Sebab tidak mungkin seorang pegawai rendahan berani berbuat nekat seperti itu, tanpa diketahui atau bahkan direstui senior atau atasan. Dengan kata lain, mustahil praktik ini dilakukan sendiri-sendiri tanpa mngikutsertakan orang yang ada di sekitar, apakah itu atasan atau teman sekerja.
Generasi lapis kedua
Birokrasi selama ini dikenal sebagai salah satu episentrum praktik korupsi yang sangat besar, selain partai politik, legislatif dan yudikatif. Hasil penelitian yang dilakukan banyak lembaga menggambarkan betapa perilaku, mental dan pola pikir koruptif dan manipulatif telah berurat-berakar tumbuh di lembaga ini. Dan kondisi ini terjadi merata disemua tingkatan, mulai pusat sampai leevel terendah aparatur desa.
Tidak mengherankan bila setiap laporan Transparansi Internasional tentang Indeks Persepsi Korupsi (IPK) negara-negara, Indonesia selalu berada pada nomor buncit. Tahun 2011, IPK Indonesia berada pada angka 3,0 atau naik 0,2 dari tahun sebelumnya sebesar 2,8 . Dengan angka ini, Indonesia berada pada urutan 100 dari 183 negara yang disurvei, jauh berada di bawah Singapura (9,2), Brunei (5,2), Malaysia (4,3), dan Thailand (3,4). Diakui atau tidak sebagian besar sumbangan atas rendahnya IPK bangsa ini diberikan oleh perilaku dan mental koruptif para amtenar.
Kasus rekening jumbo sepuluh PNS muda tersebut mengabarkan kepada kita bahwa generasi korupsi lapis kedua sudah mulai tumbuh besar. Saat yang sama reformasi birokrasi yang dilakukan ternyata tidak banyak membawa pengaruh berarti bagi perbaikan kinerja, mental dan perilaku pegawainya. Renumerasi yang dianggap sebagai anti thesa atas rendahnya kesejahteraan para pegawai negeri sehingga mudah tergoda untuk berlaku curang, nyatanya bukan jawaban yang tepat.
Praktik pat-gulipat yang menjangkiti para PNS muda ini tentu saja sangat mengkhawatirkan. Mereka adalah generasi yang tumbuh dengan bekal pendidikan yang cukup memadai yang didapat mulai sejak usia dini. Para PNS muda ini lahir dan besar dalam era di mana tuntutan akan perbaikan kehidupan pemerintahan melalui reformasi birokrasi begitu tinggi. Karena itu, kepada merekalah sebetulnya harapan besar digantungkan untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik dan bersih. Sebab tidak lagi bisa berharap terlalu banyak pada generasi lapis pertama, yang sudah begitu terkontaminasi perilaku culas.
Kehidupan birokrasi yang sudah sangat permisif terhadap perilaku korupsi menjadi salah satu penyebab begitu mudahnya praktik haram ini berkembang biak. Tidak ada lagi kepedulian dan rasa ingin tahu yang tinggi terhadap asal muasal uang yang diberikan teman sekerja atau atasan. Atau sikap cenderung mendiamkan dan memahami ketika ada kawan atau atasan yang diketahui sedang atau telah melakukan praktik korupsi. Tidak mengherankan bila ada semboyan "tahu sama tahu" sebagai ungkapan bentuk saling pengertian dan perlindungan terhadap teman satu korps.
Fenomena tumbuhnya korupsi PNS muda ini, harus segera dipangkas, jangan sampai menjalar ke generasi berikutnya. Adanya banyak pihak yang harus terlibat dan bertanggungjawab guna memutus mata rantai terjadinya proses kaderisasi pelaku korupsi di tubuh birokrasi. Selain internal birokrasi itu sendiri, legislatif juga memiliki peran yang sangat strategis. Seperti melakukan penataan sistem pengawasan berlapis melalui serangkaian regulasi.
Saat yang sama aparatur penegak hukum dituntut pula memiliki semangat pemberantasan korupsi dengan menegakkan aturan hukum secara transparan dan akuntabel. Tidak menjadikan kasus ini sebagai peluang atau celah untuk melakukan transaksi jual beli pasal. Demikian halnya dengan partai politik, agar bisa mengontrol kadernya yang memiliki potensi melakukan penyimpangan kekuasaan politik. Sudah menjadi rahasia umum, kader partai ikut menyuburkan perilaku korupsi ditubuh birokrasi ketika berburu rente melalui proyek pembangunan yang didanai APBN atau APBD.
Secara internal pembenahan sistem promosi, rotasi, dan mutasi seta punishment harus dilakukan secara radikal. Promosi jabatan misalnya, harus mempertimbangkan kredibilitas, integritas, dan etika serta rekam jejak. Begitupun, punishment harus memberikan efek jera sehingga bisa menjadi terapi kejut bagi pegawai yang lain. Untuk mendukung hal ini, koreksi terhadap peraturan yang mengatur tentang sanksi bagi pegawai negeri yang melakukan pelanggaran menjadi penting untuk diperbaiki.
Kelompok masyarakat dan media massa menjadi palang pintu terakhir yang harus melakukan penghadangan terhadap serangan balik dari komplotan koruptor. Karena itu pengawalan terus menerus terhadap penegakan hukum dan perbaikan sistem hendaknya dilakukan. Kita pastikan para pelaku koruptor dijatuhi hukuman yang adil, sembari kita bangun kesadaran hukum di masyarakat bahwa korupsi dan para pelakunya layak menerima hukum yang setimpal termasuk hukuman sosial.
* Penulis adalah Aktivis Pemuda Muhammadiyah Aceh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar