Ada dua pendekatan seseorang
tergolong sebagai orang miskin. Pertama,
pendekatan absolut yang menekankan pada pemenuhan kebutuhan fisik manusia.
Tolok ukur yang dipakai adalah kebutuhan keluarga, dengan memperhatikan
kebutuhan minimal yang harus dipenuhi oleh suatu
keluarga agar dapat
melangsungkan kehidupannya secara sederhana, tetapi memadai sebagai warga
masyarakat yang layak. Termasuk didalamnya kebutuhan akan pangan, perumahan,
sandang, pemeliharaan kesehatan dan pendidikan anak. Menurut pendekatan ini
kemiskinan dipahami sebagai suatu keadaan dimana seseorang atau sekelompok
orang tidak mampu mencapai kebutuhan fisik pada tingkat minimal dari standar
kebutuhan yang sudah ditetapkan (Suparlan, 1993).
Kedua adalah
pendekatan relatif yang mendefinisikan kemiskinan dalam kaitannya dengan
kebutuhan seseorang di dalam masyarakat. Tolok ukur yang dipakai adalah tingkat
pendapatan kepala keluarga per bulan atau per tahun. Berdasarkan tolok ukur ini
seseorang yang tergolong miskin ditentukan berdasarkan kedudukan relatifnya
dalam masyarakat dengan memperhatikan sejauhmana mutu kehidupannya berbeda
dibandingkan dengan rata‑rata mutu kehidupan yang berlaku secara keseluruhan.
Menurut pendekatan relatif, kemiskinan sekelompok orang dalam masyarakat yang
hidup dalam keadaan melarat, terhina, dan tidak layak disebabkan tidak
meratanya pembagian pendapatan di dalam masyarakat.
Kemiskinan dapat juga
ditentukan dengan cara membandingkan tingkat pendapatan individu atau keluarga
dengan pendapatan yang dibutuhkan untuk memperoleh kebutuhan dasar minimum.
Dengan demikian, tingkat pendapatan minimum merupakan pembatas antara keadaan
miskin dan tidak miskin. Konsep kemiskinan seperti ini dikenal sebagai konsep
kemiskinan absolut. Pada kondisi lain bila tingkat pendapatan sudah mencapai
tingkat pemenuhan kebutuhan dasar minimum, tetapi masih jauh lebih rendah bila
dibandingkan dengan pendapatan masyarakat di sekitarnya. Dalam pengertian masih
berada dalam keadaan miskin bila dibandingkan dengan keadaan masyarakat di
sekitarnya. Konsep kemiskinan seperti ini dikenal sebagai kemiskinan relatif
(Esmara, 1986).
Dengan demikian, sekurang‑kurangnya
ada dua pendekatan yang digunakan untuk pemahaman tentang kemiskinan, yaitu
pendekatan absolut dan pendekatan relatif. Pendekatan pertama adalah perspektif
yang melihat kemiskinan secara absolut yaitu berdasarkan garis absolut yang
biasanya disebut dengan garis kemiskinan (Syahrir, 1992). Pendekatan yang kedua
adalah pendekatan relatif, yaitu melihat kemiskinan itu berdasarkan lingkungan
dan kondisi sosial masyarakat.
Pendekatan yang sering
digunakan oleh para ahli ekonomi adalah pendekatan dari segi garis kemiskinan (poverty line). Garis kemiskinan
diartikan sebagai batas kebutuhan minimum yang diperlukan seseorang atau rumah
tangga untuk dapat hidup dengan layak. Akan tetapi, diantara para ekonom
terdapat perbedaan dalam menetapkan tolok ukur yang digunakan untuk menetapkan
garis kemiskinan tersebut.
Para pakar kemiskinan dan
lembaga pemerintah mencoba menetapkan garis kemiskinan tersebut berdasarkan
alasan yang logis, yaitu berdasarkan kebutuhan pokok (basic needs). Kebutuhan pokok merupakan kebutuhan minimum yang
diperlukan untuk kelangsungan hidup manusia baik yang berupa konsumsi individu
seperti perumahan, pakaian, ataupun keperluan pelayanan sosial seperti
kebutuhan air minum, transportasi, kesehatan, dan pendidikan (Sumardi dan
Dieter, 1985).
Manullang (1971) membedakan
kebutuhan pokok (basic needs) menjadi
dua, yaitu kebutuhan primer dan kebutuhan skunder. Kebutuhan primer adalah
kebutuhan yang paling utama, untuk mempertahankan hidup seperti makanan, pakaian, dan perumahan.
Kebutuhan sekunder adalah kebutuhan yang diperlukan guna melengkapi kebutuhan
primer seperti alat‑alat dan perabotan.
Sinaga dan White (1980) menyatakan
bahwa kemiskinan dibedakan dalam dua bentuk, yaitu kemiskinan alamiah dan
kemiskinan buatan. Kemiskinan alamiah merupakan kemiskinan yang timbul sebagai
akibat sumberdaya yang langka jumlahnya atau karena perkembangan teknologi yang
rendah. Kondisi ini dapat diatasi dengan pembangunan infrastruktur fisik,
pemasukan modal serta pengembangan teknologi baru. Kemiskinan buatan (tidak
jauh bedanya dengan kemiskinan struktural). Menurut mereka, bahwa kemiskinan
lebih erat hubungannya dengan perubahan‑perubahan struktur ekonomi, teknologi
dan pembangunan itu sendiri. Karena kelembagaan yang ada membuat masyarakat
tidak menguasai sarana ekonomi dan fasilitas secara merata. Kemisknan buatan
ini dapat diatasi, misalnya dengan mencari strategi perombakan struktural
kelembagaan serta hubungan sosial ekonomi dalam masyarakat.
Untuk menghasilkan program
yang benar‑benar mengenai sasaran penduduk miskin tersebut perlu dibuat
pengelompokan penduduk miskin berdasarkan kriteria yang jelas, yaitu melalui
penetapan suatu batas kemiskinan yang sesuai dengan keadaan kemiskinan di
daerah itu sendiri. Penetapan batas kemiskinan tersebut haruslah berdasarkan
landasan teori yang kuat sehingga dapat digunakan sebagai batas kemiskinan yang
sesuai dengan keadaan kemiskinan di suatu lokasi dengan kondisi dan waktu
tertentu. Garis kemiskinan dapat pula digunakan untuk melihat berapa luas
kemiskinan di suatu daerah, yaitu dengan melihat persentase penduduk yang hidup
dibawah garis kemiskinan tersebut. Dengan demikian, garis kemiskinan dapat juga
digunakan sebagai indikator keberhasilan pembangunan yang dilaksanakan di suatu
daerah (Todaro, 1994).
Menurut BPS (2007), keluarga
yang sama sekali tidak mempunyai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok atau
orang yang mempunyai sumber mata pencaharian akan tetapi tidak dapat memenuhi
kebutuhan keluarga yang layak bagi kemanusiaan dengan ciri‑ciri atau kriteria
sebagai berikut :
(i) Pembelanjaan
rendah atau berada di bawah garis kemiskinan, yaitu kurang dari Rp.175.324
untuk masyarakat perkotaan, dan Rp.131.256 untuk masyarakat pedesaan per orang
per bulan di luar kebutuhan non pangan;
(ii) Tingkat
pendidikan pada umumnya rendah dan tidak ada keterampilan;
(iii) Tidak
memiliki tempat tinggal yang layak huni, termasuk tidak memiliki MCK;
(iv) Pemilikan
harta sangat terbatas jumlah atau nilainya;
(v) Hubungan
sosial terbatas, belum banyak terlibat dalam kegiatan kemasyarakatan; dan
(vi) Akses
informasi (koran, radio, televisi, dan internet) terbatas.
Menurut
Sajogyo (1977), garis kemiskinan berdasarkan kebutuhan minimum rumah tangga
adalah senilai 2.140 kg beras setiap orang per tahun di pedesaan dan 360 kg
beras setiap orang per tahun di daerah kota. Penetapan garis kemiskinan ini
yang setara dengan nilai beras dimaksudkan ini untuk dapat membandingkan
tingkat hidup antar waktu dan perbedaan harga kebutuhan pokok antar wilayah.
Pendapat Sajogyo ini pada masa
berikutnya mendapat kritikan dari Both dan Sundrum, karena dalam kenyataannya
beras tidak merupakan bahan kebutuhan pokok penduduk pedesaan yang miskin
terutama di Pulau Jawa.
Selain itu,
taksiran Sajogyo masih mengundang kritik karena digunakannya data konsumsi
rumah tangga dan mengalihkannya menjadi data dalam arti per kapita, yaitu
dengan membaginya dengan ukuran rumah tangga rata‑rata di setiap daerah. Di
sini dianggap ukuran rumah tangga dalam setiap kelompok pengeluaran masyarakat
adalah sama sedangkan pada kenyataannya tidak demikian (Suparta, 1997).
Dalam literatur studi kemiskinan
didokumentasikan bahwa ukuran garis kemiskinan berdasarkan kemampuan
pengeluaran per kapita untuk memenuhi suatu tingkat minimum kebutuhan kalori
mula‑mula dikemukakan oleh Den Daker dan Rath pada tahun 1971 dalam studi
mereka di India. Ukuran garis kemiskinan ini kemudian diterapkan di Indonesia
oleh BPS (Arief, 1993).
Di Indonesia untuk pertama kali BPS
(tahun 1984) menetapkan garis kemiskinan berdasarkan nilai makanan dalam rupiah
setara dengan 2.100 kalori per orang setiap hari ditambah dengan kebutuhan non
pangan yang utama seperti sandang, pangan, transportasi, dan pendidikan.
Secara garis besar ada dua
cara orang memandang kemiskinan. Sebagian orang berpendapat bahwa kemiskinan
adalah suatu proses, sedangkan sebagian lagi memandang kemiskinan sebagai suatu
akibat atau fenomena di dalam masyarakat. Sebagai suatu proses, kemiskinan
mencerminkan kegagalan suatu sistem masyarakat dalam mengalokasikan sumber daya
dan dana secara adil kepada anggota masyarakatnya. Dengan demikian, kemiskinan
dapat dipandang pula sebagai salah satu akibat dari kegagalan kelembagaan pasar
dalam mengalokasikan sumber daya yang terbatas secara adil kepada seluruh
anggota masyarakat. Paham ini mengemukakan konsep tentang kemiskinan nisbi atau
sering pula dikenal sebagai kemiskinan struktural. Di dalam konsep kemiskinan
nisbi dinyatakan bahwa garis kemiskinan berubah‑ubah menurut kondisi
perekonomian yang bersangkutan.
Pandangan tentang kemiskinan
sebagai suatu fenomena atau gejala dari suatu masyarakat melahirkan konsep
kemiskinan mutlak. Dalam kemiskinan mutlak, suatu perekonomian mempunyai
patokan garis kemiskinan yang tetap sepanjang waktu. Misalkan garis kemiskinan
suatu perekonomian dinyatakan konsumsi kalori, yaitu 2.100 kalori per hari. Jika nilai tersebut
dianggap konstan sepanjang waktu, maka kemiskinan yang terjadi di perekonomian
tersebut adalah kemiskinan mutlak.
Tolok ukur kemiskinan dari
BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional) dikategorikan ke dalam
kelompok Pra KS 1 (Pra Keluarga Sejahtera Tahap Pertama) disebut miskin, bila
lima indikator di bawah ini tidak dipenuhi oleh keluarga tersebut, yakni :
(i)
Anggota
keluarga melaksanakan ibadah agama;
(ii)
Pada
umumnya anggota keluarga makan dua kali sehari atau lebih;
(iii) Anggota keluarga memiliki pakaian yang
berbeda untuk di rumah, belanja/sekolah, dan bepergian;
(iv) Bagian lantai yang terluas bukan dari
tanah; dan
(v)
Anak
sakit atau pasangan usia subur ingin ber KB dibawa ke sarana kesehatan.
Departemen
Sosial menetapkan bahwa seseorang individu berada di bawah Garis Fakir Miskin
(GFM) apabila tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok minimal, yaitu sejumlah
rupiah untuk membayar makanan setara 2.100 kkal sehari ditambah nilai sewa
rumah dan nilai satu stel pakaian. Batas miskin untuk makanan ditambah
pengeluaran minimum untuk pemenuhan kebutuhan bukan makanan itulah yang disebut
Garis Kemiskinan.
liat blog aku juga pak...
BalasHapusmakasih infonya