Nurainun, SE, M.Sc www.fe-unimal.org (Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Malikussaleh)
Publish at: Economic, Management and Business Journal (EMABIS)
Volume 9 No. 1 Agustus 2009
Abstract
The purpose of this research is to identify the
difference effect between monetary and non monetary promotion on dimension of
brand equity (perceived quality, brand
loyalty, brand image) on hedonic and utilitarian product. The monetary promotion
that used are discount and bonus pack, and the non monetary promotion that used
is premium. Milk and chocolate with unknown brand is the product that
classified as utilitarian and hedonic product. There are six hypotheses propose
in this study.
To answer these hypotheses, researcher
employed the experimental design research by applying statistical
experimental-completely randomized design as the research design. The participants
of this research are 120 student of Magister Sains UGM. One Way Anova is used
to test all hypotheses.
The result of the research shows that no
differences effect between monetary and non monetary promotion on brand equity
on utilitarian product. But there is differences between monetary promotion
that are discount and bonus pack on brand loyalty. Whereas for hedonic product,
there is differences effect between monetary and non monetary promotion on
perceived quality, but the differences effect only on premium (non monetary)
and bonus pack. And no differences effect between monetary and non monetary
promotion on the other brand equity dimensions.
Keywords: Sales
promotion, brand equity, type of product (hedonic and utilitarian)
Memaksimumkan
laba merupakan tujuan hampir semua perusahaan, laba yang tinggi dapat diperoleh
dengan cara mendorong penjualan setinggi mungkin dengan cepat. Tetapi
persaingan antar produk yang sejenis atau tak sejenis sangatlah tajam. Sehingga
perusahaan harus berhati-hati dalam menentukan strategi pemasarannya. Salah
satu cara yang dapat dilakukan oleh perusahaan untuk mendorong penjualan adalah
dengan melakukan promosi penjualan (sales
promotion) seperti memberi potongan harga, ekstra isi, memberikan hadiah
atau produk ekstra, kupon, sayembara dan masih banyak lagi. Tetapi strategi
tersebut harus dilakukan dengan hati-hati dan dalam waktu yang tepat. Promosi
penjualan memang dapat mendorong penjualan dengan cepat tetapi jika dilakukan
dalam rentang waktu yang lama dan terlalu sering akan memberikan dampak pada
ekuitas merek.
Promosi-promosi
tersebut jika dilakukan dalam rentang waktu yang pendek akan mendorong
penjualan tetapi jika dilakukan dalam rentang waktu yang lama akan menimbulkan
dampak negatif pada ekuitas merek dan nantinya dapat menurunkan laba perusahaan.
Karena salah satu cara meningkatkan laba perusahaan
adalah dengan meningkatkan ekuitas merek. Dan bisa saja pada saat harga-harga
tersebut telah kembali normal konsumen akan beralih ke produk-produk yang lain
yang dapat memberikan manfaat yang sama dengan harga yang lebih terjangkau.
Dan untuk membangun merek yang kuat
perusahaan dapat menggunakan program-program dalam komunikasi pemasaran. Ada
enam program komunikasi pemasaran yang dapat digunakan oleh perusahaan yaitu
periklanan, promosi penjualan, hubungan masyarakat dan publisitas, penjualan
personal dan pemasaran langsung. Ke enam
program tersebut dapat digunakan secara
terpadu untuk membangun ekuitas merek yang menurut Kotler & Keller (2006)
terdiri dari empat komponen yaitu kesadaran merek (brand awareness), citra merek (brand
image), brand responsive dan brand
relationship. Tetapi Aaker (1991) dalam Yoo et al., (2000) menyatakan bahwa promosi penjualan bukanlah cara
yang tepat untuk membangun ekuitas merek karena sangat mudah untuk ditiru. Dan
dalam jangka panjang dapat memperlihat citra kualitas merek yang rendah (low-quality brand image). Bahkan
promosi yang terlalu sering dapat membahayakan merek karena dapat menyebabkan
konsumen bingung antara harga yang diharapkan dengan harga yang diobeservasi
yang dapat menghasilkan citra ketidakstabilan kualitas (Winner 1986 dalam Yoo et al., 2000).
Beberapa jenis promosi penjualan seperti yang telah
disebutkan di atas dapat dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu promosi moneter
seperti ekstra isi (bonus pack) dan
potongan harga (discount) dan promosi
non moneter seperti produk ekstra atau premium. Dari beberapa studi yang telah
dilakukan oleh para peneliti tentang promosi penjualan diperoleh hasil bahwa
promosi penjualan mempunyai pengaruh pada ekuitas merek.
Dobson et al.,
(1978); Gupta (1998) yang dikutip oleh Vidal dan Ballester (2005) menyatakan
diantara ke enam program tersebut, promosi penjualan (sales promotion) khususnya promosi harga (monetary promotion) dipercaya dapat menghancurkan ekuitas merek karena promosi moneter (monetary promotion) hanya meningkatkan
laba perusahaan dalam jangka pendek dengan mendorong penjualan dan menukar
merek serta dapat juga membawa pada
citra merek yang rendah (Yoo et al.,
2000). Sedangkan untuk jangka panjang menurut Mela et al., (1997) dalam artikel yang sama dari Vidal dan
Ballester (2005) promosi harga dapat
meningkatkan sensitivitas akan harga dan menghancurkan ekuitas merek. Keller
(1998) dalam Sriram et al., (2007)
menyatakan penggunaan promosi harga yang terlalu sering dapat menciptakan atau memperkuat
hubungan antara potongan harga dengan merek sehingga menurunkan ekuitas merek.
Lebih jauh lagi promosi harga menyebabkan konsumen hanya mau membeli merek
tersebut pada saat ada program promosi. Walaupun demikian menurut Aaker (1996)
dalam Sriram et al., (2007) meskipun
promosi harga membahayakan tetapi juga
dapat mendukung ekuitas merek. Learning
theory menyatakan pembentukan perilaku konsumen melalui promosi dapat
membawa pada attitudinal loyalty.
Hasil studi Chandon et
al., (2000) dalam artikel yang ditulis oleh Vidal dan Ballester (2005)
menyatakan bahwa efektifitas program promosi penjualan ditentukan oleh
kesesuaian antara manfaat (utilitarian
dan hedonic) dan produk yang
dipromosikan, promosi moneter dihubungkan pada utilitarian benefit yang memiliki instrumental, functional dan cognitive
nature. Dan untuk high equity brand, promosi moneter lebih efektif pada produk
utilitarian dari pada untuk produk hedonic. Serta menyimpulkan bahwa
promosi moneter lebih cocok untuk produk utilitarian dan promosi non moneter
lebih sesuai untuk produk hedonik. Tetapi meskipun demikian, pemilihan produk
sebagai hadiah (free gift) untuk
promosi non moneter tergantung pada kategori produk yang diberikan dan ini
lebih disukai oleh konsumen (Liao, 2006). Sehingga pemilihan produk yang tepat
malahan dapat meningkatkan ekuitas merek.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi
perbedaan pengaruh promosi moneter dan promosi non moneter pada ekuitas merek
pada produk hedonik dan utilitarian. Dalam penelitian ini, penulis
mengunakan konsep ekuitas merek dari
Aaker yaitu perceived quality, brand awareness, brand loyalty dan brand image. Tetapi dalam penelitian ini, peneliti tidak mengukur
dimensi brand awareness dikarenakan
untuk mengukur brand awareness harus
melakukan pengumpulan data dalam waktu yang lebih lama (logitudinal study) sedangkan dalam penelitian ini peneliti hanya
melakukan crossectional study. Untuk
promosi moneter jenis promosi yang digunakan discount dan bonus pack
untuk promosi non moneter jenis promosi yang digunakan adalah premium. Studi ini memodifikasi
penelitian-penelitian yang telah dilakukan oleh Ramos dan Franco (2005), Yoo at el., (2000), Vidal dan Ballaster
(2005).
Fokus penelitian ini pada produk susu kalsium kotak
ukuran 500 gram dan coklat batang berukuran kecil dalam kemasan ekslusif ukuran
125 gr. Sebagai partisipan adalah para mahasiswa MSi Fakultas Ekonomi
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Promosi Penjualan
Crask et al.,
(1995) mendefinisikan promosi penjualan
sebagai berbagai dorongan langsung yang diberikan kepada distributor dan
konsumen dengan tujuan utama menciptakan penjualan secepat mungkin. Promosi
penjualan dibagi ke dalam dua
kategori tergantung pada audience yang
dituju. Promosi seperti coupon, rebates, games dan contests diarahkan
langsung kepada pengguna akhir dari merek yang dikelompokkan pada consumer promotion. Sedangkan promosi
seperti case allowance dan co-op advertising yang langsung
diberikan pada distributor disebut dengan trade
promotion. Ada beberapa jenis consumer
promotion yaitu point-of purchase
promotion (POP) seperti display,
demonstrasi atau tanda-tanda spesial yang ditempatkan dalam toko; coupon adalah sertifikat yang
didistribusi melalui pos atau surat kabar yang menawarkan konsumen pengurangan
harga dari suatu merek produk; samples
adalah free quantitas dari suatu
merek produk yang diberikan kepada konsumen biasanya melalui pos; price off adalah pengurangan harga
langsung atau potongan yang ditawarkan pada saat melakukan pembelian; contest adalah kompetisi yang diadakan
untuk peserta dan diberikan hadiah; premium
adalah hadiah yang diperoleh konsumen karena membeli merek produk tertentu; bonus pack adalah tambahan kuantitas
dalam sebuah packaging dari sebuah merek
produk. Masing-masing dari jenis promosi penjualan tersebut
mempunyai beberapa tujuan. POP, coupon,
samples, price-off, contest bertujuan agar konsumen mau mencoba untuk
menggunakan produk tersebut. POP, price
off dan bonus pack mempunyai tujuan untuk mengubah pencoba menjadi
pengguna. Coupon, price off, premium dan bonus pack bertujuan untuk membujuk
pembelian yang lebih besar. POP, coupon,
contest, samples dan bonus pack bertujuan
untuk merangsang pembelian yang tidak direncanakan. Price off dan contest
bertujuan untuk meningkatkan penerimaan transaksi perdagangan. Contest dapat digunakan untuk
memperbaiki efektifitas dari periklanan dan juga untuk mempertinggi brand image.
Campbell dan Diamond (1990)
mengelompokkan promosi penjualan ke dalam dua kategori yaitu non monetary promotion (seperti extra
product dan premium) yang di
pandang sebagai gain dan
dipertimbangkan secara terpisah dengan reference
price. Dan monetary promotion
(seperti discount dan rebate) yang mempengaruhi reference price. Monetary dan non monetary
promotion memilki fungsi yang berbeda tetapi juga saling melengkapi. Monetary promotion bertujuan
mempengaruhi perilaku (behavioral)
sedangkan non monetary promotion bertujuan mempengaruhi secara emosional (affective) dan juga perilaku (behavioral).
Thaler
(1985) seperti yang dikutip oleh Diamond dan Johnson (1990) menyatakan bahwa
promosi penjualan digambarkan sebagai gains
atau losses. Promosi yang digambarkan
sebagai gains akan mempunyai manfaat
yang dipisahkan dari original purchase
price, sementara promosi yang digambarkan sebagai a loss akan dilihat semata-mata mengurangi initial purchase price. Thaler dan Johnson (1986) seperti yang
dikutip oleh Diamond et al., (1990)
juga menghipotesakan bahwa situasi akan digambarkan sesuai dengan mekanisme hedonic.
Menurut
Diamond dan Campbell
(1990) sebuah promosi yang efisien harus berada antara batas latitude of acceptance dan just noticeable difference. Latitude
of acceptance adalah batas harga promosi yang diberikan yang dapat diterima
oleh konsumen (relevan) sehingga si konsumen tidak akan curiga dan menolak
promosi yang ditawarkan. Just noticeable
difference adalah promosi yang terkecil yang memberikan nilai insentif.
Jika nilai promosi yang diberikan terlalu kecil dibandingkan dengan harga
referensi sebuah produk, si konsumen tidak akan menyadari adanya program
promosi karena tidak memberikan dampak. Tetapi jika diberikan promosi yang
terlalu tinggi, konsumen akan curiga ada
masalah dengan produk tersebut. Karena itulah nilai sebuah promosi harus berada
antara just noticeable difference dan latitude of acceptance.
Discount dan Bonus pack
Crask
et al., (1995) mendefinisikan discount atau price off sebagai pengurangan harga langsung atau potongan yang
ditawarkan pada saat melakukan pembelian. Menurut Tellis et al., (2005) melalui discount
pemilik retail memotong atau mengurangi harga dari suatu daftar harga merek
yang diberikan kepada konsumen yang disertai dengan display di dalam toko atau koran yang disebut dengan feature. Dalam mendesain sebuah promosi
harga, manajer harus memperhatikan apakah promosi yang diberikan tersebut akan
diperhatikan atau ditolak oleh konsumen. Karena itu agar sebuah promosi dapat
efektif maka promosi tersebut harus disadari atau diperhatikan oleh konsumen, pemasar
harus dapat menentukan tingkatan
konsumen dalam mempersepsikan nilai yang dipromosikan berbeda dari harga
regular yang direferensikan.
Menurut
Aaker (1991); Gupta (1988) dalam Yoo et
al., (2000) promosi harga dipercaya dapat mengikis brand equity khususnya jika ada persepsi yang kuat antara kualitas dengan harga
meskipun promosi harga dapat memberikan keuntungan dalam waktu jangka pendek
melalui penjualan dan menukar merek sementara (brand switching). Untuk jangka panjang promosi harga dipercaya dapat
memberikan kesan kualitas brand image
yang rendah. Lebih jauh lagi promosi harga yang terlalu sering menyebabkan
konsumen bingung antara harga yang sesungguhnya dengan harga yang dipromosikan.
Menurut
Soo Ong et al., (1997) bonus pack adalah kemasan khusus dengan
produk ekstra dari pabrik yang ditawarkan kepada konsumen tanpa biaya tambahan. Misalkan sebuah merek detergen dengan kemasan 100 gram ditambahkan extra
produk 25 gram sehingga menjadi 125
gram. Sebuah
mega deal dalam bonus pack promotion adalah penggunaan ”BOGO” (buy one, get one free). Biasanya kuantitas dalam bonus pack bervariasi antara 20 sampai
dengan 40 persen tetapi yang paling sering adalah sepertiganya.
Dalam
kebanyakan kasus bonus pack promotion
menunjukkan penawaran dalam waktu jangka pendek yang didesain untuk merangsang
penjualan dalam waktu jangka pendek dan mendorong penjualan (Reiter, 1994 dalam
Soo Ong et al., 1997). Selain itu, bonus pack juga menghindari produsen
dari mengurangi harga regular untuk mendapatkan keunggulan yang kompetitif. Dan
dengan bonus pack, produsen yakin
jika ekstra produk yang ditawarkan akan menjangkau konsumen daripada diserap
oleh retail sebagai keuntungan tambahan. (Schultz et al., 1994 dalam Soo Ong et al., 1997).
Meskipun
demikian sebagian konsumen mempersepsikan berbeda. Ketika konsumen melihat
sebuah kemasan botol dengan tulisan 100 % free,
maka dia akan berfikir produsen telah menipunya. Dan sebagian konsumen lagi
tidak menyadari dan tidak perduli karena mereka tidak menggunakan merek produk
tersebut (Schultz et al., 1994 dalam
Soo Ong et al., 1997). Dan sebagian
konsumen bisa saja tidak menyadari bahwa
bonus tersebut adalah penawaran yang sifatnya sementara sehingga mereka dapat
menghargai nilai dari tawaran tersebut. Schultz et al., (1994) juga menyebutkan bahwa bonus pack tidak menarik
perhatian konsumen yang tidak biasa menggunakan produk tersebut (product needs). Dan juga dalam
kebanyakan kasus, para konsumen tidak mempercayai jika mereka memperoleh ekstra
dari uang yang mereka keluarkan, mencurigai bahwa harga produk tersebut telah
dinaikkan atau kuantitas yang ditawarkan sebenarnya sama dengan berat yang
regular dari produk tersebut.
Premium
Premium
yang langsung diperoleh oleh konsumen (direct
consumer premium) telah didefinisikan sebagai package related, free bonus item yang ditawarkan oleh manufaktur
kepada konsumen ketika mereka membeli produk yang sedang diberi program
promosi. Manufaktur menempatkan free gift
tersebut dalam empat cara yaitu menempatkannya dalam display dekat dengan produk yang dipromosikan, dilampirkan di
kemasan, dimasukkan dalam kemasan atau
sebagai kemasan produk itu sendiri (Jones, 2005). Crask et al., (1997) mendefinisikan premium
sebagai gift yang diterima oleh
konsumen untuk pembelian merek produk tertentu. Dari sebuah survey yang dilakukan oleh Narayana dan
Raju (1985) diketahui bahwa jenis promosi penjualan seperti gift dan premium
lebih sesuai untuk ibu rumah tangga yang masih muda yang tinggal di daerah
pedesaan. Meskipun demikian Liao (2006)
menemukan bahwa hadiah yang diberikan lebih disukai jika berhubungan
dengan produk yang sedang dipromosikan tersebut dan waktu yang diberikan untuk
memperoleh hadiah tersebut tidaklah lama dan langsung diterima oleh si konsumen.
Ekuitas Merek
America Marketing Association mendefinisikan
merek sebagai nama, istilah, tanda, simbol atau desain atau kombinasi dari
semuanya, yang dimaksudkan untuk mengidentifikasi barang atau jasa dari seorang
penjual atau sekelompok penjual untuk membedakan produk-produk tersebut diantara
para pesaing. Para konsumen dapat mengevaluasi
ciri khas sebuah produk secara berbeda tergantung bagaimana produk tersebut dimerekkan. Merek
juga dapat memberikan sinyal tingkat kualitas dari sebuah produk (Kotler dan
Keller, 2006).
Yoo et al., (2000) mendefinisikan brand equity sebagai perbedaan dalam
pemilihan produk yang bermerek dengan produk yang tidak bermerek yang memiliki
fitur yang sama oleh konsumen. Yoo juga menyebutkan brand equity dapat diciptakan, dijaga dan diperluas dengan
memperkuat dimensi-dimensi dari brand
equity. Karenanya setiap kegiatan marketing yang dilakukan berpotensial
mempengaruhi brand equity karena
kegiatan-kegiatan tersebut menggambarkan pengaruh akumulasi investasi marketing
pada merek. Pengenalan merek (brand
recognition) dengan asosiasi yang kuat (strong
brand association), perceived quality dan brand loyalty dapat dikembangkan melalui investasi jangka panjang
yang cermat.
Aaker
et al., (2003) dalam marketing research mengelompokkan dimensi
brand equity menjadi perceived quality,
name awareness (brand awareness), brand loyalty, brand association (brand image) dan hal-hal lain yang berhubungan
dengan brand asset seperti: patent, trade mark, saluran hubungan dan
sebagainya.
Berbeda
dengan periklanan walaupun promosi dapat meningkatkan penjualan dalam waktu
jangka pendek tetapi menimbulkan dampak pada ekuitas merek jika dilakukan dalam
waktu jangka panjang. Penggunaan promosi yang terlalu sering akan membuat
konsumen menghubungkan merek produk tertentu dengan kata”discount” sehingga dapat menurunkan ekuitas merek dari produk
tersebut. Dan studi empiris yang dilakukan oleh Jedidi, Mela dan Gupta (1999)
dalam Sriram et al., (2007) menemukan
promosi yang dilakukan dalam waktu jangka panjang berhubungan negatif dengan
ekuitas merek.
Dari
hasil studi yang dilakukan oleh Gupta (1988) ditemukan bahwa penjualan
meningkat dengan tajam dikarenakan promosi penjualan (price cut, display and
feature, display or feature) yang
diperoleh karena konsumen beralih membeli merek yang sedang dipromosikan (brand swiching). Sehingga promosi akan
menguntungkan jika dilakukan dalam waktu jangka pendek tetapi akan menimbulkan
efek yang negatif pada ekuitas merek jika dilakukan dalam waktu jangka panjang.
Karena dapat melemahkan dimensi dari ekuitas merek seperti brand loyalty. Seperti yang dinyatakan oleh Rothschild, brand loyalty akan menurun ketika
promosi penjualan berada dalam tingkatan yang tinggi dan hanya ada sedikit
perbedaan untuk membedakan antara satu merek dengan merek yang lain. Sedangkan
tujuan utama dari promosi penjualan salah satunya adalah untuk membantu pengenalan merek baru dengan
menghancurkan kesetiaan pada merek produk yang lama. Dan behavioral learning theory menyatakan bahwa promosi-promosi
tersebut menguatkan konsumen untuk mencari promosi-promosi lain dan mengarah
kepada perilaku yang cenderung untuk mencari merek yang sedang dipromosikan
daripada menimbulkan suatu kesetiaan yang baru.
Dan
dari studi yang dilakukan oleh Ramos dan Franco (2005) juga ditemukan adanya
hubungan yang negatif antara promosi harga dengan ekuitas merek. Promosi harga
yang diberikan memang meningkatkan penjualan tetapi konsumen mempunyai persepsi
bahwa produk tersebut mempunyai kualitas yang rendah dan citra yang kurang
baik. Tetapi walaupun demikian dari studi yang dilakukan oleh Vidal dan
Ballester (2005) diperoleh hasil bahwa promosi penjualan memberikan kontribusi
pada ekuitas merek dengan menciptakan kesadaran akan merek (brand awareness). Sehingga promosi
penjualan dapat digunakan untuk membangun pengetahuan akan merek (brand knowledge) karena para konsumen
diekspos untuk menstimulasi promosi.
Produk Hedonik dan Utilitarian
Sesuai
dengan klasifikasi kebutuhan dalam teori Maslow, kebutuhan dikelompokkan
menjadi utilitarian dan hedonic. Kebutuhan utilitarian berusaha untuk
mencapai manfaat praktis sebuah produk. Kebutuhan seperti ini dicirikan dengan functional product attributes (seperti
tahan lama, nilai ekonomis dan warmth)
yang mendefinisikan produk tersebut. Sedangkan kebutuhan hedonic mencari kesenangan (pleasure)
dari sebuah produk. Kebutuhan ini lebih dihubungkan dengan emosi atau fantasi
yang diperoleh oleh konsumen dari sebuah produk. Dalam memenuhi kebutuhan hedonic ini konsumen sering menggunakan
emosi dari pada kebutuhan utilitarian
dalam mengevaluasi sebuah merek (Assael, 2001).
Menurut
Chandon et al., (2000) ada enam benefit berbeda dari promosi penjualan
yang diperoleh oleh konsumen yaitu saving,
quality, convenience, entertainment, exploration dan self expression. Tiga benefit
yang pertama yaitu saving, quality
dan convenience merupakan benefit dari fungsi utilitarian
sedangkan entertainment, exploration
dan self expression merupakan benefit dari fungsi hedonik. Sehingga
ketika konsumen mengevaluasi sebuah produk yang diberikan promosi penjualan
maka mereka akan menilai berdasarkan fungsi utilitarian dan fungsi hedonik
tersebut. Dan Chandon et al., (2000)
juga telah memperlihatkan bahwa ke enam benefit
tersebut telah menjadi prediktor yang signifikan bagi konsumen dalam
mengevaluasi promosi moneter dan promosi non moneter. Hasil studi mereka menyatakan
bahwa promosi moneter dievaluasi berdasarkan fungsi utilitarian sementara
promosi non moneter di evaluasi berdasarkan hedonic
benefit yang mereka dapatkan. Walaupun hasil dari studi Chandon et al., (2000) didukung oleh beberapa
studi dari peneliti lain tetapi dari hasil studi yang dilakukan oleh Vidal dan
Ballester (2005) menyatakan hal yang agak berbeda yaitu promosi moneter memang
efektif untuk produk utilitarian tetapi promosi non moneter tidak hanya efektif
untuk produk hedonik tetapi juga untuk produk utilitarian. Dan hasil ini sesuai dengan praktek yang ada di industri. Ini dikarenakan
dalam studi yang dilakukan oleh Chandon et
al., (2000) hanya menggunakan jenis promosi non moneter pada produk hedonik
sedangkan untuk promosi moneter tidak digunakan pada produk hedonik.
Hipotesis
Berdasarkan teori dan kerangka pemikiran diatas maka bunyi hipotesis
terhadap penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
H1a: Promosi
moneter dan promosi non moneter memiliki pengaruh berbeda pada dimensi ekuitas merek yaitu perceived quality yang dilakukan pada produk utilitarian.
H1b: Promosi moneter dan promosi non moneter
memiliki pengaruh berbeda pada dimensi
ekuitas merek yaitu brand loyalty
yang dilakukan pada produk utilitarian.
H1c: Promosi
moneter dan promosi non moneter memiliki
pengaruh berbeda pada dimensi ekuitas
merek yaitu brand image yang
dilakukan pada produk utilitarian.
H2a: Promosi
moneter dan promosi non moneter memiliki pengaruh berbeda pada dimensi ekuitas merek yaitu
perceived quality yang
dilakukan pada produk hedonik.
H2b: Promosi moneter dan promosi non moneter
memiliki pengaruh berbeda pada dimensi ekuitas merek yaitu brand loyalty yang dilakukan pada produk hedonik.
H2c: Promosi moneter dan promosi non moneter
memiliki pengaruh berbeda pada dimensi ekuitas merek yaitu brand image ketika dilakukan pada produk hedonik.
Model Penelitian
Gambar 2.1.
Model Konseptual Penelitian
Brand Equity
Sumber: dimodifikasi dari Vidal dan Ballester (2005): Ramos dan Franco (2005);
Yoo et al., (2000): Chandon et al., (2000)
Desain penelitian
Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
adalah desain eksperimen (experimental
design). Desain eksperimen merupakan sekumpulan prosedur yang mengarahkan
sebuah penelitian eksperimen dengan melakukan hal-hal yang spesifik seperti
variabel independen apa yang harus dimanipulasi, variabel dependen yang mana
yang harus diukur, level of treatment
yang mana yang akan digunakan, bagaimana
memilih test unit dan menyusun test unit tersebut dalam kelompok yang
berbeda, bagaimana melakukan kontrol untuk selection
bias, dan bagaimana meminimalkan pengaruh dari extraneous variable terhadap hasil eksperimen (Aaker et al., 2003). Desain eksperimen
merupakan desain penelitian yang paling tepat dalam menjelaskan hubungan dalam
studi ini. Menurut Neuman (2000), desain eksperimen merupakan desain penelitian
yang terkuat dalam menguji hubungan kausalitas yang dikarenakan oleh tiga
kondisi yang ada dalam hubungan kausalitas (conditions
for causality) yaitu temporal order yaitu
harus ada penyebab sebelum ada akibat,
association yaitu akibat yang timbul tersebut dikarenakan ada asosiasi yang
kuat dengan penyebab atau disebut juga dengan cocomittan variation (dua variabel yang berubah secara bersamaan)
dalam studi ini dilakukan dengan memberikan manipulasi, dan eliminating alternativef yaitu hubungan
tersebut terjadi dikarenakan oleh penyebab tersebut bukan oleh faktor yang
lain, dengan melakukan kontrol. Dalam studi ini kontrol dilakukan pada
brosur-brosur bentuk promosi penjualan, pada setiap brosur hanya terdiri dari
satu merek produk yang dimanipulasi saja sehingga partisipan fokus dan dapat
mengingat dengan mudah merek produk tersebut dan bentuk promosi yang sedang
ditawarkan. Kontrol yang dilakukan ini memang dapat mengancam validitas
eksternal yaitu berhubungan dengan realism
(keadaan yang tidak realistis). Karena pada kenyataannya, brosur-brosur
yang berisi merek produk yang sedang diberikan promosi penjualan biasanya
terdiri dari berbagai merek tidak hanya satu merek.
Kategori desain eksperimen yang digunakan adalah laboratorium experiment. Lab experiment digunakan ketika
eksperimen yang dilakukan tersebut berada dalam lingkungan buatan atau diatur
(Sekaran, 2003). Jenis desain eksperimen yang digunakan adalah statistical experimental-completely
randomized design. Seperti telah disebutkan sebelumnya dalam penelitian ini
terdapat dua variabel independen yaitu promosi penjualan dan jenis produk.
Dalam desain eksperimen, variabel yang diberikan manipulasi adalah variabel
independen, dalam penelitian ini yaitu promosi penjualan dan jenis produk.
Sehingga Level of treatment pada
variabel promosi penjualan dilakukan pada bentuk-bentuk promosi penjualan yaitu
discount dan bonus pack untuk promosi moneter, dan premium untuk promosi non moneter. Sedangkan pada jenis produk, level of treatment dilakukan pada dua
jenis produk yaitu produk hedonik dan utilitarian. Sehingga desain eksperimen
3x2 between subject factorial design
dilakukan dengan faktor pertama bonus
pack, discount, premium dan
faktor kedua adalah jenis produk yaitu utilitarian dan hedonik. Pemilihan between subject dilakukan untuk
menghindari testing effect. Setiap
partisipan hanya diberikan kesempatan sekali dalam eksperimen. Hal ini
dilakukan untuk meminimalkan bias respon yang dikarenakan oleh faktor
pengalaman dalam pengisian respon eksperimen yang pertama (learning effect) sehingga validitas internal tetap terjaga.
Validitas internal adalah kemampuan untuk mengeliminasi eksplanasi-eksplanasi
alternatif dari variabel dependen. Validitas internal menghilangkan
variabel-variabel lain selain variabel yang ditreatment dengan melakukan kontrol. Sehingga dengan melakukan between subject diharapkan dapat
meminimalkan bias.
Sehingga dapat dinotasikan sebagai berikut:
Untuk Produk utilitarian:
EG1 R (X1 O1)
---------------------------------
EG2 R (X2 O2)
---------------------------------
EG3 R (X3 O3)
Untuk produk
hedonik:
EG4 R (X1 O1)
---------------------------------
EG5 R (X2 O2)
--------------------------------
EG6 R (X3 O3)
Notasi EG1 adalah experimental grup 1, EG2 adalah
eksperimental grup 2, EG3 adalah eksperimental grup 3, EG4 adalah eksperimental
grup 4, EG5 adalah eksperimental grup 5 dan EG6 adalah eksperimental grup 6. R
adalah randomization (subyek yang
ditempatkan secara acak/random. X1 adalah exposure
1 (subyek yang diperlihatkan treatment
1, treatment 2 dan treatment 3).
X2 adalah exposure 2 (subyek yang
diperlihatkan treatment 1, treatment 2 dan treatment 3). O1, O2 dan O3 adalah measurement 1, measurement 2, measurement 3 (respon
subyek terhadap treatment yang diukur
dengan memberikan kuesioner yang diisi sendiri (self administered questioner) setelah diberikan treatment.
Kemudian dalam desain ini
diberikan treatment berupa
brosur yang memperlihatkan gambar produk susu dan coklat yang sedang diberikan
promosi berupa discount, bonus pack dan
premium (paper and pencil experiment). Penelitian dirancang untuk memperoleh data
tentang persepsi konsumen terhadap ekuitas merek akibat bentuk-bentuk promosi
tersebut. Partisipan dikelompokkan dalam enam kelompok secara acak dan semuanya
mendapatkan treatment yang berbeda (between subjects).
Prosedur penetapan subyek
eksperimen/partisipan
Dalam penelitian ini diambil partisipan sebanyak seratus
dua puluh orang mahasiswa dari Magister Sains Fakultas Ekonomika dan Bisnis
Universitas Gadjah Mada, dengan rentang usia 20 tahun sampai dengan 35 tahun.
Mereka dianggap mempunyai karakteristik dan perilaku yang sama. Kemudian
seratus dua puluh mahasiswa yang menjadi partisipan tersebut dibagi lagi
menjadi dua kelompok, yaitu kelompok pertama yang terdiri dari enam puluh
partsisipan untuk merespon promosi pada produk utilitarian, yang dibagi lagi
menjadi tiga kelompok yaitu duapuluh partisipan untuk merespon discount, dua puluh partisipan merespon bonus pack dan dua puluh partisipan
merespon bentuk promosi premium.
Kemudian kelompok kedua juga terdiri dari enam puluh partisipan untuk merespon
promosi pada produk hedonik, yang dibagi lagi menjadi tiga kelompok yaitu dua
puluh partisipan merespon bentuk promosi
discount, dua puluh orang merespon
bentuk promosi bonus pack dan dua
puluh partisipan merespon bentuk promosi premium.
Setiap partisipan diberikan treatment
yang berbeda yaitu masing-masing diperlihatkan satu brosur yang menggambarkan
produk susu kalsium dan coklat batang yang sedang diberikan promosi yaitu
brosur produk yang sedang diberikan potongan harga (discount), brosur produk dengan promosi bonus pack dan brosur produk dengan promosi premium.
Homogenitas antar kelompok dilihat berdasarkan jenis
kelamin dan umur, serta tingkat pendidikan yang diharapkan dapat memberikan
respons yang sama terhadap promosi yang ditawarkan.
Pemilihan produk (preliminary
study)
Untuk memperoleh persepsi yang sama tentang apakah sebuah
produk berada pada kelompok utilitarian
ataupun hedonik, peneliti melakukan focus
group discussion dengan beberapa orang mahasiswa MSi Fakultas Ekonomika dan
Bisnis UGM. Beberapa jenis produk yang
dipilih yaitu susu, soft drink, coklat, shampoo, parfum dan sabun cair. Dari
hasil focus group discussion tersebut
disimpulkan susu kalsium untuk produk utilitarian dan coklat batang untuk
produk hedonik. Alasan mengapa kedua jenis produk tersebut yang dipilih, karena
kedua produk tersebut termasuk dalam jenis grocery
product yang sering menggunakan ketiga jenis promosi tersebut untuk
meningkatkan penjualan.
Cek manipulasi
Setelah pemilihan produk dilakukan melalui focus group discussion yang memilih
coklat batang sebagai produk yang mempunyai sifat hedonik dan susu kalsium
mempunyai sifat utilitarian, selanjutnya dilakukan cek manipulasi (manipulation check) pada tiga puluh
empat orang partisipan yang tidak menjadi partisipan utama dalam studi ini. Cek
manipulasi dilakukan untuk menentukan apakah kedua produk tersebut
masing-masing berada pada kelompok hedonik dan utilitarian. Untuk mengukur
apakah kedua produk tersebut memiliki sifat hedonik atau utilitarian dilakukan
dengan menggunakan uji beda t (t-test). Cek manipulasi dilakukan dengan
memberikan pertanyaan-pertanyaan yang sama pada kedua produk (susu dan coklat),
untuk melihat apakah kedua produk tersebut mempuyai sifat utilitarian atau
hedonik.
Dari hasil uji
beda t diketahui produk susu
mempunyai sifat utilitarian, ini dapat dilihat dari nilai meanutilitarian (4,6863) yang lebih besar dari nilai meanhedonik (1,3725), nilai
perbedaan rata-rata (mean differences)
3,31373 dengan signifikansi 0,000 yang signifikan pada p<0,05. Dan produk
coklat mempunyai sifat hedonik, ini dapat dilihat dari nilai meanhedonik =4,1373 yang lebih
besar dari nilai meanutilitarian=1,9216, nilai perbedaan rata (mean
differences) -2,21569 dengan signifikansi 0,000 yang signifikan pada
p<0,05.
Sedangkan untuk mengukur kesetaraan nilai
promosi, peneliti menggunakan distribusi frekuensi untuk melihat seberapa
banyak partisipan yang memilih dan mempersepsikan bahwa ketiga nilai promosi
tersebut setara. Adapun nilai-nilai untuk masing-masing promosi adalah untuk
produk susu kalsium bonus pack atau ekstra isi sebesar 25 % atau 125 gr, mug
dan potongan harga sebesar Rp 10.000. Sedangkan untuk produk coklat batang
adalah ekstra isi 25 % atau isi lebih banyak 8 batang, potongan harga sebesar
Rp 10.000 serta sebuah liontin.
Hasil uji kesetaraan nilai ketiga jenis
promosi untuk susu adalah dari 30 orang partisipan diketahui 20 orang (66,7 %)
menyatakan setara, 2 orang (6,7 %) menyatakan sangat setara, 4 orang (13,3 %)
menyatakan agak setara dan 4 orang (13,3 %) menyatakan tidak setara.
Sedangkan pengujian kesetaraan nilai ketiga
promosi untuk produk coklat diketahui 19 orang (63,3 %) menyatakan ketiga jenis
promosi tersebut mempunyai nilai yang setara, 7 orang (23,3 %) menyatakan agak
setara dan 4 orang (13,3 %) menyatakan tidak setara.
Sehingga dari hasil pengujian tersebut
peneliti mengambil kesimpulan bahwa ketiga nilai promosi untuk kedua produk
tersebut mempunyai nilai setara.
Prosedur eksperimen
Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan mahasiswa
Magister Sains Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta. Treatment berupa brosur
yang memperlihatkan gambar produk susu kalsium ukuran 500 gram dan coklat
batang ukuran 125 gr dengan merek yang tidak dikenal oleh partisipan dan sebuah
kuesioner yang diisi langsung oleh partisipan setelah mendapatkan perlakuan
tersebut. Setiap brosur memperlihatkan gambaran jenis promosi yang berbeda
yaitu brosur tentang produk susu yang sedang diberikan promosi harga (discount), produk susu dengan promosi bonus pack dan produk susu yang memberikan hadiah untuk setiap
pembelian (premium). Untuk produk
coklat batang dilakukan hal yang sama yaitu partisipan diperlihatkan
brosur yang menggambarkan merek coklat
yang sedang didiskon, merek coklat dengan promosi bonus pack dan merek coklat
dengan promosi premium. Setiap
partisipan diberikan treatment yang
berbeda. Pertama-tama partisipan diberi waktu untuk melihat brosur tersebut,
setelah itu diminta untuk mengisi kuesioner. Dan jika ada yang tidak jelas maka
peneliti akan membantu menjelaskan hal-hal yang ingin diketahui oleh
partisipan.
Instrumen dan Skala Pengukuran
Dalam suatu penelitian dibutuhkan instrumen penelitian
yang valid dan reliabel. Instrumen tersebut dapat dikembangkan oleh peneliti
ataupun diadopsi dari peneliti sebelumnya. Instrumen dalam penelitian ini
mengadopsi penelitian sebelumnya yang
kemudian dimodifikasi oleh peneliti.
Kuesioner yang digunakan sebagai instrumen dalam
penelitian ini terdiri dari pertanyaan-pertanyaan yang dikelompokkan dalam satu
konstruk yaitu ekuitas merek yang kemudian dipecahkan menjadi beberapa dimensi
yaitu perceived quality, brand image, brand loyalty.
Skala pengukuran yang digunakan untuk mengukur ekuitas
merek adalah skala Likert yang dikembangkan oleh Yoo dan Donthu (2001) yang menyatakan sikap
dari sangat tidak setuju sampai dengan sangat setuju (skala 1-5). Sedangkan
untuk variabel independen yaitu promosi non moneter dan promosi moneter serta
jenis produk (hedonik dan utilitarian) digunakan skala nominal. Yaitu
mengelompokkan jenis-jenis promosi
tersebut menjadi tiga kelompok dan jenis produk menjadi dua kelompok.
Uji Validitas dan Reliabilitas
Pengujian validitas dilakukan untuk mengetahui kemampuan
instrumen dalam mengukur variabel penelitian. Pengukuran secara kualitatif
dengan menggunakan face validity dan content validity. Pengukuran
secara kualitatif dilakukan dengan pertimbangan expert judgment.
Sedangkan pengukuran secara kuantitatif dilakukan dengan Confirmatory Factor Analysis (CFA).
Pengujian reliabilitas dilakukan untuk mengetahui sejauh
mana konsistensi suatu alat ukur. Reliabilitas merupakan syarat tercapainya
validitas kuesioner dengan tujuan dapat menggambarkan fenomena-fenomena yang
ada dalam sebuah konstruk dan dapat digunakan kembali untuk mengukur variabel
yang sama.. Reliabilitas instrumen kuesioner diuji dengan menggunakan Cronbach’s Alpha.
Metode Analisis Data
Untuk menguji hipotesis dalam penelitian ini digunakan analysis of variance (ANOVA). ANOVA
digunakan untuk menganalisis perbedaan
antara dua atau lebih jumlah grup (Hair et
al., 2006). Untuk menguji semua hipotesis diatas digunakan One Way ANOVA.
Uji Validitas
Berdasarkan hasil analisis faktor pada produk utilitarian
ada lima item pertanyaan yang harus dikeluarkan karena mengelompok di dua
faktor, yang selanjutnya dijadikan dasar untuk melakukan uji reliabilitas. Dan
dari hasil analisis faktor pada produk hedonik ada enam item pertanyaan yang
harus dikeluarkan karena mengelompok di dua faktor. Yang kemudian hasil uji
validitas ini dijadikan dasar untuk menguji reliabilitas. Pada produk hedonik,
dimensi brand loyalty tidak dapat
dilakukan uji reliabilitas karena hanya terdiri dari satu item. Sedangkan untuk
menguji reliabilitas harus multi item.
Uji Reliabilitas
Berikut ini adalah tabel pengujian reliabilitas ekuitas
merek produk hedonik dan produk utilitarian.
Tabel 1: Cronbach’s
Alpha Ekuitas Merek Produk Utilitarian
Variabel
|
Jumlah
item dalam kuesioner
|
Jumlah item yang digunakan
|
Cronbach’s Alpha
|
Perceived Quality
|
4 item
|
3 item
|
0,753
|
Brand Loyalty
|
4 item
|
2 item
|
0,653
|
Brand Image
|
4 item
|
2 item
|
0,819
|
Tabel 2: Cronbach’s
Alpha Ekuitas Merek Produk Hedonik
Variabel
|
Jumlah
item dalam kuesioner
|
Jumlah item yang digunakan
|
Cronbach’s Alpha
|
Perceived Quality
|
4 item
|
2 item
|
0,752
|
Brand Loyalty
|
4 item
|
1 item
|
-
|
Brand Image
|
4 item
|
2 item
|
0,85
|
Analisis ANOVA
Secara ringkas hasil analisis dengan menggunakan One Way
Anova untuk menguji hipotesis tersaji diberikut ini:
Tabel 3: Hasil Pengujian Homogenitas pada Produk Utilitarian
Ekuitas Merek
|
Levene’s test equality
of variance
|
PQ
BL
BI
|
F Sig.
2,109 0,131
0,342 0,712
0,385 0,682
|
Tabel 4: Hasil Pengujian Anova Produk Utilitarian
|
|
Koefisien
|
|
|
Hipotesis
|
|
F
|
Adjusted R²
|
α
|
Sig
|
|
Perceived
Quality
|
1,575
|
0,019
|
0,216
|
0,05
|
H1a ditolak
|
Brand
Loyalty
|
3,909
|
0,090
|
0,026
|
0,05
|
H1b ditolak
|
Brand Image
|
1,211
|
0,007
|
0,305
|
0,05
|
H1c ditolak
|
Tabel 5: Hasil Pengujian Homogenitas pada
Produk Hedonik
Ekuitas Merek
|
Levene’s test equality
of variance
|
PQ
BL
BI
|
F Sig.
0,756 0,474
2,045 0,139
1,528 0,226
|
Tabel 6: Hasil Pengujian Anova Produk Hedonik
|
|
Koefisien
|
|
|
Hipotesis
|
|
F
|
Adjusted R²
|
α
|
Sig
|
|
Perceived
Quality
|
3,219
|
0,070
|
0,047
|
0,05
|
H2a diterima
|
Brand
Loyalty
|
2,102
|
0,036
|
0,132
|
0,05
|
H2b ditolak
|
Brand Image
|
0,814
|
-0,006
|
0,448
|
0,05
|
H2c ditolak
|
Hasil pengujian hipotesis H1a, H1b dan
H1c pada produk utilitarian
semuanya ditolak. Tidak ada perbedaan pengaruh antara promosi moneter dan non
moneter pada ekuitas pada produk utilitarian. Demikian juga halnya pada produk
hedonik, dari tiga hipotesis yang diajukan yaitu H2a, H2b dan
H2c hanya hipotesis H2a yang
diterima. Tetapi hipotesis H2a tidak
sepenuhnya dapat diterima karena perbedaan pengaruh hanya terjadi antara bonus
pack dengan premium. Ini dikarenakan nilai promosi yang ditawarkan masih dalam
batas kewajaran (latitude of acceptance).
Penolakan hipotesis H1a, H1b, H1c, H2b dan H2c sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Vidal dan Ballaster (2005) yang menyatakan bahwa ke dua jenis promosi tersebut
dapat digunakan pada dua jenis produk yaitu produk utilitarian dan produk
hedonik. Tetapi dalam study yang
dilakukan oleh Vidal dan Ballaster (2005) hanya menggunakan satu jenis promosi
moneter saja yaitu discount sedangkan
dalam penelitian ini peneliti memasukkan dua jenis promosi moneter yaitu discount dan bonus pack. Walaupun hasil penelitian ini agak bertentangan dengan
studi yang dilakukan Chandon et al.,
(2000) yang menyatakan promosi moneter lebih efektif pada produk utilitarian
dan promosi non moneter lebih efektif pada produk hedonik, tetapi kedua jenis
promosi efektif pada produk utilitarian. Ini dikarenakan Chandon et al., (2000) tidak menggunakan jenis
promosi moneter saja pada produk hedonik hanya menggunakan satu
jenis promosi saja yaitu promosi non moneter. Dan hasil penelitian yang telah
dilakukan oleh peneliti sesuai dengan
fakta yang terjadi di pasar. Hampir kebanyakan retail menggunakan kedua jenis promosi ini pada produk yang mereka
jual. Ini juga konsisten dengan hasil observasi yang peneliti lakukan di
beberapa supermarket di Yogyakarta.
Kedua jenis promosi yaitu promosi moneter dan moneter
pada intinya tidak memiliki perbedaan pengaruh pada dimensi perceived quality baik itu pada produk
utilitarian ataupun hedonik jika dilakukan pada merek produk baru. Karena
promosi-promosi ini yaitu discount, bonus
pack dan premium jika tidak
dilakukan dalam waktu yang lama dan tepat dapat meningkatkan penjualan.
Partisipan mungkin tidak mempunyai persepsi yang berbeda pada dua jenis promosi
ini dikarenakan merek yang ditawarkan dalam promosi ini adalah merek baru dan
nilai promosi yang ditawarkan masih dalam kewajaran (latitude of acceptance) sehingga mereka tidak melihat adanya
perbedaan pengaruh. Ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Campbell dan Diamond
(1990) bahwa nilai promosi yang ditawarkan tidak boleh menimbulkan kecurigaan
bagi konsumen. Walaupun terdapat perbedaan pengaruh diantara ke tiga jenis
promosi tersebut yaitu antara bonus pack
dengan discount pada brand loyalty pada produk utilitarian,
dan premium dengan bonus pack pada perceived quality pada produk hedonik mungkin dikarenakan setting penelitian ini. Pada produk
hedonik perbedaan pengaruh jenis promosi pada perceived quality karena partisipan tidak pernah mencoba merek
tersebut. Sehingga ketika dia melihat promosi bonus pack dia memiliki persepsi yang berbeda dengan kedua jenis
promosi yang lain. Karena dalam Anova
perbedaan pengaruh tersebut tidak dapat dilihat bentuknya negatif atau positif.
Promosi penjualan dikuatirkan akan menurunkan citra brand image tetapi pada kenyataanya
promosi penjualan juga dapat membangun brand
image jika promosi yang ditawarkan menarik bagi konsumen. Seperti yang
dinyatakan oleh Liao (2006) pemilihan jenis promosi yang tepat khususnya
promosi non moneter dapat meningkatkan brand
image. Tetapi jika promosi tersebut dilakukan pada produk yang memiliki high equity brand jenis promosi seperti
promosi moneter dapat membahayakan image
dari merek tersebut. Berbeda dengan promosi non moneter
yang malah dapat meningkatkan brand image
(Vidal dan Ballaster, 2005). Sehingga sebelum promosi dilakukan harus
dipertimbangkan kedudukan sebuah merek.
Tetapi karena setting
penelitian ini adalah merek baru dan otomatis belum dikenal sehingga kedua
jenis promosi tersebut tidak memiliki pengaruh berbeda pada brand image baik itu pada produk
utilitarian ataupun produk hedonik.
Menurut Aaker (1996) dalam Sriram et al., (2007) walaupun promosi dapat membahayakan tetapi juga
dapat mendukung ekuitas merek karena learning
theory menyatakan pembentukan konsumen perilaku konsumen dapat membawa pada
attitudinal loyalty. Ini sesuai
dengan hasil penelitian yang menemukan bahwa promosi moneter dan promosi non
moneter pada produk utilitarian tidak mempunyai pengaruh berbeda pada brand loyalty. Jenis-jenis promosi
membuat konsumen ingin mencoba merek baru tersebut walaupun hal ini dapat
menimbulkan bahaya bagi merek produk yang lain (brand swicthing) tetapi untuk merek baru kedua jenis promosi ini
dapat membawa pada attitudinal loyalty.
Terlebih lagi jika promosi yang ditawarkan khususnya jenis promosi non moneter
berhubungan dengan jenis produk yang ditawarkan (Liao, 2006). Namun terdapat
perbedaan pengaruh antara kedua jenis promosi moneter yaitu discount dan bonus pack pada brand loyalty
ini mungkin dikarenakan pada saat
partisipan melihat jenis promosi discount
ada keinginan partisipan untuk membeli karena potongan harga yang menurutnya
relatif menarik tetapi tidak demikian halnya dengan bonus pack, ekstra isi yang ditawarkan tidak membuatnya ingin
membeli produk tersebut karena dia memang belum pernah mengkonsumsinya (karena
loyalitas yang dilihat dalam konsteks ini adalah attitudinal loyalty). Dan ini juga dikarenakan oleh setting penelitian yang mengambil objek
yang belum pernah dikenal oleh partisipan.
Promosi penjualan yaitu promosi moneter dan non moneter
dapat digunakan pada ke dua jenis produk yaitu produk utilitarian dan produk
hedonik selama nilai promosi-promosi tersebut masih berada dalam batas
kewajaran. Sehingga konsumen tidak curiga. Tetapi sebelum pemasar memutuskan
untuk menggunakan jenis-jenis promosi tersebut, pemasar harus memikirkan
terlebih dahulu tujuan dari promosi yang ingin digunakan sehingga dapat memilih
jenis promosi yang tepat. Seperti yang dinyatakan oleh Chandon at el., (2000) sebelum menentukan jenis
promosi harus memperhatikan jenis produk karena dapat membahayakan ekuitas
merek. Hasil dari penelitian diatas konsisten dengan penelitian yang dilakukan
oleh Vidal dan Ballaster (2005) yang menemukan bahwa tidak ada perbedaan
pengaruh di antara kedua jenis promosi tersebut..
Tetapi meskipun demikian untuk menjaga agar citra sebuah
merek tidak menurun Vidal dan Ballaster (2005) tidak menyarankan untuk terlalu
sering menggunakan promosi moneter pada produk hedonik karena setiap konsumen
mempunyai persepsi yang bebeda-beda. Dan ini konsisten dengan studi yang telah
dilakukan oleh Yoo et al., (2000 )
serta Ramos dan Franco (2005) yang menemukan bahwa promosi moneter memiliki
hubungan negatif dengan perceived quality
dan brand image. Tetapi studi yang
telah dilakukan oleh para peneliti tersebut tidak membedakan jenis dan kategori produk. Dalam
studi yang dilakukan oleh Ramos dan Franco (2005), mereka menggunakan produk
mesin cuci dengan merek yang telah dikenal oleh konsumen. Karena itu setting penelitian
sangat mempengaruhi hasil penelitian.
Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini mempunyai beberapa keterbatasan yaitu,
yang pertama desain penelitian yang digunakan adalah lab eksperimen sehingga
hasilnya tidak dapat digeneralisasi. Karena desain eksperimen sangat mengontrol
validitas internal sehingga tidak menguji variabel-variabel lain yang mungkin
mempengaruhi di luar variabel yang dikontrol dan hasil penelitian ini juga
tidak dapat digeneralisir pada jenis produk yang lain hanya pada jenis produk
susu dan coklat saja. Kedua, penelitian ini dilakukan dalam waktu yang relatif
singkat (cross sectional study),
padahal untuk melihat pengaruh promosi penjualan pada ekuitas merek sebaiknya
dilakukan dalam waktu yang lebih lama untuk melihat efeknya (longitudinal study). Ketiga, jumlah
partisipan sangat terbatas hanya pada mahasiswa Msi Fakultas Ekonomi UGM saja,
sehingga hasil penelitian ini hanya didasarkan pada persepsi sebagian mahasiswa
saja. Keempat, setting penelitian ini adalah mengenalkan merek produk baru
sehingga partisipan tidak mempunyai brand
knowledge tentang merek produk tersebut sehingga pada dimensi brand loyalty pada produk hedonik mereka
tidak mempunyai persepsi positif pada merek produk tersebut.
Implikasi bagi Pemasar
Beberapa hal yang harus diperhatikan oleh pelaku pasar
dari hasil penelitian ini ketika hendak melakukan promosi penjualan diantaranya
pertama, sebelum melakukan promosi penjualan pemasar harus mempertimbangkan
waktu yang tepat untuk promosi dan juga jenis promosi yang digunakan. Walaupun
hasil penelitian ini menyatakan tidak ada perbedaan pengaruh antara promosi
moneter dan moneter tetapi jika promosi tersebut dilakukan dalam waktu yang
lama dapat membahayakan ekuitas merek. Kedua, sebelum menentukan jenis promosi
yang digunakan, pemasar juga harus mempertimbangkan sifat produk. Karena bagaimanapun promosi moneter
lebih menarik bagi konsumen jika dilakukan pada produk utilitarian. Dan promosi
non moneter lebih sesuai untuk produk hedonik (Vidal dan Ballaster, 2005).
Tetapi ini terjadi jika kondisi ekuitas merek produk tersebut tinggi. Berbeda
dengan produk baru yang belum mempunyai ekuitas merek tinggi. Ketiga, selain
itu, pemasar juga harus memperhatikan bentuk promosi dan tujuan pemberian promosi tersebut. Karena
jenis-jenis promosi tersebut mempunyai pengaruh berbeda pada ekuitas merek
sebuah produk. Untuk merek produk baru, promosi seperti potongan harga dan
premium (hadiah) dapat menarik konsumen untuk mencoba produk tersebut dan
mereka dapat mengenali merek produk yang memberikan hadiah menarik dengan
mudah. Dan keempat, sebaiknya pelaku pasar tidak hanya melakukan satu jenis
aktivitas komunikasi pemasaran seperti promosi penjualan saja tetapi juga
melakukan bentuk-bentuk komunikasi pemasaran lainnya seperti periklanan
(melakukan komunikasi pemasaran terpadu) karena untuk dimensi ekuitas merek
seperti brand image pada merek produk
baru lebih baik jika didukung oleh iklan. Sehingga promosi dapat berjalan
lancar.
Implikasi bagi penelitian yang akan datang
Berdasarkan beberapa keterbatasan dalam penelitian ini
maka untuk penelitian selanjutnya peneliti menyarankan beberapa hal. Pertama,
untuk menambah jumlah partisipan lebih besar lagi. Sehingga pengujian
reliabilitas pada dimensi brand loyalty
pada produk hedonik dapat dilakukan. Kedua, sebaiknya penelitian untuk
selanjutnya memastikan apakah si partisipan dapat membedakan terlebih
dahulu kedua jenis promosi moneter
tersebut yaitu discount dan bonus pack.
Karena walaupun kedua jenis promosi moneter ini mempunyai tujuan yang sama
yaitu agar konsumen mau mencoba untuk menggunakan sebuah merek produk, mengubah
pencoba menjadi pengguna, membujuk pembelian yang lebih besar (stockpilling) dan merangsang pembelian
yang tidak direncanakan (Crask et al.,
1995) ternyata memiliki pengaruh berbeda pada dimensi-dimensi ekuitas merek.
Aaker, David. Kumar, V. Day,
S.George. (2004). Marketing Research. 8th ed., New York, John Wiley
& Sons, Inc.
Assael,
H. (2001). Consumer Behavior and
Marketing Action. 6th ed., Cincinnati,
OH: South-Western
College Publishing.
Cooper,
Donald R dan Schindler, Pamela S. (2003). Business
Research Methods. 8th ed,. New York: The Mc Graw-Hill.
Campbell, Leland and Diamond,
D.William (1990), “Framing and Sales Promotions: The characteristic of A “Good
deal.” The Journal of Consumer Marketing,
Vol 7, No 4.
Chandon,
Pierre. Wansink, Brian. Laurent, Gilles (2000), “A Benefit Congruency Framework
of Sales Promotion Effectiveness.” Journal
of Marketing, Vol 64, pp 65-81.
Crask,
Melvin and Fox, Richard J and Stout, Roy G (1995). Marketing Research: Principles and Applications. 3th ed.
New Jersey.
Prentice Hall Englewoods Cliffs.
Diamond,
D.William and Johnson, R.Robert (1990),”The Framing of Sales promotions: An
approach to Classification,” Advances in
Consumer Research, Vol 17.
Fitzgibbon, C. and White, L. (2005), “The Role of Attitudinal Loyalty
in The Development of Customer Relationship Management Strategy Within Service
Firms,” Journal of Financial Service Marketing, Vol. 9, No. 3, pp.
214-230.
Hair,
J. Joseph and Black, C. William and Babin, J. Barry and Anderson, E. Rolph and
Tatham, L. Ronald (2006). Multivariate Data Analysis. 6th
ed. New Jersey,
Pearson Education International.
Jones,
Philip. John (1990), “The Double Jeopardy of Sales Promotions,” Harvard Business Review, pp. 145-152.
Jones,
M.Joseph (2005),”Examinations of Relatedness between Direct Consumer Premiums
and Promoted Products: Assessing Impact in Different Time Periods,” Advances in Consumer Research, Vol.32,
pp.482-483.
Kotler, P and K. Keller (2006). Marketing Management. 12 th ed. Upper Saddle River, NJ:
Pearson Education, Inc.
Leclerc, France. (1997), “Monetary
Promotion vs. Non-Monetary Promotion, Which Is More Effective?” Advances
in Consumer Research, Vol 24, pp.220-221.
Liao,
Shu-ling. (2006), “The Effects of Non monetary Sales Promotion on Consumer
Preferences: The Contingent Role of Product Category,” The Journal of American Academy of Business, Vol. 8, No 2, pp.196-203.
Neuman,
W. Lawrence
(2000), Social Research Methods: Qualitative and Quantitative
Approach, A Pearson Education Company
Purwanto,
BM. (2002), “The Effect os Salesperson Stress Factors on Job Performance.” Journal of Indonesian Economy and Business,
Vol. 17, No.2, pp. 150-169.
Ramos,
Angel F.Villarejo and Franco, Manuel J.Shancez (2005), “The Impact of Marketing
Communication and Price Promotion on Brand Equity,” Brand Management, Vol 12, No 6, pp. 431-444.
Rothschild,
L Michael, “A Behavioral View of Promotion Effects on Brand Loyalty,” University of Wisconsin, pp 119-120.
Soo
Ong, Beng ; Nin Ho, Foo ; Tripp, Carolyn (1997),” Consumer Perceptions of Bonus
Packs: An Exploratory Analysis,” Journal
of Consumer Marketing. Vol 14, No, pp.102-112.
Soo
Ong, Beng (1999), “Determinants of Purchase Intentions and Stock-pilling
Tendency of Bonus Packs, ”American
Business Review, January, pp. 57-64.
Soo
Ong, Beng ; Guerreiro, Reinaldo ; Santos, dos Ariovaldo ; SilveiraGisbrecth,
Jose Agusto (2004), “Cost Implications of Bonus Pack promotions versus Price
discounts,” American Business Review,
June, pp 72-81.
Sriram,
S and Balachander, Subramanian and Kalwani, U. Manohar (2007), “Monitoring the
Dynamics of Brand Equity Using Store-Level Data,” Journal of Marketing. Vol 71, pp. 61-78.
Vidal,
Mariola Palazon and Ballester, Elena Delgado (2005), “Sales Promotion Effects
on Consumer-Based Brand Equity,” International
Journal of Market Research, Vol 47, Issue 2, pp.179-204.
Yoo,
Booghee and Dongthu, Naveen and Lee, Sungho (2000),”An Examination of Selected
Marketing Mix Elements and Brand Equity,” Journal
of the Academy of
Marketing Science.
Vol 28, No 2, pages 195-211.
SENSI
DAN DAMPAK LIBERALISASI PERDAGANGAN
Faisal, SE.Ak
dan
Wahyuddin, SE.Ak2
Abstract
As
one of the traded goods and important sub-sectors in Indonesia, estate-crop sub-sector
cannot avoid various strategic business environment changes, mainly related to
trade liberalization issues. These changes have been perceived to have
significant impacts on the sub-sector.
In line with this issue, the main objective of this paper is to assess
the likely impacts of trade liberalization with emphasizing on the Indonesian
estate crops sub-sector.
The
results of the study indicates that impacts of the trade liberalization on the
sub-sector in the international markets have been varied, due to the different
level of market distortions, level of commitments to reduce distortion, and
consistency in implementing the commitments. In general, trade liberalization
is expected to lift international prices, while the impacts on production,
consumption, and trade have been varied, depending on the crops and countries.
Moreover, Indonesia
estate crops sub-sector will benefit from this trade liberalization if some
conditions to promote efficiency and to fair trade in international market
could be realized.
Key words: Essence
and Impact, Trade Liberalization, Estate-Crop Sub-Sector,
Strategic Business
Environment
PENDAHULUAN
Perkebunan memegang
peranan penting bagi perekonomian nasional, khususnya sebagai penyedia lapangan
kerja/pendapatan, devisa negara, dan pertumbuhan ekonomi. Pada saat ini subsektor perkebunan diperkirakan menjadi sumber penghidupan
bagi 17,1 juta tenaga kerja. Sebagai penghasil devisa, nilai ekspor perkebunan
pada lima tahun terakhir adalah sekitar US$ 4 miliar per tahun dan tumbuh
sekitar 4%-6% per tahun untuk periode 25 tahun terakhir. Pada tahun 2000,
Produk Domestik Bruto (PDB) yang dihasilkan perkebunan (produk primer)
berdasarkan harga yang berlaku tercatat sebesar Rp 34,78 trilyun, atau 2,69%
dari total PDB yang besarnya mencapai Rp 1290,7 trilyun.
Salah satu perubahan
mendasar yang terjadi di pasar internasional adalah liberalisasi perdagangan
untuk sektor pertanian, dimana beberapa produk perkebunan termasuk di
dalamnya. Hal ini ditandai oleh
disyahkannya hasil Putaran Uruguay (Uruguay
Round) sebagai rangkaian dari general
agreement on tariff and trade (GATT) pada
tanggal 15 Desember 1993. Keberhasilan putaran tersebut tercapai setelah melalui rangkaian perundingan yang alot dan
panjang sejak tahun 1940. Salah satu kekhususan putaran ini adalah
dimasukkannya komoditas pertanian dalam agenda perundingan. Dengan perkataan
lain, keberhasilan Putaran Uruguay (PU)
menyebabkan pemberlakuan sektor pertanian sama dengan sektor lainnya atau
sektor pertanian tidak lagi diperlakukan secara eksklusif dalam kerangka GATT.
Dengan demikian, distorsi perdagangan produk pertanian diharapkan akan hilang
atau menurun sehingga terjadi peningkatan efisiensi dan volume perdagangan
produk pertanian.
Liberalisasi perdagangan tersebut diperkirakan akan mempunyai dampak yang
signifikan terhadap perkembangan komoditas perkebunan. Besarnya dampak untuk
masing-masing komoditas perkebunan tentunya bervariasi tergantung besarnya
intervensi pemerintah negara-negara yang terlibat dalam perdagangan komoditas
perkebunan. Sebagai contoh, dampak
liberalisasi terhadap minyak nabati, di mana CPO termasuk di dalamnya,
diperkirakan akan lebih besar terhadap karet yang relatif tidak banyak
mengalami intervensi pemerintah.
Informasi mengenai besar
serta distribusi dampak perdagangan bebas terhadap perkembangan komoditas
Indonesia merupakan informasi penting dalam penyusunan kebijakan komoditas
perkebunan. Jika leberalisasi perdagangan memberi dampak positif terhadap
komoditi tertentu, maka posisi Indonesia dalam negosiasi/perundingan adalah
mendorong upaya-upaya penerapan komitmen-komitmen tersebut. Hal ini antara lain dapat dilakukan dengan
melaksanakan segera komitmen-komitmen Indonesia yang berkaitan dengan komoditas
tersebut. Dengan demikian, Indonesia
mempunyai bargaining position yang
lebih kuat untuk mendesak negara lain untuk segera melaksanakan komitmennya.
Sejalan dengan pentingnya informasi tersebut, maka pada tulisan ini akan
diuraikan mengenai esensi dari liberalisasi perdagangan dan dampaknya terhadap
komoditas perkebunan. Uraian mengenai
esensi liberalisasi perdagangan, khususnya
komitmen-komitmen yang berkaitan dengan perdagangan PU, dimaksudkan
untuk memberi gambaran yang lebih jelas mengenai makna liberalisasi perdagangan
yang sering diterjemahkan sebagai “perdagangan yang bebas”. Pada bagian selanjutnya, bahasan difokuskan
pada dampak secara umum dari liberalisasi perdagangan terhadap industri
perkebunan.
Walaupun sudah menjadi topik bahasan sejak tahun 1940-an,
esensi dari liberalisasi perdagangan masih sering dipahami secara kurang
proporsional. Perdagangan bebas sering dipersepsikan sebagai suatu sistem
perdagangan yang bebas, seperti tarif nol atau rendah, serta peniadaan berbagai
instrumen yang berkaitan dengan kebijakan pertanian. Padahal, berdasarkan sejarahnya, jiwa dari
liberalisasi perdagangan adalah suatu tatanan perdagangan yang lebih efisien
dan adil (fair). Untuk mencapai hal itu, distorsi perdagangan
memang harus diturunkan, tetapi penurunan tersebut hanya sampai tahap yang disepakati,
bukan pada titik yang serendah-rendahnya. Di samping itu, aspek keadilan juga
menjadi jiwa penting dari liberalisasi perdagangan. Dalam hal ini, negara-negara yang relatif
belum mampu berkompetisi masih diberikan hak melakukan kebijakan protektif,
sesuai dengan kesepakatan. Untuk mencapai hal tersebut dan mengingat distorsi
perdagangan produk pertanian sudah demikian substansial, berbagai perundingan
dilakukan untuk manata kembali sistem perdagangan tersebut.
Masalah perdagangan produk pertanian sepertinya sudah
ditakdirkan untuk menjadi biang keladi pertikaian dalam negosiasi GATT. Sejak
persiapan Havana Charter (1940) yang merupakan cikal bakal Organisasi
Perdagangan Dunia (WTO), sudah tidak ada kesepakatan mengenai bagaimana perdagangan
komoditas pertanian harus diperlakukan (Werley 1989). Pertentangan ini kemudian
berkelanjutan dalam penyusunan kerangka dasar GATT pada tahun 1947. Sebagian
delegasi berpendapat bahwa perdagangan produk pertanian harus bebas sesuai
dengan ketentuan GATT dan sebagian lagi
berpendapat bahwa masalah tersebut harus ditata dengan melibatkan negara
pengekspor dan pengimpor dan antara negara berkembang dan maju. Berawal dari
sini, masalah perdagangan produk pertanian terus menjadi isu sentral pada
perundingan GATT selanjutnya yaitu Dillon Round (1960-62), Kennedy- Round
(1963-67), Tokyo Round (1973-79), dan Uruguay Round (1986-1993).
Setelah melalui rangkaian perundingan
yang alot dan panjang, GATT PU akhirnya ditandatangani pada tanggal 15 Desember
1993. Salah satu kekhususan putaran ini
adalah dimasukkannya komoditas pertanian dalam agenda perundingan. Dengan
perkataan lain, keberhasilan PU menyebabkan pemberlakuan sektor pertanian sama
dengan sektor lainnya atau sektor pertanian tidak lagi diperlakukan secara
eksklusif dalam kerangka GATT. Dengan demikian, distorsi perdagangan produk
pertanian diharapkan akan hilang atau menurun sehingga terjadi peningkatan
efisiensi dan volume perdagangan produk pertanian.
Secara
garis besar, komitmen-komitmen yang berkaitan dengan industri dan perdagangan
Perkebunan mencakup komitmen pada sanitary
and phytosanitary measures (sanitasi dan fitosanitasi), domestic support (bantuan domestik), market access (akses pasar), dan export subsidy (subsidi ekspor). Komitmen tersebut ada yang bersifat umum
untuk semua produk pertanian, ada pula yang bersifat khusus untuk produk
pertanian tertentu, seperti kakao.
Komitmen
sanitasi dan fitosanitasi terutama ditekankan pada masalah kontaminasi aflatoxin serta standar ketat yang diterapkan oleh negara
pengimpor. Negara pengimpor diijinkan
untuk membuat standar tersendiri sepanjang tidak ada unsur diskriminasi. Di
samping itu, standar yang diterapkan diharapkan tidak berlebihan, namun cukup
memadai untuk melindungi manusia, binatang, dan tumbuhan (Pasquali, 1995).
Komitmen
yang berhubungan dengan bantuan domestik terutama ditujukan pada negara-negara
yang mempunyai kebijakan domestik yang distorsi pasarnya cukup besar. Sebagai contoh, kebijakan subsidi harga yang
pernah diterapkan oleh Pantai Gading tentunya tidak lagi dapat
dipertahankan. Namun demikian, bantuan
domestik untuk penelitian dan pengembangan, penyuluhan pertanian, dan pelatihan
dapat dikecualikan dari pengurangan bantuan domestik (Departemen Perdagangan,
1994).
Komitmen
bantuan domestik bersifat global untuk komoditas pertanian dan besarnya
dukungan (support) tersebut diukur
dengan total aggregate measurement of
support (AMS). Untuk negara maju,
penurunan dukungan tersebut adalah sebesar 20 persen, sedangkan negara berkembang
diharapkan menurunkan 13 persen (Pasquali, 1995). Karena penurunan tersebut bersifat global,
bukan berdasarkan komoditas secara spesifik, maka setiap negara mempunyai
keleluasaan dalam menentukan besarnya dukungan untuk setiap komoditasnya.
Dalam hal ini bantuan domestik yang
berlaku spesifik untuk kakao untuk negara-negara produsen belum dapat
diidentifikasi. Komitmen akses pasar
pada dasarnya terdiri dari tiga hal pokok yaitu tarifikasi (tariffication), penurunan tarif, dan
peluang akses pasar (access opportunity). Dengan tarifikasi, hambatan non-tarif seperti
kuota, variable levies, harga
minimum, state trading, dan voluntary restraint agreement akan
ditiadakan dan diganti dengan sistem tarif.
Dengan sistem tersebut, evaluasi lebih mudah dilaksanakan karena
bersifat lebih transparan. Di samping
itu, setiap negara diminta membuat rencana yang lebih spesifik mengenai rencana
penurunan tarif untuk setiap komoditas yang dirundingkan (Pasquali, 1995).
Penurunan
tarif untuk produk pertanian secara garis besar dibedakan menjadi dua kelompok
yaitu tarif yang umum diterapkan oleh kebanyakan negara (Ad valorem tariffs) dan tarif yang bersifat spesifik. Penurunan tarif untuk kelompok pertama adalah
16,4 persen dari tarif yang berlaku pada tahun 1995. Secara lebih rinci, negara berkembang diminta
menurunkan tarifnya antara 9-14 persen, sedangkan negara maju antara 21-23
persen. Negara maju diharapkan dapat
mewujudkan komitmen tersebut paling lambat tahun 2000, sedangkan negara
berkembang paling lambat pada tahun 2004.
Penurunan tarif spesifik yang proporsi penerapannya sangat terbatas
berkisar antara 24-36 persen.
Sejalan dengan hal tersebut, Indonesia menjadualkan penurunan tarif impor
perkebunan dari sekitar 70-100 persen pada tahun 1995 menjadi sekitar 60-40
persen pada tahun 2004 (Anonim, 1994).
Sebagai contoh, tarif impor kakao biji yang pada tahun 1995 masih 70
persen akan ditutunkan menjadi 40 persen pada tahun 2004.
Komitmen pengurangan subsidi ekspor
dilakukan melalui dua pendekatan yaitu berdasarkan volume ekspor yang disubsidi
dan nilai subsidi. Volume ekspor yang
disubsidi ditetapkan sebesar 18 persen dari volume produk pertanian yang
diperdagangkan di pasar dunia. Nilai
tersebut relatif besar bila dibandingkan dengan nilai ekses minimum. Kelompok negara maju mempunyai komitmen
penurunan yang relatif lebih besar dibandingkan negara berkembang baik dari
segi volume maupun nilai.
Persepsi umum yang berkembang adalah bahwa liberalisasi perdagangan dan
investasi akan mempunyai pengaruh yang sangat signifikan terhadap kinerja
sektor pertanian. Untuk sub-sektor
perkebunan, persepsi umum tersebut tidak sepenuhnya benar untuk kasus
Indonesia, khususnya jika hasil Putaran Uruguay yang dijadikan dasar
pijakan. Dengan perkataan lain, dampak
liberalisasi perdagangan pada sub-sektor perkebunan sering over-estimate
sehingga muncul kekhawatiran yang berlebihan terhadap liberalisasi perdagangan
(implementasi dari hasil Putaran Uruguay).
Dampak liberalisasi
perdagangan pada dasarnya tergantung pada tiga faktor yaitu (i) tingkat
distorsi/intervensi kebijakan pemerintah; (ii) komitmen masing-masing negara
untuk mengurangi distorsi tersebut; (iii) konsistensi pelaksanaan komitmen. Makin besar tingkat distorsi di negara-negara
utama (produsen ataupun konsumen), maka makin besar potensi dampak dari
liberalisasi perdagangan. Tingkat
distorsi yang tinggi berarti makin memperbesar domain kebijakan yang bisa
dikoreksi sehingga potensi dari koreksi tersebut diperkirakan akan
signifikan. Sebagai ilustrasi, distorsi
pada industri dan perdagangan gula sangat intensif dan hampir dilakukan oleh
semua negara. Jika kebijakan tersebut
ditiadakan atau dikurangi, dampak terhadap industri dan perdagangan gula akan
sangat signifikan. Hal ini berbeda dengan kasus karet yang tingkat distorsinya
relatif rendah sehingga potensi dampak liberalisasi relatif lebih kecil.
Faktor kedua adalah
komitmen masing-masing negara untuk mengurangi distorsi. Makin tinggi komitmen negara-negara utama
untuk mengurangi tingkat distorsi, maka semakin besar dampak dari liberalisasi
perdagangan. Tingkat komitmen
pengurangan distorsi masing-masing negara sangat bervariasi, tergantung
berbagai faktor seperti daya saing komoditas, peran komoditas dalam
perekonomian, termasuk faktor sosial, budaya, dan politik. Jika suatu komoditas
mempunyai daya saing yang tinggi, negara cenderung mempunyai komitmen yang
tinggi untuk mengurangi distorsi, seperti Australia untuk komoditas gula.
Sebaliknya, jika daya saing komoditas lemah dan punya peran ekonomi, sosial,
dan politik yang tinggi, komitmen pengurangan distorsi umumnya minimal. Kasus beras dan gula merupakan contoh umum
dari situasi tersebut.
Faktor ketiga yang tidak
kalah pentingnya adalah konsistensi dalam pelaksanaan komitmen. Dalam beberapa kasus, ada upaya-upaya untuk
memperlambat pelaksanaan komitmen karena berbagai faktor. Dengan berbagai alasan, baik itu faktor
teknis maupun dinamika pasar, sering dijadikan upaya untuk menghambat pelaksanaan
komitmen. Selanjutnya, kelambatan pelak-sanaan komitmen oleh suatu negara
sering diikuti oleh negara pesaingnya.
Untuk sub-sektor
perkebunan, tingkat distorsi, komitmen, serta konsistensi pelaksanaan komitmen
bervariasi antara komoditas. Secara kualitatif, kondisi ketiga aspek tersebut
untuk beberapa komoditas perkebunan adalah seperti disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Tingkat
Distorsi, Komitmen, dan Konsistensi Pelaksanaan Komitmen
Komoditi
|
Tingkat Distorsi
|
Komitmen Liberalisasi
|
Konsistensi Komitmen
|
Karet
|
*
|
*
|
**
|
Teh
|
**
|
*
|
**
|
Kopi
|
**
|
**
|
**
|
Kakao
|
***
|
**
|
**
|
Kelapa Sawit
|
***
|
**
|
*
|
Gula
|
****
|
**
|
*
|
Keterangan:
* = rendah ** = sedang
*** = tinggi ****
= sangat tinggi
Komoditas karet relatif
mempunyai tingkat distorsi perdagangan dan industri yang paling rendah (Tabel
2). Berbagai kebijakan yang
berkaiatan dengan bantuan domestik
hampir tidak ada. Hal yang sama juga berlaku untuk akses pasar yang relatif
sudah mendekati perdagangan bebas. Berbagai kebijakan tingkat internasional,
seperti kebijakan buffer stock dan kebijakan membentuk Tripartite
Rubber Council (TRC) tidak dapat berjalan secara efektif. Karena tingkat
distorsinya kecil, maka tingkat komitmen menjadi rendah karena tidak banyak
kebijakan yang perlu ditinjau atau dikoreksi.
Tabel 2. Beberapa Kebijakan Distortif pada
Komoditas Perkebunan
Komoditi
|
Beberapa Kebijakan
Distortif
|
Karet
|
·
Perdagangan internasional : kontrol penawaran
·
Dukungan domestik minimum
|
Teh
|
· Dukungan harga domestik
· Input subsidi (bibit)
· Subsidi kredit (peremajaan)
· Tarif impor : maksimum 35%
|
Kopi
|
·
Perdagangan internasional : kontrol penawaran
·
Subsidi input (bibit dan pupuk)
·
Dukungan domestik : pemasaran dan gudang
|
Kakao
|
·
Perdagangan internasional : kontrol penawaran
·
Dukungan harga
· Subsidi input
· Subsidi kredit
· Trade preferences
|
Kelapa Sawit
|
·
Kontrol produksi
·
Subsidi kredit
·
Pemasaran
·
Sanitasi dan fitosanitasi
· Lingkungan
|
Gula
|
·
Kontrol produksi
·
Dukungan harga
·
Dukungan kredit
·
Subsidi ekspor
·
Trade preferences
·
Pembatasan akses pasar
·
Kebijakan distribusi
|
Tingkat distorsi perdagangan komoditas kelompok teh dan
kopi umumnya termasuk kategori yang sedang dengan komimen dan implementasi
umumnya termasuk kategori sedang. Sebaliknya, kakao memiliki tingkat distorsi
lebih tingi yang hampir menggunakan berbagai instrumen intervensi. Intervensi
yang tinggi tersebut diterapkan di negara-negara Afrika, khususnya pantai
Gading dan Ghana.
Distorsi
yang relatif tinggi juga dialami komoditas minyak sawit. Berbeda dengan komoditas sebelumnya, distorsi
yang tinggi yang dihadapi minyak sawit berasal dari distorsi minyak
pesaingnya. Distorsi dilakukan di negara
maju, seperti Amerika dan Eropa, tetapi juga di negara berkembang seperti India
dan China. Hampir semua instrumen kebijakan diaplikasikan untuk minyak
pesaingnya yaitu dari kebijakan kontrol produksi, kredit, dan masalah
kesehatan. Bahkan, isu lingkungan kini juga digunakan untuk menekan industri
kelapa sawit.
Komoditas
gula dapat dikategorikan sebagai pasar dan industri dengan tingkat distorsi
paling tinggi. Kebijakan distortif
dilakukan oleh hampir semua negara, baik negara produsen maupun konsumen.
Instrumen kebijakan yang digunakan termasuk instrumen yang sangat komprehensif
yang mendistorsi sebagian besar industri gula dunia. Kebijakan tersebut menyangkut kontrol produksi,
kredit, dukungan harga, subsidi ekspor, trade preferences, bahkan juga
kebijakan distribusi. Di sisi lain,
berbagai komitmen dalam Putaran Uruguay tidak secara signifikan mengurangi
distorsi tersebut. Hal ini menempatkan
gula sebagai perdagangan dan industri yang paling distortif.
Terlepas
dengan tingkat distorsi dan implementasi pengurangan distorsi, liberalisasi
perdagangan masih tetap mampu memberi net benefit, khususnya pada negara
produsen, walaupun distribusi tidak tersebar secara proporsional. Berdasarkan beberapa hasil studi,
dampak positif secara umum diperkirakan terjadi adalah dalam bentuk kenaikan
harga (Tabel 3). Dampak positif tersebut cukup signifikan karena tingkat
liberalisasi yang dilakukan sampai dengan 2005 relatif masih rendah. Jika dalam Putaran Doha komitmen liberalisasi
disepakati lebih progresif, dampak positif tersebut akan menjadi semakin besar.
Dampak
terhadap produksi maupun konsumsi bervariasi berdasarkan komoditas, dan juga
berdasarkan negara. Liberalisasi perdagangan diperkirakan akan berpengaruh
positif terhadap kelapa sawit, namun berpengaruh negatif terhadap gula. Secara
umum, jika intensitas kebijakan bantuan domestik/dukungan produksi semakin
tinggi, maka liberalisasi perdagangan dan industri cenderung akan menekan
produksi, dan sebaliknya. Di sisi lain, dampak terhadap konsumsi umumnya
relatif lebih kecil, karena kebanyakan fungsi komoditas perkebunan adalah
sebagai makanan dan minuman yang merupakan kebutuhsan pokok (permintaan tidak
elastis).
Tabel
3. Perkiraan Dampak Komitmen Putaran Uruguay
Komoditas
|
Dampak Terhadap (%)
|
||
Harga
|
Produksi
|
Konsumsi
|
|
Kelapa Sawit
|
1.1-4.0
|
1.0-3.8
|
2.1-11.6
|
Kopi
|
4.5-7.0
|
-1.8
|
-0.8
|
Kakao
|
4.2
|
4.9
|
-0.5
|
Gula
|
2.5.-7.5
|
-1.1
|
-(1.8 – 4.4)
|
Sumber :
Pasquali (1995), Devados dan Kroft (1998), Susila et al. (2000); Elbehri et
al., (2000)
Dampak secara global dari
liberalisasi perdagangan adalah kenaikan harga produk perkebunan dan dampak
yang bervariasi untuk produksi, konsumsi, dan perdagangan. Dampak positif juga cendrung tidak terdistribusi secara merata. Beberapa negara memperoleh manfaat positif
yang lebih besar. Negara produsen yang
efisien cendrung memperoleh manfaat positif yang lebih besar. Di sisi lain, negara net-importir cenderung mengalami kerugisn
sebagai akibat liberalisasi perdagangan.
Mengidentifikasi komitmen
liberalisasi perdagangan yang berkaitan dengan perkebunan, Indonesia secara
umum diperkirakan memperoleh manfaat bersih (net benefit) dari
implementasi liberelisasi perdagangan tersebut.
Indonesia tidak mempunyai kekhawatiran dengan komitmen bantuan
domestik. Berbagai bentuk subsidi,
seperti subsidi pupuk dan kredit sudah hampir seluruhnya dihapuskan, khususnya
untuk tanaman perkebunan. Subsektor perkebunan juga tidak mendapat dukungan
harga dalam bentuk harga dasar atau harga minimum.
Terhadap
komitmen akses pasar yang mencakup tarifikasi, penurunan tarif, dan akses
minimum, Indonesia juga tampaknya tidak akan menghadapi masalah yang
berarti. Bahkan untuk kasus gula,
Indonesia bahkan menerapkan tarif impor sebesar 25 persen, padahal komitmen binding
tariff-nya adalah 95 persen.
Indonesia pada dasarnya siap menurunkan tarif impor untuk komoditas
perkebunan menjadi sekitar 40 - 60
persen. Hal yang sama juga berlaku untuk subsidi ekspor, karena tidak ada komodias
perkebunan Indonesia yang diekspor dengan subsidi. Untuk kasus ekspor CPO, kebijakan pemerintah
Indonesia bahkan sebaliknya yaitu mengenakan pajak ekspor.
Satu-satunya komitmen yang masih menjadi masalah bagi
Indonesia adalah komitmen sanitasi dan fitosanitasi. Seperti disepakati, setiap negara diijinkan
membuat standar tersendiri yang berkaitan dengan komitmen tersebut, sepanjang
tidak berlebihan. Pada kenyataannya, negara-negara importir yang umumnya adalah
negara maju sering menggunakan komitmen tersebut untuk menghampat impor produk
perkebunan dari negara berkembang, termasuk Indonesia.
Beberapa
hasil studi mendukung perkiraan tersebut.
Sebagai contoh, lebih dari 80% dampak dalam bentuk peluang pasar sebagai
akibat liberalisasi perdagangan minyak nabati akan dinikmati oleh produsen
minyak sawit dimana Malaysia dan Indonesia sebagai pemain utama
(Pasquali,1995); Susila et al. 2000). Untuk kakao, 8%-10% dampak
perluasan pasar sebagai akibat liberalisasi perdagangan akan dapat dimanfaatkan
Indonesia. Realisasi dari dampak positif tersebut tentunya sangat bergantung
pada kemampuan Indonesia mensiasati komitmen sanitasi dan fitosanitasi serta
berbagai kebijakan yang dapat memperkuat daya saing komoditas perkebunan
Indonesia. Di samping itu, berbagai persiapan untuk Putaran Doha (Doha Round)
yang akan dimulai tahun 2004 juga menentukan kinerja subsektor perkebunan
Indonesia di masa mendatang.
Suatu catatan menarik selama negosiasi Putaran Uruguay, Indonesia dikenal
mempunyai dua kelemahan yaitu penguasaan substansi dan kemampuan
negosiasi/lobi. Para negosiator
Indonesia kurang dibekali data dan analisis yang memadai untuk melakukan
negosiasi sehingga komitmen-komitmen yang disepakati belum memberi manfaat yang
optimal bagi Indonesia. Sebagai contoh,
banyak komitmen Indonesia yang penentuan binding tariff-nya terlalu
tinggi, sehingga terkesan over-protective. Hal ini akan mengurangi bargaining
position Indonesia untuk menekan negara lain untuk melakukan liberalisasi.
Kemampauan para negosiator Indonesia juga diperkirakan masih tetingal dari
negara-negara lain, khususnya negara maju.
Isu liberalisasi perdagangan akan terus bergulir dan perlu direspon secara
tepat. Pada awalnya, liberalisasi perdagangan dimaksudkan untuk mening-katkan efisiensi
dan sekaligus untuk mewujudkan suatu tatanan perdagangan yang lebih adil. Sampai dengan akhir tahun 1980-an, tingkat
distorsi perdagangan dan industri sudah demikian mengkhawatirkan sehingga telah
menimbulkan kerugian secara global (social loss) yang demkian besar.
Berbagai putaran pertemuan sudah dilakukan untuk mengkoreksi distorsi tersebut,
sampai dengan ditandatangani Putaran Uruguay yang selanjutnya akan diperbaharui
melalui Putaran Doha.
Berbagai
kepentingan, khususnya aspek sosial dan politik telah membuat upaya peningkatan
efisiensi perdagangan dan industri serta menciptakan tatanan perdagangan yang
lebih adil, belum dapat sepenuhnya terwujud.
Walaupun berbagai komitmen telah disepakati melalui Putaran Uruguay,
berbagai upaya untuk melindungi kepentingan masing-masing negara masih tetap
berjalan, walau dengan intensitas yang menurun.
Dengan tingkat distorsi, komitmen, serta konsistensi dalam implementasi
yang bervariasi antara komiditi perkebunan dan antara negara, dampak dari
liberalisasi perdagangan juga bervariasi antar komoditi perkebunan dan negara.
Secara umum, pelaksanaan liberalisasi perdagangan akan meningkatkan harga. Dampak terhadap produksi, konsumsi, dan
perdagangan bervariasi tergantung komodtas. Negara produsen yang efisien akan
memeroleh manfaat yang lebuh besar, sedangkan negara net-importir akan
menderita kerugian akibat liberalisasi perdagangan.
Secara umum, Indonesia
diperkirakan akan memperoleh net benefit dari implementasi liberalisasi
perdagangan untuk komoditas perkebunan, dengan beberapa persyaratan berikut :
R Negara pesaing dan
negara importir utama komoditas perkebunan menerapkan komitmennya secara
konsisten;
R Indonesia dapat berperan
untuk mendorong negara tersebut melaksanakan komitmennya dengan cara Indonesia membuka akses yang lebih besar
(penurunan binding tariff) untuk komoditas perkebunan Indonesia yang kompetitif;
R Indonesia mampu mensiasati
dan melakukan lobi untuk masalah yang berkaitan dengan komitmen sanitasi dan
fitosanitasi. Upaya ini juga perlu
diikuti oleh perbaikan mutu komoditas perkebunan Indonesia.
R Indonesia menerapkan
kebijakan yang mendukung daya saing dan dilaksanakan secara konsisten (tidak
berubah-ubah dalam waktu yang singkat).
R Pemerintah
melakukan persiapan yang matang untuk Putaran Doha, baik itu substansi maupun
para negosiator.
DAFTAR
PUSTAKA
Anonim.
(1994). Uruguay Round,
Schedule XXI ‑ Indonesia,
Republik Indonesia.
Devadoss, S dan Kropf, J. 1996. ‘Impacts of
trade liberalizations under the Uruguay Round on the world sugar market, Agricultutal Economics, 15: 83-96
Elbehri,
A., Hertel, T., Ingco, M., and Pearson, K. R. (2000). Partial liberalization of
the world sugar market: a general equilibrium analysis of tariff-Rate quota
regimes, Paper presented as selected paper at The Annual Conference on
Global Economic Analysis, June 28-30, 2000, Melbourne, Australia.
Noble, J. 1997. The European sugar
policy to 2001; World Sugar and Sweetener Yearbook 1996/1997, D13-DA21.
Pasquali, M.
(1995). The changing world trade environment in the oil seeds, oils, and oil
meals sector with specific reference to the Asia
and Pacific Region, Expert Consultation on The Changing World Trade Environment
in the Oil Seeds and Products
Susila, W. R. (2000). ‘Dampak Putaran
Uruguay terhadap perdagangan komoditas kopi, kakao, dan minyak sawit’,
Karmawati, E. et al. (eds), Prosiding Simposium III, Penerapan Iptek untuk
Meningkatkan Daya Saing Industri Perkebunan Indonesia, Puslitbang Tanaman
Perkebunan dan APPI.
Susila, W.R. 2001. Liberalisasi Perdagangan
Gula: Sebuah Ilusi, Tinjauan Komoditas Perkebunan 1(2):118-121.
Warley,
T. K. (1989). ‘Agriculture in the GATT: past and future ‘, In a. Maunder dan
Valdes (eds.), Agriculture and Government in Interdependent World,
Darthmouth.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar