Oleh
Khairil Anwar, SE, M.Si
ABSTRACT
The aim of this research is to recognize the income variable, the economic activity, and the family size determination, also differences of society living against poor society’s consumption in North Aceh Regency. The Method that used to analyze the data is Multiple Linear Regression model, specified in Least Square Dummy Variable (LSDV) method.
The data which used in this research is cross-section data, collected from questioner. The observation attended on 180 families that divided equally in three clusters; coastal area, hinterland, and urban. The sample decision was notified in two stage clusters, on the first level was notified 12 districts from 22 districts, on the second level was notified 2 villages from each 12 district, and for a village in a district was notified 15 families which was determined by judgment sampling.
The estimation result found that all of independent variable positive significantly influenced the food consumption. Otherwise, the negative ones significantly influenced the non-food consumption outcome. The estimation result also found that the level of consumption for many kinds of urban food was fewer than hinterland society food consumption about Rp.12.046,94. However, the urban consumption more excessively than coastal area society about Rp.13.238,54. While the level of consumption outcome for many kinds of non-food urban consumption larger than non-food hinterland consumption about Rp.57.045,73. Also larger than non-food coastal society consumption about Rp.31.760,25. The variation of independent variable capability to explain the food consumption about 92,5% and non-food consumption outcome about 87,4%. The specification models were appropriated which the model free of multicollinierity and Heteroscedasticity classic assumption collision.
Keywords: social-economy, poverty, consumption, income
PENDAHULUAN
Konflik berkepanjangan, krisis ekonomi ditambah lagi dengan bencana alam gempa dan tsunami membuat masyarakat Aceh tenggelam dalam penderitaan berkepanjangan. Bencana alam gempa dan tsunami yang melanda Aceh telah meluluhlantakkan berbagai sektor perekonomian Aceh. Pasca tsunami, banyak lahan-lahan pertanian di pantai barat Aceh yang telah menjadi laut, padahal selama sebelum tsunami produksi lahan-lahan pertanian tersebut dapat mencukupi kebutuhan masyarakat di sekitarnya. Pemerintah telah merencanakan untuk memperbaiki sekitar 17.400 hektar lahan pertanian yang rusak berat akibat endapan lumpur bergaram yang dibawa gelombang tsunami, hal ini tentu saja memerlukan waktu yang cukup lama. Apalagi dibeberapa daerah ada sekitar 2.900 lahan pertanian hilang sama sekali ditelan laut.
Lumpuhnya perekonomian Aceh yang ditimbulkan bencana gempa dan tsunami, ternyata telah menyebabkan jumlah penduduk miskin diperkirakan bertambah satu juta jiwa. Bila pada tahun 2004 jumlah penduduk miskin di NAD sebanyak 1,1 juta jiwa, realitasnya pada saat sekarang ini telah melampaui 2 juta jiwa. Oleh karenanya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan sosial, diperlukan adanya kebijakan-kebijakan yang dapat mengurangi angka kemiskinan. Hal ini disebabkan tingkat pengagguran yang tetap tinggi yaitu 9,8%, sedangkan tingkat kemiskinan bisa mencapai 16,6%. Sedangkan penyerapan tenaga kerja sangat tergantung pada pertumbuhan ekonomi pada tahun 2005 yang diperkirakan hanya 5,3% dan tingkat inflasi 7,5% (Kompas, 26 Januari 2005).
Kajian tentang kemiskinan telah banyak dilakukan oleh para ahli antara lain Keban (1995), Masbar (1996), Levinsohn et.al (1999), Suharyadi et.al (2000), Asra (2000) dan banyak peneliti lainnya yang menyoroti masalah kemiskinan. Berbagai isu yang menyangkut masalah kemiskinan disampaikan, mulai dari sebab-sebab kemiskinan, perangkap kemiskinan, kondisi sosial, pendidikan, kesehatan masyarakat miskin, sampai kepada strategi penganggulangan kemiskinan.
Suparlan (1984), De Vos (1991) juga memberikan pengertian kemiskinan berdasarkan beberapa pendekatan, yaitu batasan secara absolut dan batasan relatif. Kemiskinan secara absolut (Husen, 1993; Syahril, 1992) memberikan pengertian keadaan seseorang dalam pemenuhan kebutuhan minimum untuk hidup tanpa melihat kondisi lingkungan masyarakat. Sedangkan pengertian kemiskinan relatif (Suparta, 2003) memberikan pengertian keadaan seseorang bila dibandingkan dengan kondisi masyarakatnya sering berpindah‑pindah lapangan pekerjaan dan sebahagian besar pendapatannya.
Dari segi sosial, kemiskinan penduduk dapat juga disebutkan sebagai suatu kondisi sosial yang sangat rendah, seperti penyediaan fasilitas kesehatan yang tidak mencukupi dan penerangan yang minim (Sumardi dan Dieter, 1985). Kondisi sosial lain dari penduduk miskin biasanya dicirikan oleh keadaan rumah tangga dimana jumlah anggota keluarga banyak, tingkat pendidikan kepala rumah tangga dan anggota rumah tangga rendah, dan umumnya rumah tersebut berada di pedesaan (BPS, 2002).
Langkah‑langkah penanggulangan kemiskinan dapat didekati dari dua sisi (Darma, 2003); Pertama, meningkatkan pendapatan melalui peningkatan produktivitas. Sisi ini memberi peluang dan perlindungan kepada masyarakat miskin yang berkemampuan dalam pengelolaan potensi yang ada untuk mendapatkan hasil yang lebih baik dalam berbagai kegiatan ekonomi, sosial budaya, dan politik; Kedua, mengurangi pengeluaran melalui minimalisasi beban kebutuhan dasar yang kurang perlu seperti tembakau (rokok), dan lainnya dan mempermudah akses untuk pendidikan, kesehatan, dan lainnya yang mendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat miskin.
Kabupaten Aceh Utara, dengan jumlah penduduk pada tahun 2006 mencapai 502.288 jiwa yang tersebar di 850 desa yang berada dalam 22 kecamatan (BPS Aceh Utara, 2007) merupakan kawasan yang sejak tahun 1984 telah dicanangkan sebagai kawasan investasi terutama sektor industri (zona industri). Pencanangan kabupaten ini sebagai zona industri merupakan upaya pengembangan sektor industri yang tidak terlepas dengan sektor pertanian, artinya pengembangan sektor industri tetap berbasis pada sektor pertanian. Namun pemanfaatan sumberdaya daerah yang dimiliki tersebut masih mengalami banyak kendala. Selain disebabkan oleh masih minimnya informasi tentang potensi daerah yang dapat dikembangkan, juga belum terciptanya iklim investasi yang memadai, terutama dalam penyediaan infrastruktur, disamping kestabilan politik dan keamanan yang rentan oleh berbagai gangguan.
MODEL ANALISIS
Kajian sosial ekonomi menitikberatkan pada kondisi sosial ekonomi yang diperlihatkan dari pengeluaran konsumsi masyarakat miskin. Estimasi berbagai jenis pengeluaran konsumsi (K) pada penelitian yang akan dilakukan ini digunakan metode OLS (Ordinary Least Square) dengan model regresi linear berganda yang diadopsi dari model Kautsoyiannis (1977), Domowitz dan Elbadawi (1987), Nachrowi dan Usman (2002), Lains (2006) yaitu:
Selanjutnya memasukkan variabel boneka ke dalam model penelitian, yang disebut model LSDV (Least Square Dummy Variabel). Menurut Kuncoro (2004) model LSDV ini mengenali variasi yang tidak konstan dengan cara yang relatif sederhana. Model ini menangkap variasi yang unik dalam suatu intersep yang bervariasi dari satu tempat ke tempat yang lain maupun unik dalam waktu.
Dengan mensubstitusi pengeluaran konsumsi makanan (KY) dan konsumsi bukan makanan (KZ) sebagai dependen variabel dan variabel independen serta variabel boneka (D) ke dalam model, maka didapat model penelitian ini sebagai berikut:
Model 1:
Model 2:
Dimana:
KY = Pengeluaran konsumsi berbagai jenis makanan (diukur dalam satuan rupiah).
KZ = Pengeluaran konsumsi bukan makanan (diukur dalam satuan rupiah).
PDPT = Pendapatan rumah tangga (diukur dalam satuan rupiah).
AKE = Aktivitas ekonomi kepala keluarga (diukur dalam satuan jam kerja).
ART = Jumlah anggota rumah tangga (diukur dalam satuan orang).
D1 = Variabel dummi untuk lokasi tempat tinggal di desa pesisir; diberi kode 1 untuk observasi 1-60, sedang daerah lain diberi kode 0.
D2 = Variabel dummi untuk lokasi tempat tinggal di desa pedalaman; diberi kode 1 untuk observasi 61-120, sedang daerah lain diberi kode 0.
b0 = Intersep (konstanta).
b1 – b3 = Parameter regresi.
m = Kesalahan pengganggu (disturbance)
Sementara itu, untuk daerah tempat tinggal di desa perkotaan (observasi 121-180) tidak dimasukkan ke dalam model. Hal ini sesuai dengan (Kuncoro, 2004) yang menyebutkan cara menyusun variabel boneka adalah jumlah kategori dikurangi satu. Karena dalam penelitian ini ada 3 lokasi tempat tinggal (variabel boneka) maka jumlah variabel boneka dalam penelitian ini adalah 3-1=2. Karena dalam model yang digunakan memasukkan intersep, maka kategori yang dihilangkan menjadi dasar atau benchmark sebagai pembanding lokasi tempat tinggal lainnya. Dalam penelitian ini yang menjadi benchmark adalah daerah tempat tinggal di desa perkotaan, sehingga untuk lokasi tempat tinggal ini seluruhnya diberi kode 0.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Sosial Ekonomi
Kondisi sosial ekonomi masyarakat masyarakat Aceh Utara yang dijadikan sampel penelitian ini meliputi; umur kepala rumah tangga, jenis kelamin, status perkawinannya, pekerjaan (utama dan sampingan), pendapatan, bahkan sampai kepada kondisi rumah yang digunakan sebagai tempat tinggal. Gambaran tentang kondisi sosial ekonomi masyarakat miskin yang dijadikan sampel penelitian ini akan dibahas per karakter. Sehingga diharapkan akan didapat suatu gambaran komprehensif tentang kehidupan masyarakat miskin di Kabupaten Aceh Utara.
- Umur
Ditinjau dari karakteristik umur responden (kepala keluarga) yang paling banyak dijumpai adalah responden dengan umur 35 tahun dengan frekuensi 20 orang (11,1%), di bawahnya umur 40 dan 50 tahun masing-masing mempunyai frekuensi 18 orang (10%), kelompok lain yang relatif banyak dijumpai pada umur 45 tahun dengan frekuensi 13 orang (7,2%). Sementara untuk kelompok umur lainnya berkisar antara 0,6 sampai 5 persen.
Umur responden yang tua dijumpai pada umur 76 tahun, bapak dari 8 orang anak yang tinggal di Keude Panton Labu, Kecamatan Tanah Jambo Aye yang masuk dalam cluster perkotaan. Selain bekerja sebagai petani padi sawah, responden ini juga bekerja pada sektor jasa yaitu sebagai agen penjual sepeda motor bekas.
Sementara untuk responden yang paling muda dijumpai pada umur 26 tahun. Responden ini berjenis kelamin laki-laki, sudah menikah, dan telah mempunyai seorang anak yang baru berumur 3 tahun. Walaupun tamatan SMA namun responden ini hanya bekerja sebagai petani padi sawah, dan juga sebagai buruh bangunan, dengan pendapatan Rp.300.000 dari pekerjaan utama, dan Rp.500.000 dari pekerjaan sampingan.
- Jenis Kelamin dan Status Perkawinan
Ditinjau dari segi jenis kelamin kepala keluarga sampel penelitian, dijumpai 122 orang (67,8%) responden berjenis kelamin laki-laki, dan sisanya sebanyak 58 orang (32,2%) berjenis kelamin perempuan. Data lengkap mengenai jenis kelamin dan status perkawinan kepala keluarga sampel sebagaimana ditampilkan pada tabel 4.13 di bawah ini.
Dari 58 responden perempuan tersebut seluruhnya berstatus janda, baik yang meninggal suami karena kematian, maupun karena perceraian. Beberapa sebab kematian suami (selain karena kewajaran dan penyakit), menjadi korban konflik (dibunuh), juga ada sebagian masyarakat yang tinggal di pesisir karena menjadi korban bencana Tsunami 26 Desember 2004 silam. Sementara dari 122 responden laki-laki, 3 orang (1,7%) diantaranya berstatus duda, dan 119 orang (66,1%) berstatus sudah menikah.
- Pendidikan
Di lihat dari segi pendidikan, mayoritas kepala keluarga tidak pernah sekolah formal ataupun sekolah tetapi tidak tamat SD yang mencapai 62 orang (34,4%), namun sebagian dari mereka ini ada yang mendapat pendidikan non-formal dari pesantren-pesantren yang memang banyak dijumpai di Aceh khususnya Aceh Utara.
Sementara bagi responden yang pernah mengikuti pendidikan formal dapat diklasifikasikan; menamatkan pendidikan pada Sekolah Dasar (termasuk Madrasah Ibtidaiyah) sebanyak 57 orang (31,7%), menamatkan pendidikan pada Sekolah Menengah Pertama (termasuk Madrasah Tsanawiyah) sebanyak 51 orang (28,3%), dan yang berhasil menamatkan pendidikan pada Sekolah Menengah Atas (termasuk Madrasah Aliyah) hanya 10 orang (5,6%).
Kenyataan ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan kepala keluarga di Aceh Utara masih sangat rendah. Namun demikian ada hal positif bila dilihat dari segi rata-rata pendidikan anak. Sebagaimana data pada tabel 4.14 bahwa adanya perbedaan mencolok antara pendidikan orang tua dengan pendidikan anak, dimana pada pendidikan anak terlihat adanya perbaikan.
Dari 180 responden, 38 orang (21,1%) memiliki rata-rata pendidikan anak telah menamatkan SMA/MA, 53 orang (29,4%) memiliki anak yang telah menamatkan SMP/MTs, 63 orang (35%) memiliki anak yang rata-rata baru tamat SD/MI, dan 13 orang (7,2%) memiliki anak yang tidak sekolah/belum masuk sekolah. Hasil output (lampiran 3) memeperlihatkan ada 13 data yang missing, hal ini disebabkan ada 13 orang (7,2%) yang tidak memilik anak, sehingga tidak member jawaban pada kuisioner yang disediakan.
- Pekerjaan
Dalam penelitian ini penulis mencoba mengklasifikasikan jenis pekerjaan secara lebih spesifik. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi kemungkinan bias dalam pendapatan pada bidang pekerjaan yang sama. Misalnya pekerjaan buruh, pendugaannya ada kemungkinan bahwa antara buruh bangunan dengan buruh industry, atau buruh industry rumah tangga mempunyai perbedaan dari segi pendapatan.
Pertimbangan lain yang mendasari identifikasi karakteristik pekerjaan responden secara spesifik melihat perkembangan di beberapa Negara (yang lebih maju) mengidentifikasi pekerjaan secara spesifik (misalnya; sopir taxi), sementara di Indonesia, termasuk Aceh dan Aceh Utara, kebanyakan penduduknya diidentifikasi secara umum (misalnya; wiraswasta). Padahal kalau diamati perbedaan antara satu orang wiraswasta dengan wiraswasta lainnya sangat besar (bahkan orang yang tidak mempunyai pekerjaan sama sekali juga menyebut dirinya wiraswasta).
Ditinjau dari segi pekerjaan utama yang digeluti responden; yang paling banyak dijumpai bekerja sebagai petani padi sawah yang mencapai 50 orang (27,8%), jenis pekerjaan ini terutama digeluti oleh masyarakat yang tinggal di pedalaman dan juga sebagian di pinggiran perkotaan. Jenis pekerjaan utama lain yang banyak digeluti oleh masyarakat adalah sebagai nelayan yang mencapai 37 orang (20,6%), didominasi oleh penduduk yang tinggal di wilayah pesisir Aceh Utara.
Bagi masyarakat miskin yang tinggal di perkotaan, lebih banyak bekerja pada sektor jasa salah satunya sebagai pedagang kios yang mencapai 22 orang (12,2%). Sisanya mempunyai pekerjaan yang beranekaragam, yang dikelompokkan dalam sektor pertanian, perkebunan, industri, maupun sektor jasa-jasa. Sebagaimana data pada tabel 4.15 terdapat responden yang menjawab “pekerjaan lainnya” yang mencapai 11 orang (6,1%), hal ini disebabkan jenis pekerjaan yang digeluti sangat spesifik. Hasil penelitian menjumpai beberapa jenis pekerjaan yang termasuk dalam pekerjaan lainnya, yaitu; tukang reparasi jam, tukang pangkas, agen sepeda motor, penjual ikan keliling (mugee), juru masak pada warung nasi, petani perkebunan pinang, petani perkebunan kelapa, bahkan pekerjaan penjaga sekolah. Tabel 4.15 menunjukkan karakteristik responden berdasarkan jenis pekerjaan utama dan pekerjaan sampingan.
Dari 180 responden yang diobservasi, 60 orang (33,3%) diantaranya tidak memiliki pekerjaan sampingan. Sisanya 120 orang (66,7%) memiliki berbagai jenis pekerjaan sampingan. Untuk jenis “pekerjaan lainnya” pada pekerjaan sampingan responden, selain yang telah disebutkan sebelumnya; termasuk penganyam tikar pandan, pembuat batu bata, buruh galian C, dan juga buruh bongkar muat barang.
- Rata-rata Waktu Kerja
Dari segi waktu yang digunakan untuk bekerja, yang paling banyak dijumpai bekerja 210 jam per bulan atau bila dikonversi dalam bentuk mingguan mencapai 52,5 jam per minggu dengan frekuensi 50 orang (27,8%), bekerja sampai 60 jam per minggu sebanyak 43 orang (23,9%), yang membutuhkan waktu kerja paling banyak yaitu 67,5 jam per minggu sebanyak 8 orang (4,4%), rata-rata masyarakat yang membutuhkan waktu kerja lama ini, selain bekerja pada pekerjaan utama juga memiliki pekerjaan sampingan. Waktu kerja yang paling sedikit digunakan yaitu 90 jam per bulan atau 22,5 jam per minggu sebanyak 6 orang (3,3%), pada umumnya kelompok ini bekerja sebagai petani padi sawah yang tidak memiliki pekerjaan sampingan, terutama kaum perempuan yang sudah tua.
- Jumlah Anak dan Tanggungan Keluarga
Kondisi sosial lainnya ditinjau dari jumlah anak dan jumlah tanggungan keluarga. Hasil penelitian dijumpai 13 orang (7,3%) tidak memiliki anak, yang diidentifikasi berstatus janda. Jumlah anak yang paling banyak yaitu 8 dan 7 orang anak hanya dijumpai pada masing-masing 1 rumah tangga (0,6%). Sementara untuk anak 1 sampai 3 orang masing-masing dijumpai 43 orang (23,9%), 52 orang (28,9%), dan 37 orang (20,6%).
Jumlah tanggungan keluarga atau ukuran keluarga (family size) disini di definisikan sebagai jumlah orang dalam satu keluarga yang terdiri dari; kepala keluarga, istri, dan anak, serta orang lain yang turut serta dalam keluarga. Sebagaimana ditampilkan pada tabel 4.18 di atas, jumlah tanggungan keluarga paling besar yaitu 9 orang hanya dijumpai pada 1 (0,6%) keluarga yang diobservasi. Mayoritas tanggungan keluarga 3 dan 4 orang yang dijumpai pada masing-masing 44 keluarga (24,4%) dan 43 keluarga (23,9%). Sisanya mempunyai tanggungan 1, 2, 5, 6, 7, dan 8 orang tanggungan keluarga.
- Kondisi Rumah Tempat Tinggal
Belum lengkap rasanya bila melihat kondisi sosial masyarakat miskin di Aceh Utara tanpa melihat kondisi rumah tempat tinggal. Sebagian besar rumah masyarakat miskin yang dijumpai sudah sangat memprihatinkan dan masuk dalam kriteria tidak layak huni. Untuk menilai kondisi rumah tempat tinggal keluarga masyarakat miskin dalam penelitian ini, diajukan 11 aspek pertanyaan, namun pada tabel 1 di bawah ini hanya ditampilkan 6 aspek saja.
Aspek pertama dan kedua yang dinilai adalah luas rumah dan dinding rumah, rata-rata keluarga miskin di Kabupaten Aceh Utara yang paling kecil 4 x 5 m, sedangkan rumah yang paling besar mempunyai luas 6 x 9 m. Jumlah rumah yang paling banyak dijumpai mempunyai luas 6 x 6 m yaitu 50 rumah (27,8%), dan yang paling sedikit ditemukan rumah dengan ukuran luas 4 x 6 m dengan frekuensi 6 rumah (3,3%). Rata-rata dinding rumah terbuat dari papan tanpa ketam yang mencapai 110 rumah (61,1%), dan juga yang terbuat dari tepas bambu maupun dari pelepah rumbia sebanyak 32 rumah (17,8%).
Tabel 1. Kondisi Rumah Tempat Tinggal Keluarga
No
|
Karakteristik
|
Frekuensi
|
Persentasi
|
1
|
Luas rumah
- 4x5 m
- 6x7 m
- 6x8 m
- 6x9 m
- 4x7 m
- 6x6 m
- 4x6 m
Sub Total
|
28
32
32
13
19
50
6
180
|
15.6
17.8
17.8
7.2
10.6
27.8
3.3
100,0
|
2
|
Dinding rumah
- Tepas/pelepah rumbia
- Papan tanpa ketam
- Papan ketam
- Semi permanen
Sub Total
|
32
110
23
15
180
|
17,8
61,1
12,8
8,3
100,0
|
3
|
Lantai rumah
- Tanah
- Panggung
- Semen
Sub Total
|
55
54
71
180
|
30,6
30,0
39,4
100,0
|
4
|
Atap rumah
- Daun rumbia/nipah
- Seng
Sub Total
|
95
85
180
|
52,8
47,2
100,0
|
5
|
Status Kepemilikan
- Milik Sendiri
- Sewa/Kontrakan
- Pinjam pakai/numpang
Sub Total
|
150
16
14
180
|
83,3
8,9
7,8
100,0
|
6
|
Sumber Air Bersih
- Sumur
- Sungai/kali
- PDAM
Sub Total
|
132
17
31
180
|
73,3
9,4
17,2
100,0
|
Sumber: Data Primer (diolah) 2008
Aspek selanjutnya yang dinilai adalah lantai rumah, pada aspek ini dijumpai 55 rumah (30,6%) berlantai tanah, 54 rumah (30%) berlantai panggung (terutama papan), dan 71 rumah (39,4%) berlantai semen yang sebagian halus dan sebagian besar semen kasar. Selanjutnya atap rumah, yang beratap daun rumbia atau daun nipah sebanyak 95 rumah (52,8%), dan sisanya sebanyak 85 rumah (47,2%) beratap seng.
Dari segi jumlah kamar tidur, kebanyakan rumah yang diobservasi memiliki 2 kamar tidur, dengan frekuensi 117 rumah (65%), yang memiliki hanya 1 kamar tidur sebanyak 43 rumah (23,9%), dan sisanya rumah yang memiliki 3 kamar tidur sebanyak 20 rumah (11,1%). Dari aspek luas pekarangan, yang paling banyak dijumpai rumah yang memiliki pekarangan 10 x 12 m yang mencapai 40 rumah (22,2%), diikuti oleh rumah yang memiliki pekarangan 7 x 8 m dan 8 x 12 m dengan frekuensi masing-masing 33 rumah (18,3%) dan 24 rumah (13,3%). Sementara rumah dengan luas pekarangan lainnya masing-masing di bawah 10 persen.
Dari aspek kepemilikan rumah, kebanyakan merupakan milik sendiri yang di dapat dari usahanya maupun sebagai harta warisan dari orang tua ataupun suami. Jumlah rumah yang berstatus milik sendiri mencapai 150 rumah (83,3%), rumah ini mayoritas merupakan milik masyarakat yang tinggal di kawasan pesisir maupun pedalaman Aceh Utara. Selain itu juga dijumpai 16 rumah (8,9%) yang berstatus sewa/kontrakan, dan sisanya 14 rumah (7,8%) merupakan rumah yang ditempati dengan status pinjam pakai/numpang pakai.
Demikian juga dengan aspek sumber air bersih untuk keperluan minum dan mandi keluarga. Sebagian besar rumah tangga yang di observasi mengambil air bersih bersumber dari sumur, yakni 132 rumah (73,3%), sebagian lagi bersumber utama dari sungai/kali dengan frekuensi 17 rumah (9,4%), rumah tangga yang menggunakan sumber air bersih dari sungai/kali kebanyakan ditemukan di Gampong Krueng Lingka Kecamatan Langkahan, disebabkan letak desa yang dikelilingi oleh sungai. Sisanya hanya sebanyak 31 rumah tangga (17,2%) masyarakat miskin yang telah memiliki jaringan air bersih dari PDAM Tirta Mon Pasee. Aspek lain dari MCK adalah jamban/WC, sebagian besar rumah masyarakat miskin yang diobservasi di Kabupaten Aceh Utara memiliki jamban/WC di luar rumah dengan frekuensi 136 rumah (75,6%), dan yang memiliki jamban/WC di dalam rumah hanya 23 rumah (12,8%) terutama rumah-rumah yang berada di perkotaan. Sisanya sebanyak 21 rumah (11,7%) malah tidak memiliki jamban/WC keluarga.
Selanjutnya untuk menilai kondisi sosial ekonomi masyarakat miskin di Aceh Utara juga dinilai perabotan rumah tangga dan fasilitas transportasi yang dimiliki keluarga. Berdasarkan hasil penelitian dijumpai 121 rumah tangga (67,2%) memiliki Televisi (TV) berbagai ukuran, sisanya sebanyak 59 rumah tangga (32,8%) tidak memiliki perabotan elektronik apapun. Sementara dari segi fasilitas transportasi yang dimiliki, 40 rumah tangga (22,2%) memiliki sepeda motor (termasuk yang digunakan untuk ojek sepeda motor dan becak), 74 rumah tangga (41,1%) hanya memiliki sepeda, selebihnya sebanyak 66 rumah tangga (36,7%) tidak memiliki fasilitas transportasi apapun.
Estimasi Model Penelitian
Estimasi untuk mengetahui pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat dilakukan dengan menggunakan model regresi linier berganda, dan secara spesifik untuk menjawab tujuan penelitian yang dirumuskan pada bab-bab sebelumnya yaitu melihat perbedaan pengeluaran konsumsi (makanan dan bukan makanan) masyarakat miskin di Kabupaten Aceh Utara juga digunakan model Least Square Dummy Variabel (LSDV). Dimana dengan penggunaan model ini diharapkan akan menunjukkan ada atau tidak perbedaan konsumsi masyarakat miskin antara yang tinggal di wilayah pesisir dan pedalaman dengan masyarakat miskin yang tinggal di perkotaan Kabupaten Aceh Utara.
- Model Konsumsi Makanan
Sebagaimana rumusan model regresi linier berganda dengan memasukkan Least Square Dummy Variabel (LSDV) dengan variabel dependen konsumsi berbagai jenis makanan. Hasil estimasi terhadap model, dijumpai:
Tabel 2. Hasil Estimasi Model Konsumsi Makanan
Variabel
|
Koefisien
|
Standar Error
|
t-hitung
|
Signifikansi
|
Konstanta
PDPT
AKE
ART
D1
D2
|
-22499,396
0,598
192,136
9334,887
9260,854
34546,336
|
15802,460
0,025
89,284
3233,346
8985,870
9089,992
|
-1,424
23,845
2,152
2,887
1,031
3,800
|
0,156
0,000
0,033
0,004
0,304
0,000
|
Sumber: Hasil Estimasi (diolah), 2008
Dengan mensubstitusikan hasil estimasi pada tabel 4.25 di atas, maka model konsumsi berbagai jenis bahan makanan dalam penelitian ini dijumpai sebagai berikut:
KY = -22499,396 + 0,598(PDPT) + 192,136(AKE) + 9334,887(ART) +
(23,845)*** (2,152)** (2,887)***
9260,854(D1) + 34546,336(D2)
(1,031) (3,800)***
Keterangan: )*** signifikan pada α = 0,01
)** signifikan pada α = 0,05
)* signifikan pada α = 0,10
Berdasarkan model tersebut dijumpai besarnya nilai konstanta -22499,396 berarti bahwa dengan asumsi variabel lain tidak ada (nol), besarnya konsumsi berbagai jenis bahan makanan masyarakat perkotaan lebih kecil dari konsumsi makanan masyarakat pedalaman Rp.12.046,94. Namum lebih besar dari konsumsi bahan makanan masyarakat pesisir sebesar Rp.13.238,54. Konsumsi makanan masyarakat pedalaman sebesar Rp.34.546,34. Hal ini mengindikasikan bahwa konsumsi bahan makanan masyarakat perkotaan lebih kecil dibandingkan masyarakat yang tinggal di wilayah pedalaman, namun masih lebih besar dibanding masyarakat pesisir Kabupaten Aceh Utara. Hasil penelitian ini konsisten dengan temuan Keban (1995) tentang penyebab kemiskinan adalah perbedaan letak kabupaten, letak di kota dan didesa, tingkat pendidikan, lapangan pekerjaan dan jumlah anggota keluarga.
Koefisien variabel pendapatan (PDPT) sebesar 0,598 yang berarti bahwa kenaikan pendapatan Rp.1.000 akan meningkatkan pengeluaran konsumsi untuk jenis bahan makanan sebesar Rp.598. Koefisien variabel aktivitas ekonomi (AKE) sebesar 192,136 yang berarti bahwa dengan bertambahnya 1 jam waktu kerja dalam 1 bulan akan menyebabkan bertambahnya pengeluaran konsumsi bahan makanan sebesar Rp.192,14. Demikian halnya dengan anggota rumah tangga (ART) dijumpai koefisien sebesar 9334,887 yang berarti bahwa dengan bertambahnya anggota keluarga 1 orang, akan menambah pengeluaran konsumsi bahan makanan sebesar Rp.9.334,89 yang menyebabkan bertambahnya beban pengeluaran keluarga. Hal ini hampir sama dengan temuan Masbar (1996) yang mengemukakan semakin banyak anggota keluarga, semakin besar pula garis kemiskinannya. Namun demikian tingkat kemiskinan per kapita menjadi lebih rendah karena pendapatan relatif kecil itu dibagi dengan anggota yang lebih banyak.
- Model Pengeluaran Konsumsi Bukan Makanan
Sebagaimana rumusan model regresi linier berganda dengan memasukkan Least Square Dummy Variabel (LSDV) dengan variabel dependen pengeluaran untuk bukan makanan. Hasil estimasi terhadap model, dijumpai:
Tabel 3. Hasil Estimasi Model Pengeluaran Bukan Makanan
Variabel
|
Koefisien
|
Standar Error
|
t-hitung
|
Signifikansi
|
Konstanta
PDPT
AKE
ART
D1
D2
|
22499,396
0,402
-192,136
-9334,887
-9260,854
-34546,336
|
15802,460
0,025
89,284
3233,346
8985,870
9089,992
|
1,424
16,004
-2,152
-2,887
-1,031
-3,800
|
0,156
0,000
0,033
0,004
0,304
0,000
|
Sumber: Hasil Estimasi (diolah), 2008
Dengan mensubstitusikan hasil estimasi pada tabel 4.26 di atas, maka model pengeluaran konsumsi bukan makanan dalam penelitian ini dijumpai sebagai berikut:
KZ = 22499,396 + 0,402(PDPT) – 192,136(AKE) – 9334,887(ART) –
(23,845)*** (-2,152)** (-2,887)***
9260,854(D1) – 34546,336(D2)
(-1,031) (-3,800)***
Berdasarkan model tersebut di atas, dijumpai besarnya nilai konstanta 22499,396 berarti bahwa dengan asumsi variabel lain tidak ada (nol), besarnya pengeluaran konsumsi berbagai jenis bukan makanan masyarakat perkotaan lebih besar dari konsumsi bukan makanan masyarakat pedalaman Rp.57.045,73. Dan juga lebih besar dari konsumsi bukan makanan masyarakat pesisir sebesar Rp.31.760,25. Dengan demikian, pada saat pendapatan, aktivitas ekonomi, dan anggota keluarga tidak ada (nol), konsumsi bukan makanan masyarakat pedalaman berkurang sebesar Rp.34.546,34. Demikian juga dengan konsumsi bukan makanan masyarakat yang tinggal di pesisir, pada saat variabel lain konstan, besarnya pengeluaran bukan makanan masyarakat pesisir berkurang Rp.9260,854. Hal ini mengindikasikan bahwa pengeluaran konsumsi bukan makanan masyarakat perkotaan lebih besar dibandingkan masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dan pedalaman Kabupaten Aceh Utara.
Koefisien variabel pendapatan (PDPT) sebesar 0,402 yang berarti bahwa kenaikan pendapatan Rp. 1.000 akan meningkatkan pengeluaran konsumsi untuk jenis pengeluaran bukan makanan sebesar Rp.402. Koefisien variabel aktivitas ekonomi (AKE) sebesar -192,136 yang berarti bahwa dengan bertambahnya 1 jam waktu kerja dalam 1 bulan justru akan mengurangi pengeluaran konsumsi bukan makanan sebesar Rp.192,14. Demikian halnya dengan anggota rumah tangga (ART) dijumpai koefisien sebesar -9334,887 yang berarti bahwa dengan bertambahnya anggota keluarga 1 orang, justru akan mengurangi pengeluaran konsumsi bukan makanan sebesar Rp. 9.334,89.
KESIMPULAN
Kondisi sosial masyarakat miskin Aceh Utara sangat memprihatinkan, sebagian dari mereka telah berstatus janda pada saat umur relatif masih muda salah satu faktor sebagai ekses dari konflik bersenjata berkepanjangan dan juga akibat terjadinya Tsunami. Dari segi pendidikan juga masih sangat rendah, dimana rata-rata kepala keluarga hanya menamatkan SD/MI, akibatnya mereka hanya bekerja pada sektor primer terutama pertanian, perkebunan, dan kelautan. Sebagian kepala keluarga ini tidak memiliki mata pencarian sampingan, yang menyebabkan tingkat pendapatan yang diterima menjadi terbatas. Padahal ini sangat kontras dengan waktu yang digunakan untuk bekerja, rata-rata waktu bekerja keluarga miskin masih tergolong tinggi dengan rata-rata di atas 45 jam per minggu.
Ukuran keluarga masyarakat miskin tergolong sedang, di wilayah pesisir dan pedalaman rata-rata memiliki 4 orang anak per keluarga, sementara di wilayah perkotaan hanya memiliki 2 orang anak per keluarga. Hal ini tergolong bersifat positif, karena akan mendorong keluarga miskin ini memperhatikan pendidikan bagi anak-anak mereka. Indikasi dengan semakin membaiknya kualitas pendidikan anak dibandingkan orang tua.
Rumah tempat tinggal keluarga miskin tergolong masih memprihatinkan, masih banyak diantaranya merupakan gubuk yang terbuat dari tepas atau juga dari pelepah rumbia yang beratapkan daun, dan umumnya sudah tidak layak huni. Umumnya rumah ini merupakan warisan dari orang tua, yang menunjukkan adanya kemiskinan absolut sebagai warisan kemiskinan dari orang tua yang miskin pada periode sebelumnya. Di kawasan pedalaman masyarakatnya masih memegang teguh adat istiadat, banyak rumah yang dibuat panggung yang mencerminkan rumah budaya masyarakat Aceh. Hal lain yang dapat menunjukkan kondisi memprihatinkan masyarakat miskin adalah dari segi sanitasi, dimana sumber air bersih bagi masyarakat miskin ini berasal dari sumur maupun sungai/kali. Di wilayah pesisir banyak dijumpai rumah yang tidak memiliki jamban/WC keluarga, yang menunjukkan kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan masih sangat kurang.
Kondisi ekonomi masyarakat miskin juga mencerminkan tingkat kemiskinan yang mereka alami, sebagaimana yang telah dikemukakan pada bab hasil, tingkat pengeluaran konsumsi masyarakat miskin lebih besar dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan dasar (basic need) terutama untuk konsumsi beras, ikan, minyak makan, gula, dan tembakau. Sementara untuk kebutuhan non pangan kurang terpenuhi.
Spesifikasi model yang digunakan dalam penelitian ini sudah cukup baik, hal ini telah dibuktikan dengan terbebasnya model dari pelanggaran asumsi klasik. Setelah dilakukan pengujian terhadap variabel-variabel eksplanatori yang digunakan tidak berkorelasi yang kuat satu sama lainnya, selain itu data juga bersifat homokedastis. Kelayakan spesifikasi model juga dibuktikan dengan nilai R-Square kedua model yang cukup tinggi.
Dari model LSDV dapat disimpulkan keunikan model ini dalam menjelaskan perbedaan konsumsi masyarakat miskin yang tinggal di daerah perkotaan dengan masyarakat miskin yang tinggal di wilayah pesisir maupun pedalaman Aceh Utara. Dari model ini dapat disimpulkan bahwa pengeluaran konsumsi masyarakat perkotaan jauh lebih baik dibandingkan dengan pengeluaran konsumsi masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dan pedalaman. Dari segi koefisien regresi, pendapatan kepala rumah tangga tetap menjadi variabel utama yang mempengaruhi pengeluaran konsumsi makanan maupun bukan makanan masyarakat miskin di Kabupaten Aceh Utara.
Hasil regresi ditemukan bahwa pada model konsumsi makanan semua variabel eksplanatori berpengaruh positif dan signifikan, sementara pada model pengeluaran konsumsi bukan semua variabel eksplanatori berpengaruh negatif. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dengan meningkatnya konsumsi makanan, keluarga masyarakat miskin di Aceh Utara terpaksa harus mengurangi dan menunda pengeluaran konsumsi bukan makanan. Penambahan dalam konsumsi erat kaitannya dengan tingkat pendapatan, variabel lain yang turut meningkatkan besarnya konsumsi adalah aktivitas ekonomi dan jumlah anggota rumah, serta wilayah tinggal keluarga miskin tersebut.
Secara statistik, variabel pendapatan, aktivitas ekonomi kepala keluarga, jumlah anggota rumah tangga, dan wilayah tempat tinggal keluarga signifikan mempengaruhi besarnya konsumsi masyarakat miskin, baik dari pengujian secara parsial maupun pengujian secara simultan. Bila dibandingkan dengan pengujian secara parsial, pengaruh variabel-variabel tersebut secara simultan lebih tinggi. Sehingga kesimpulan dari uji inferen statistik menerima hipotesis alternative dan menolak hipotesis null.
IMPLIKASI
Pemerintah daerah perlu melakukan langkah strategis guna menanggulangi masalah sosial ekonomi dan masalah kemiskinan di Aceh Utara, rencana penanggulangan dapat dilakukan dengan proses indentifikasi keluarga miskin absolut dan miskin relatif, memperluas lapangan kerja yang sesuai dengan spesifikasi kemampuan masyarakat miskin, meningkatkan budaya wirausaha masyarakat melalui pemberian modal kerja bagi sektor-sektor produktif.
Pemerintah daerah dan pihak-pihak terkait perlu meningkatkan fasilitas pelayanan publik terutama yang diprioritaskan bagi masyarakat miskin yang berada di wilayah pesisir dan wilayah pedalaman Aceh Utara, diantaranya pemberian kartu miskin secara merata kepada seluruh keluarga miskin yang layak dibantu biaya hidup tunai, layak dibantu modal usaha, dan layak dibantu lapangan kerja. Menambah dan memperbaiki sarana transportasi (seperti; jalan, jembatan, dan sarana tranportasi umum) untuk mempermudah akses keluarga miskin terutama yang berada di wilayah pesisir dan pedalaman dengan pusat pasar dan pusat pemerintahan. Meningkatkan sarana dan kualitas pendidikan (seperti; sekolah, dan peningkatan kualitas guru), dan juga memberikan pelayanan pendidikan gratis kepada anak-anak dari keluarga miskin tidak hanya ditingkat SD/MI tetapi setidaknya juga untuk pendidikan menengah.
Kenyataannya memperlihatkan bahwa efektivitas dari program-program yang dilaksanakan belum optimal. Hal ini disebabkan; (a) masih banyak elemen-elemen penting yang belum lengkap pelibatannya dalam implementasi program, (b) tidak adanya tindak lanjut dan pendampingan, padahal kemampuan masyarakat miskin yang terbatas dalam memahami tujuan program menyebabkan banyak dari bantuan yang disalahgunakan, (c) program-program yang dilaksanakan tidak menyentuh pada akar pemasahan yang dihadapi masyarakat miskin, (d) kurang seriusnya pengelola program dalam melaksanakan setiap program secara tuntas. Karenanya, penurut penulis konsep pemberantasan kemiskinan yang ditawarkan oleh Prof. Raja Masbar (Serambi Indonesia, 13/3/2007) patut untuk dipertimbangkan, terutama masalah identifikasi masyarakat miskin (kelompok miskin). Selain pembinaan dan pendampingan yang menyeluruh dalam membantu meningkatan ekonomi masyarakat miskin.
Salah satu langkah (program) yang dilaksanakan oleh BRR dan juga beberapa NGO yang meluncurkan program Aceh Microfinance (AMF) sudah cukup tepat, hanya saja dalam implementasi dari program harus ada pendampingan kepada masyarakat sasaran, dan kontrol sosial dari semua elemen. Walaupun kesannya terlambat bagi BRR dalam program ini, kita patut mengacungkan jempol kepada beberapa NGO seperti Dompet Duafa, MercyCorps Aceh, Alianz Life yang bekerjasama dengan GTZ, juga masih banyak NGO lain yang intens dalam hal Aceh microfinance, bahkan sebenarnya BRR sendiri juga telah melakukan launching program ini. Namun demikian, bahwa microfinance ini bukanlah masalah kecil dan jangka pendek, melainkan program yang besar yang relevan dan diharapkan akan terus ada dalam jangka panjang
Strategi pengentasan yang dikemukakan oleh Sofyan Syahnur (Serambi Indonesia, 24/3/2007) yaitu indentifikasi, pembangunan sarana publik, dan implementasi kebijakan dan penegakan hukum. Menurut penulis sifat komprehensif dan akuntabel dalam pengelolaan pembangunan dan pemberantasan kemiskinan sangat diperlukan. Keberpihan pembangunan kepada masyarakat kecil yang berada di tiga cluster; pesisir, pedalaman, mapun perkotaan mutlak diperlukan. Selain itu juga komitmen kuat dari elemen-elemen yang terlibat (seperti pemerintah daerah, ulama, akademisi, maupun masyarakat), efisiensi pengelolaan keuangan, pemerataan pembangunan dan distribusi pendapatan, dan penegakan hukum.
Salah satu contoh keberhasilan pembangunan ekonomi yang mengakar pada masyarakat sebagaimana yang dilakukan oleh Muhammad Yunus dari Banglades dengan mengandalkan Grameen Bank telah berhasil membangun ekonomi masyarakat Banglades dari tingkat yang paling rendah. Keberhasilan yang mereka capai sepatutnya dijadikan rujukan dalam pembangunan dan pemberantasan kemiskinan di Aceh Utara.
DAFTAR PUSTAKA
Asra, Abuzar (2000) Poverty And Inequality In Indonesia: Estimates, Decomposition, And Key Issues, Journal of the Asia Pacific Economy, pp. 1-21.
Badan Pusat Statistik (2006) Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Aceh Utara, BPS Aceh Utara.
______ (2006) Penduduk Kabupaten Aceh Utara Tahun 2005, Jakarta.
______ (2007) Potret dan Prospek Ekonomi Indonesia Memanfaatkan Hasil Sensus Ekonomi, Makalah Sosialisasi Hasil Sensus Tahun 2006, Tanggal 14 Mei 2007, Lhokseumawe-NAD.
BRR NAD & Nias (2005) Rancangan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias, Buku Utama BRR Republik Indonesia, Bab II, Hal. 3.
Darma, Adi (2003) Kajian Garis Kemiskinan Berdasarkan Karakteristik Sosial Ekonomi Rumah Tangga Di Kabupaten Aceh Timur, Journal of Economic, Management & Bussines, volume 1 No. 2, April 2003 hal. 1 – 15
De Vos, Klass (1991) Microeconomic Definition of Proverty, Universitas Erasmus.
Domowitz dan Elbadawi (1987) An Error Approach to Money Demand (The Case of Sudan), Journal of Development Economics, Vol. 26 pp. 257-275.
Ghozali, Imam (2005) Aplikasi Analisis Multivariate Dengan Program SPSS, BP-Undip, Semarang.
Gujarati, Damodar (1978) Ekonometrika Dasar, Alih Bahasa, Sumarno Zain, Penerbit Erlangga, Jakarta.
Hermawan, Asep (2006) Penelitian Bisnis: Paradigma Kuantitatif, Penerbit Grasindo, Jakarta.
Husen, Zulkifli (1993) Pembangunan dan Masalah Kemiskinan, Unsyiah, Banda Aceh.
Keban, Yeremias (1995) Profil Kemiskinan di Nusa Tenggara Timur, Majalah Prisma, No. 10 Tahun XXIV, Oktober 1995.
Koutsoyiannis (1977) Theory of Econometrics, Second Edition, The Macnillan Press Ltd, London.
Kuncoro, Mudrajad (2004) Metode Kuantitatif: Teori dan Aplikasi Untuk Bisnis dan Ekonomi, Edisi Kedua, Penerbit AMP-YKPN, Yogyakarta.
Lains, Alfian (2006) Ekonometrika: Teori dan Aplikasi, Jilid II, LP3ES, Jakarta.
Levinsohn, James et.al (1999) Impacts of The Indonesian Economics Crisis: Price Changes and The Poor, NBER Working Paper, No. 7194
Masbar, Raja (1996) Model Mikroekonomi Terhadap Garis Kemiskinan, FE-Unsyiah, Banda Aceh.
Nachrowi, N. D dan Hardius Usman (2002) Penggunaan Teknik Ekonometri, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Suharyadi, Asep et.al (2000) The Evolution of Property During The Crisis in Indonesia 1996-1999, Policy Research Working Paper, No. 2435
Sumardi, M dan Dieters H.E (1985) Kemiskinan dan Kebutuhan Pokok, CV. Rajawali, Jakarta.
Suparlan, Parsudi (1984) Kemiskinan di Perkotaan, Sinar Harapan dan Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Suparta, I Wayan, (2003) Model Mikroekonometrika Dalam Menganalisis Garis Kemiskinan Rumah Tangga Penduduk Desa Tertinggal di Kabupaten Aceh Besar, Journal of Economic, Management & Bussines, volume 1 No. 1, Januari 2003 hal. 18 – 42
Tidak ada komentar:
Posting Komentar