PERAN AUDIT INTERNAL DALAM MEWUJUDKAN
GOOD GOVERNMENT GOVERNANCE PADA SEKTOR
PUBLIK
Dr.Murhaban,
SE.,M.Si., Ak
Abstrak
Untuk memperkuat struktur pengendalian manajemen
pemerintah maka pemberdayaan peran dan fungsi audit internal menjadi suatu hal yang mutlak untuk
direalisasikan. Selanjutnya, jelas dan terarahnya peran dan fungsi audit
internal dalam suatu organisasi secara
tidak langsung juga akan meningkatkan efektivitas pelaksanaan audit oleh
auditor eksternal. Di samping kedua faktor tersebut, adanya kerja sama yang
harmonis di antara jajaran audit internal dan eksternal audit juga akan lebih melapangkan jalan dalam pencapaian
tujuan dari fungsi audit dalam mewujudkan good government governance, adil, bersih, dan akuntabilitas.
1. Latar Belakang
Semakin meningkatnya
tuntutan masyarakat atas penyelenggaraan tata kelola pemerintahan yang baik, adil, transparan, dan akuntabel harus disikapi
dengan serius dan sistematis. Segenap jajaran penyelenggara negara, baik dalam
tataran eksekutif, legislatif, dan yudikatif harus memiliki komitmen bersama untuk
menegakkan good government governance dan clean
government. Seiring dengan hal tersebut, pemerintah pusat dan daerah telah
mencanangkan sasaran untuk meningkatkan pelayanan birokrasi kepada masyarakat
dengan arah kebijakan penciptaan tata kelola pemerintahan yang baik dan berwibawa (good government governance).
Beberapa hal yang terkait
dengan kebijakan untuk mewujudkan good government governance pada sektor publik antara lain meliputi
penetapan standar etika dan perilaku aparatur pemerintah, penetapan struktur
organisasi dan proses pengorganisasian yang secara jelas mengatur tentang peran
dan tanggung jawab serta akuntabilitas organisasi kepada publik, pengaturan
sistem pengendalian organisasi yang memadai, dan pelaporan eksternal yang
disusun berdasarkan sistem akuntansi yang sesuai dengan standar akuntansi
pemerintahan sesuai dengan, Peraturan Pemerintah Nomor : 24 Tahun 2004. Selanjutnya, berkaitan dengan pengaturan sistem
pengendalian organisasi yang memadai, hal ini menyangkut permasalahan tentang
manajemen risiko, audit internal, pengendalian internal, penganggaran,
manajemen keuangan dan pelatihan untuk staf keuangan. Secara umum,
permasalahan-permasalahan tersebut telah diakomodasi dalam paket undang-undang
di bidang pengelolaan keuangan negara yang baru-baru ini telah diterbitkan oleh
pemerintah.
Paket peraturan
perundang-undangan di bidang keuangan negara yang meliputi Undang-Undang Nomor : 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor : 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan Undang-Undang Nomor :
15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan
Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara beserta peraturan-peraturan
pendukungnya menggambarkan keseriusan jajaran pemerintah dan DPR untuk memperbaiki
pengelolaan, pencatatan, pertanggungjawaban, dan pemeriksaan atas pengelolaan
keuangan pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah. Salah satu
pertimbangan yang menjadi dasar penerbitan peraturan perundang-undangan
tersebut adalah bahwa keuangan negara wajib dikelola secara tertib, taat pada
peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan
bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan sebagai
salah satu prasyarat untuk mendukung keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan
negara.
Berkaitan dengan pemeriksaan
atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, dalam pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor : 15 Tahun 2004 disebutkan bahwa: “Dalam menyelenggarakan pemeriksaan
pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, BPK dapat memanfaatkan hasil
pemeriksaan aparat pengawasan intern pemerintah.” Seperti telah disebutkan di
atas, peran dan fungsi audit internal termasuk unsur yang penting dalam sistem
pengendalian organisasi yang memadai. Untuk dapat mendukung efektivitas
pelaksanaan audit oleh auditor eksternal sesuai amanat pasal 9 ayat (1)
tersebut di atas maka peran dan fungsi audit internal perlu diperjelas dan
dipertegas. Tulisan ini berisikan
analisis mengenai berbagai alternatif berkaitan dengan pemberdayaan
peran dan fungsi audit internal serta formulasi sinerji fungsi pengawasan di
antara berbagai institusi audit internal dalam kerangka mewujudkan good government governance yang merupakan idaman dan cita-cita seluruh
masyarakat Indonesia.
2. Prinsip-Prinsip Good Governance pada Sektor Publik
Berdasarkan hasil penelitian
Bank Dunia (1999), disimpulkan bahwa
terdapat korelasi yang positif antara praktik kepemerintahan yang baik
dengan hasil-hasil pembangunan yang lebih baik, diantaranya menyangkut pendapatan
per kapita yang meningkat, berkurangnya tingkat kematian bayi, dan kemampuan
membaca dan menulis masyarakat yang lebih baik. Di samping itu, praktik
kepemerintahan yang baik juga dapat meningkatkan iklim keterbukaan, integritas,
dan akuntabilitas sesuai dengan prinsip-prinsip dasar good goverment governance pada sektor publik.
Secara lebih rinci, ketiga
prinsip dasar good government governance dapat diuraikan sebagai berikut:
Pertama, keterbukaan memang
sangat diperlukan untuk meyakinkan bahwa stakeholders memiliki keyakinan dalam
proses pengambilan keputusan dan tindakan terhadap institusi pemerintah dan
terhadap pengelolaan kegiatan oleh instansi pemerintah tersebut. Iklim
keterbukaan yang diciptakan melalui proses komunikasi yang jelas, akurat, dan
efektif dengan pihak stakeholders dapat membantu proses pelaksanaan suatu
kegiatan secara tepat waktu dan efektif. Menurut Sedarmayanti (2007)
tata kelola pemerintahan yang baik akan bersifat transparan terhadap rakyatnya,
baik di tingkat pusat maupun daerah.
Kedua, integritas mencakup
dua hal pokok yaitu kejujuran dan kelengkapan informasi yang disampaikan kepada
masyarakat terhadap pengelolaan sumber daya, dana, dan urusan publik. Dalam organisasi, integritas
ini tercermin pada prosedur pengambilan keputusan dan kualitas pelaporan
keuangan dan kinerja yang dihasilkan dalam suatu periode tertentu.
Ketiga, akuntabilitas yang
merupakan bentuk pertanggungjawaban setiap individu maupun secara organisatoris
pada institusi publik kepada pihak-pihak luar yang berkepentingan atas
pengelolaan sumber daya, dana, dan seluruh unsur kinerja yang diamanatkan
kepada mereka. Menurut Stanbury (2003) akuntabilitas sebagai bentuk
kewajiban atau kegagalan pelaksanaan misi organisasi dalam mencapai tujuan dan
sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya, melalui suatu media
pertanggungjawaban yang dilaksanakan secara periodik.
Secara umum, ketiga prinsip good government governance tersebut di atas tercermin secara jelas dalam
proses penganggaran, pelaporan keuangan, dan pemeriksaan atas pengelolaan dan
tanggung jawab keuangan negara sebagaimana tercantum dalam ketiga paket
perundang-undangan di bidang keuangan negara tersebut.
Adapun manfaat penerapan Good
Government Governance antara lain meliputi:
1.
Meningkatkan efisiensi dan produktivitas. Dengan
menerapkan prinsip-prinsip penyelenggaraan pemerintah berdasarkan Good Government Governance pemerintah
akan dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas. Hal ini dikarenakan
seluruh personil dipemerintah pada setiap level dan biro akan berusaha
menyumbangkan segenap kemampuannya untuk kepenting pemerintahan adan bukan atas
dasar mencari keuntungan secara pribadi, dan atau kelompok. Dengan demikian
tidak terjadi pemborosan diakibatkan penggunaan sumberdaya yang dipergunakan
untuk kepentingan pihak tertentu yang tidak sejalan dengan kepentingan
pemerintahan daerah. Setiap personil pemerintahan yang menyumbangkan seluruh
kemampuannya didasari kepercayaan bahwa kepala daerah juga melakukan hal sama
bagi mereka, yaitu bersikap adil dalam pemberian penghargaan bagi seluruh pihak
yang berkepentingan dengan pemerintahan.
2. Meningkatkan
kepercayaan publik. Dengan menerapkan prinsip-prinsip Good Government Governance akan dapat meningkatkan kepercayaan
publik. Publik dalam hal ini dapat berupa mitra pemerintah, baik sebagai
investor, pemasok, pelanggan, kreditor, maupun masyarakat umum. Bagi investor
dan kreditor penerapan Good Government
Governance bagi mitranya adalah suatu hal yang mutlak untuk dijadikan
pertimbangan dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan pelepasan dana
investasi maupun kreditnya. Dengan menerapkan prinsip Good Government Governance, maka baik investor maupun kreditor akan
merasa lebih aman karena pemerintah dijalankan dengan prinsip yang mengutamakan
kepntingan semua pihak, dan bukan pihak tertentu saja. Sejalan dengan iklim
globalisasi yang kita rasakan saat ini, dimana daerah wajib mampu mengintegrasi
dan bersaing dalam skala internasional tidak dapat dihindari lagi, yang berarti
bahwa aspek Good Government Governance
menjadi salah satu prasayarat mutlak layak operasi dan mutlak layak investasi
bagi kalangan investor baik domestic maupun manca Negara.
- Menjaga kelangsungan pemerintahan daerah. Dengan menjalankan prinsip-prinsip seperti; keadilan, transparansi, dapat dikontrol dan bertanggungjawab, maka kelangsungan pemerintahan dapat dijamin. Dengan prinsip keadilan tidak ada pihak yang istimewa dan tidak istimewa, karena apabila pemerintahan dijalankan dengan tidak adil maka akan menimbulkan pertentangan antara pihak yang berkepentingan dengan pemerintahan sehingga dapat mengancam kewibawaan pemrintahan daerah. Prinsip transparansi akan memudahkan semua pihak yang berkepntingan terhadap pemerintah.
- Dapat mengukur target kinerja pemerintahan daerah. Dengan berpedoman pada prinsip keadilan, transparansi, akuntabilitas dan responsibilitas, maka target kinerja pemerintan dapat lebih diukur dibandingkan dengan bila pemerintahan tidak menerapkan prinsip yang didasarkan pada Good Government Governance. Dalam hal ini pemerintahan lebih terarah mencapai sasaran-sasaran yang telah deprogram, dan tidak disibukkan dengan hal-hal yang tidak menjadi sasaran pencapaian kinerja pemerintahan.
5. Kewajiban Pelaporan Keuangan dan Pelaksanaan
Audit Berdasarkan Undang-Undang di Bidang Keuangan Negara
Pencatatan dan pelaporan
transaksi keuangan merupakan salah satu bentuk akuntabilitas penyelenggara
pemerintahan kepada rakyat melalui perwakilannya di lembaga legislatif. Dalam Undang-Undang Nomor : 1 Tahun 2004 telah secara tegas dinyatakan bahwa pengelola keuangan
pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah diwajibkan untuk
menyelenggarakan sistem akuntansi atas transaksi keuangan, aset, utang, dan
ekuitas dana, termasuk transaksi pembiayaan dan perhitungannya. Sistem
akuntansi tersebut digunakan sebagai sarana penyusunan laporan keuangan
Pemerintah Pusat/Daerah berdasarkan standar akuntansi pemerintahan yang
berlaku. Laporan keuangan Pemerintah Pusat/Daerah sekurang-kurangnya meliputi
Laporan Realisasi APBN/APBD, Neraca, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan
Keuangan yang dilampiri dengan laporan keuangan perusahaan negara/daerah dan
badan lainnya. Selanjutnya,
selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya tahun anggaran,
Presiden selaku kepala pemerintahan di pusat dan Gubernur/Bupati/Walikota
selaku kepala pemerintahan di daerah menyampaikan laporan keuangan pemerintah
pusat/daerah kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Badan Pemeriksa Keuangan
selaku auditor eksternal pemerintah melaksanakan audit atas laporan keuangan
pemerintah pusat/daerah tersebut berdasarkan standar pemeriksaan yang berlaku.
Jangka waktu pelaksanaan audit atas laporan keuangan pemerintah pusat/daerah
oleh BPK ini sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor : 17 Tahun 2003 harus diselesaikan paling lama dalam
jangka waktu 3 (tiga) bulan. Alasannya, Presiden dan Gubernur/Bupati/Walikota
sudah harus menyampaikan rancangan undang-undang tentang pertanggungjawaban
pelaksanaan APBN/APBD kepada DPR/DPRD berupa laporan keuangan yang telah
diperiksa oleh BPK selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran
berakhir. Padahal, penyusunan laporan keuangan pemerintah pusat/daerah,
meskipun telah menggunakan sistem akuntansi keuangan yang terkomputerisasi, pada
umumnya masih memerlukan waktu yang cukup lama sehingga baru diselesaikan dan
disampaikan kepada BPK sekitar 3 (tiga) bulan setelah tahun anggaran berakhir
sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Untuk dapat memenuhi jadwal yang sangat
ketat sesuai amanat undang-undang tersebut, yaitu melaksanakan audit atas laporan
keuangan pemerintah pusat dan daerah praktis dalam waktu paling lama 3 (tiga)
bulan tentu saja diperlukan pemanfaatan sumber daya dan dana yang tersedia pada
lembaga auditor eksternal secara arif, efektif, dan efisien. Yang menarik untuk
didiskusikan di sini adalah apakah BPK selaku auditor eksternal pemerintah
sanggup untuk melaksanakan pekerjaan yang maha berat itu dalam waktu yang relatif
sangat terbatas. Bagaimana
kualitas hasil auditnya nanti dengan kendala seperti itu. Bagaimana pengaruhnya kepada pihak DPR dan
masyarakat luas nantinya dalam pengambilan keputusannya jika sampai terjadi
pelaksanaan audit yang tidak sesuai dengan standar audit sehingga laporan hasil
audit malah menyesatkan pihak-pihak yang berkepentingan dalam pengambilan
keputusan terhadap pertanggungjawaban pemerintah tersebut.
Meskipun sudah ada kewajiban
Aparat Pengawasan Internal Pemerintah (SPIP) untuk melaksanakan reviu atas laporan keuangan
sebelum disampaikan kepada BPK untuk diaudit, tetapi sampai saat ini,
pelaksanaan reviu tersebut ternyata masih belum sepenuhnya dapat meningkatkan
kualitas laporan keuangan pemerintah. Hal ini terbukti dari masih banyaknya
laporan keuangan pemerintah baik di
tingkat kementerian maupun di tingkat daerah yang masih mendapatkan opini disclaimer dari BPK. Menurut hemat
penulis, hal ini merupakan masalah serius yang harus segera dicari alternatif
jalan keluarnya sehingga tidak sampai menimbulkan kerugian pada pihak-pihak
tertentu yang terkait dengan permasalahan ini. Terdapat dua hal pokok yang penulis
uraikan pada bagian berikut sebagai wacana untuk meminimalisasi permasalahan
yang kemungkinan terjadi dalam audit atas laporan keuangan pemerintah oleh BPK,
yaitu pemberdayaan peran dan fungsi audit internal dan sinerji pengawasan di
antara sesama Aparat Pengawasan Internal Pemerintah (APIP).
6. Pemberdayaan Peran dan Fungsi APIP
Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor : 15 Tahun 2004 antara lain dinyatakan bahwa untuk mewujudkan perencanaan
yang komprehensif, BPK dapat memanfaatkan hasil pekerjaan aparat pengawasan
intern pemerintah. Dengan demikian, luas pemeriksaan yang akan dilakukan dapat
disesuaikan dan difokuskan pada bidang-bidang yang secara potensial berdampak
pada kewajaran laporan keuangan serta tingkat efisiensi dan efektivitas pengelolaan
keuangan negara. Sebagai konsekuensinya, APIP diwajibkan untuk menyampaikan
laporan hasil pemeriksaannya kepada BPK. Untuk dapat menghasilkan laporan hasil
audit yang dibutuhkan oleh BPK, tentunya diperlukan kejelasan wewenang, peran
dan ruang lingkup pekerjaan yang dilaksanakan oleh APIP. Apabila hal ini
diabaikan maka besar kemungkinan akan terdapat hasil pekerjaan APIP yang tidak
dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk mendukung perencanaan dan pelaksanaan
audit oleh BPK.
Penulis mengakui secara jujur bahwa selama ini
tugas-tugas yang dilaksanakan oleh APIP tidak hanya terbatas pada pemeriksaan
saja, tetapi juga banyak melakukan fungsi pelayanan dan konsultansi dalam
rangka peningkatan kinerja instansi pemerintah sesuai dengan tuntutan paradigma
auditor internal yang dikehendaki pada saat ini. Hanya saja, masih sering
terdengar suara sumbang yang mengecilkan peran dan arti penting APIP dalam
membantu terwujudnya good government governace pada sektor publik. Untuk merespon wacana
yang berkembang di masyarakat tersebut,
sudah tiba saatnya bagi Pemerintah Pusat dan Daerah untuk secara jelas
memformulasikan ruang lingkup pekerjaan, peranan, dan kewenangan audit internal
pemerintah.
Berkenaan dengan peran dan
fungsi yang harus dilaksanakan oleh auditor internal dalam rangka mewujudkan good government governance pada sektor publik, The International Federation of Accountants (IFAC) pada tahun 2001
dalam Study 13 tentang Governance in the Public Sector: A Governing
Body Perspective merumuskan bahwa fungsi audit internal yang efektif
mencakup reviu yang dilaksanakan secara sistematis, penilaian dan pelaporan
atas kehandalan dan efektivitas penerapan sistem manajemen, keuangan,
pengendalian operasional dan penganggaran, yang setidak-tidaknya meliputi
berbagai aktivitas reviu sebagai berikut:
§ Tingkat relevansi atas kebijakan yang
ditetapkan, perencanaan dan prosedur, tingkat kesesuaian antara praktik dengan
kebijakan, rencana, dan prosedur yang telah ditetapkan, termasuk implikasinya
terhadap aspek keuangan negara.
§ Kehandalan dan keakuratan atas peraturan
yang dibuat sebagai penjabaran dari peraturan yang lebih tinggi tingkatannya.
§ Ketepatan mengenai penyusunan struktur
organisasi, pengembangan sumber daya manusia (personil), dan supervisi.
§ Reviu terhadap pelaksanaan program dan
kegiatan berdasarkan rencana yang telah ditetapkan dan manfaat atas program dan
kegiatan apakah telah selaras dengan tujuan diadakannya program dan kegiatan
tersebut.
§ Evaluasi terhadap pertanggungjawaban dan
pengamanan atas penggunaan aset dan sumber daya lainnya dari penyalahgunaan
wewenang, pemborosan, kelalaian, salah urus, dan lain-lainnya.
§ Reviu terhadap ketepatan, keakuratan, dan
kejujuran atas proses pengolahan dan pelaporan informasi keuangan dan
manajemen.
§ Penilaian terhadap tingkat keekonomisan
dan efisiensi penggunaan sumber daya.
§ Penilaian terhadap integritas sistem yang
terkomputerisasi berikut pengembangan
sistemnya, dan
§ Evaluasi terhadap tindak lanjut yang telah
dilaksanakan untuk mengatasi permasalahan yang terjadi pada periode sebelumnya.
Berdasarkan uraian di atas,
tampak bahwa ruang lingkup pekerjaan audit internal sangat luas dan
komprehensif agar dapat menjamin pencapaian tujuan organisasi. Penulis yakin,
apabila institusi audit internal di Indonesia yang tergabung dalam wadah APIP
diberikan kewenangan, peran, dan fungsi yang jelas dan luas seperti tersebut di
atas maka hasil pekerjaan APIP akan sangat bermanfaat tidak hanya bagi
pemerintah saja, tetapi juga bermanfaat bagi pihak legislatif, eksternal
auditor, dan pihak-pihak lain yang berkepentingan. Akan tetapi, untuk menjamin
kualitas hasil pekerjaan APIP yang melibatkan sekian banyak sumber daya manusia
dengan berbagai jenis latar belakang pendidikan dan pengalaman, diperlukan
suatu program pendidikan dan pelatihan yang profesional dan berkelanjutan. Di
samping itu, untuk meningkatkan koordinasi dalam perencanaan, pelaksanaan, dan
evaluasi kegiatan di antara jajaran APIP, diperlukan adanya pengembangan
sinergi pengawasan APIP.
7. Pengembangan Sinerji Pengawasan APIP
Pengembangan sinergi pengawasan sesama
APIP dapat dilakukan dengan cara mutual
adjustment melalui koordinasi yang baik,
direct supervision melalui proses
peer review, serta standardisasi input, proses kerja maupun output.
Selanjutnya, upaya pengembangan sinergi pengawasan APIP dapat dilakukan dengan
cara sebagai berikut :
§ Penajaman peran jajaran APIP dalam
struktur pengawasan intern secara keseluruhan. Dalam kaitan ini, Menteri Pendayagunaan
Aparatur Negara (Menpan) yang bertanggung jawab di bidang koordinasi pengawasan
dapat memainkan peran sebagai strategic
apex, yaitu menyinergikan gerak dan langkah pengawasan intern dalam rangka
mendorong peningkatan kinerja organisasi pemerintahan dan membangun good government governance. Dalam konteks penajaman peran ini pun, perlu
pula dikukuhkan APIP yang secara teknis berfungsi sebagai technostructure dan middle
line.
§ Revitalisasi penerapan Standar Audit dan
Kode Etik pada jajaran APIP.
Dengan karakteristik yang relatif spesifik
mengingat basis disiplin keilmuan dan profesinya, fungsi pengawasan intern
perlu merevitalisasi penerapan standar audit dan kode etik dalam pelaksanaan
tugas pengawasan. Dengan penerapan standar audit dan kode etik secara
sungguh-sungguh dan konsisten, maka pola perilaku aparat pengawasan dapat
terprediksi dan terkendali. Hal ini berarti bahwa secara tidak langsung akan
terwujud standardisasi keahlian, keterampilan dan pengetahuan sumber daya
manusia pengawasan, standardisasi proses kerja pelaksanaan audit, serta standardisasi hasil kerja audit pada tataran
mikro yang pada akhirnya akan berpengaruh pada tataran makro.
§ Pengembangan aturan main dan program
kerja.
Aturan main pelaksanaan tugas pengawasan dan
program kerja APIP yang dituangkan dalam peraturan perundangan perlu disusun
dan ditetapkan. Selain sebagai acuan kalangan APIP, hal ini juga diperlukan
bagi pihak auditan.
§ Pengembangan prosedur kerja dan dukungan
teknologi informasi dan komunikasi.
Prosedur kerja baku perlu dikembangkan untuk
menginternalisasikan proses sinergi pengawasan, baik pada tahapan perencanaan,
pelaksanaan, pelaporan, serta pemantauan dan evaluasi tindak lanjut.
8. Kesimpulan
Pengendalian intern merupakan prasyarat
bagi penyelenggaran pemerintahan dan pengelolaan keuangan negara yang amanah. Pengendalian intern ini pulalah, yang salah
satu unsurnya adalah fungsi audit internal, yang menjadi pertimbangan penting dalam
menentukan keluasan dan kedalaman ruang lingkup pekerjaan audit. Dengan
demikian, fungsi audit internal yang
berjalan dengan baik akan menghasilkan keluaran yang berharga untuk menjadi
masukan bagi pihak auditor eksternal, eksekutif, dan legislatif dalam
memperbaiki pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara pada waktu yang
akan datang. Oleh karena itu, sudah
selayaknya fungsi pengawasan internal lebih diberdayakan dan dilaksanakan
secara sinergis demi tercapainya tujuan berbangsa dan bernegara atau good government governance pada sektor publik yaitu terwujudnya transparansi,
akuntabilitas, kejujuran, keadilan dan kesejahteraan masyarakat.
Referensi :
Ball, Ian. Financial Management Improvement Program, Report on
APEC Public Sector Management Workshop.
http://www.apecsec.org.sg
International Federation of
Accountants, Study 13, Governance in the Public Sector: A Governing Body
Perspective, 2001, http://www.ifac.org
________________________________, Study No.
14, Transition to the Accrual Basis of Accounting: Guidance for Governments
and Government Entities. 2nd Edition. http://www.ifac.org
Komite Standar Akuntansi
Pemerintah Pusat dan Daerah, Draft Publikasian Standar Akuntansi Pemerintahan,
Desember 2003.
Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pokok-Pokok Pengelolaan
Keuangan Daerah.
Rosser, Andrew. The
Political Economy of Accounting Reform in Developing Countries : The Case of
Indonesia, http://www.cpaustralia.com.au.
Stanbury. Accountability To Citizens In The Westmister Model Of
Government : More Myth Than Reality, Frase Institute Digital Publication, 2003.
Sedarmayanti, Good Government (Kepemerintahan Yang Baik). Bagian
Kedua. Membangun Sistem Manajemen Kinerja Guna Meningkatkan produktivitas
Menuju Good Government (Keperintahan Yang Baik). Bandung, Mandar Maju, 2007.
Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung
Jawab Keuangan Negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar