BEBERAPA PENDEKATAN DALAM PENGELOLAAN WAQAF
Mukhlish Muhammad Nur, Lc.,MA
Dosen pada Fakultas Ekonomi
Universitas Malikussaleh Lhokseumawe
Hp: 0852-77049375
Email:sagoe_nyo@yahoo.com
ABSTRAK
Jumlah penduduk miskin di Indonesia masih sangat banyak. Ini menandakan bahwa pembangunan di
Indonesia belum merata. Oleh sebab itu, diperlukan pendekatan lainnya agar
dapat meminimalkan angka kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Waqaf sebagai sebuah institusi keagamaan telah memainkan peran yang begitu
besar dalam pembangunan fisik dan manusia. Hal ini
ditemukan dan dipraktekkan
sendiri oleh Rasulullah s.a.w. dan diteruskan oleh khulafaurrasyidin dan sampai
sekarang. Dalam perjalanannya yang sangat panjang, waqaf telah memberikan
kontribusi yang begitu besar dalam pembangunan fisik dan manusia. Bersamaan
dengan semangat kembali kepada Islam secara seutuhnya, maka berdasarkan
beberapa penelitian, waqaf sangat diyakini memiliki peran yang besar untuk
membangun manusia seutuhnya. Namun demikian, beberapa pendekatan pengelolaan
waqaf perlu diperkenalkan di antaranya pendekatan produktif, pendekatan
non-produktif dan gabungan. Melalui tiga pendekatan tersebut, maka waqaf di
samping dapat membiayai lembaga dan manajemen (nazhir) waqaf itu sendiri, juga
dapat memberikan kontribusi bagi pembangunan manusia seutuhnya dari berbagai
aspeknya.
Keywords: Waqaf, Nazhir, Pendekatan
PENDAHULUAN
Potensi waqaf di Indonesia sangat besar sekali. Apabila dilihat dari jumlah populasi pemeluk agama Islam maka negara Indonesia
termasuk salah satu negara yang memiliki populasi pemeluk agama Islam terbesar
di dunia. Karena mayoritas
penduduk Indonesia beragama Islam. Menurut wikipedia yang diupdate pada tanggal
23 November 2010, pada tahun 2010, kira-kira 85,1% dari 240.271.522 penduduk
Indonesia adalah pemeluk Islam, 9,2% Protestan, 3,5% Katolik, 1,8% Hindu, dan 0,4%
Buddha (http://id.wikipedia.org). Dan dalam tabel di bawah ini dapat diketahui
masing-masing jumlah pemeluk agama di Indonesia:
Tabel jumlah umat beragama di Indonesia
N0
|
URAIAN
|
PERSENTASE
|
JUMLAH
|
KET.
|
1
|
ISLAM
|
85,1
|
204,471,065,222.00
|
|
2
|
PROTESTAN
|
9,2
|
22,104,980,024.00
|
|
3
|
KATOLIK
|
3,5
|
8,409,503,270.00
|
|
4
|
HINDU
|
1,8
|
4,324,887,396.00
|
|
5
|
BUDHA
|
0,4
|
961,086,088.00
|
|
|
Jumlah
|
100%
|
240,271,522,000.00
|
|
sumber: Dioleh oleh Penulis dari www.id.wikipedia.org
Berdasarkan tabel di atas, maka
dapat diketahui bahwa jumlah penduduk beragama Islam menempati rangking pertama
yaitu berjumlah 204,471,065,222.00 jiwa. Kemudian diikuti oleh pemeluk agama
Protestan berjumlah 22,104,980,024.00 jiwa, 8,409,503,270.00 jiwa pemeluk agama
Katolik, 4,324,887,396.00 pemeluk agama Hindu, dan yang terakhir pemeluk agama
Budha berjumlah 961,086,088.00 jiwa.
Apabila dilihat dari data
kependudukan di atas maka jumlah penduduk muslim menunjukkan perbedaan yang
sangat signifikan di mana penduduk Indonesia yang beragama Islam jauh lebih
banyak dibandingkan pemeluk agama-agama lainnya di Indonesia. Ini menunjukkan bahwa potensi waqaf di Indonesia
sangat besar sekali.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) NAD jumlah penduduk miskin atau
penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan di Aceh mencapai 959,7 ribu jiwa
atau 23,53 persen dari jumlah penduduk Aceh saat ini. Kepala BPS NAD
Iskandar Asyeik mengatakan, jika dibandingkan dengan penduduk miskin tahun 2007
yang jumlahnya mencapai 1,08 juta jiwa atau 26,65 persen berarti ada penurunan
sebesar 3,12 persen. Selama periode 2007-2008, persentase penduduk miskin di
daerah pedesaan berkurang sebesar 3,57 persen sedangkan daerah perkotaan
berkurang 2,01 persen.
Berdasarkan
data Departemen Agama Republik Indonesia tahun 2007, bahwa jumlah harta wakaf
dalam bentuk tanah di Indonesia sebanyak 2.686.536.565,68 M2 (2,7 milyar M2)
tersebar di 366.595 (Sula, 2008). Dari keseluruhan tanah wakaf yang ada,
penggunaannya masih didominasi oleh wakaf fisik yang bersifat sosial,
diantaranya 68% digunakan untuk tempat ibadah, 8,51% untuk pendidikan, 8,40%
untuk kuburan dan 14,60% untuk lain-lain. (Suparman Usman, 1994: 48.)
Dari data-data tentang pemanfaatan waqaf di Indonesia yang disampaikan oleh
Suparman Usman, menunjukkan bahwa waqaf tanah untuk tempat ibadah masih sangat
dominan, selanjutnya pendidikan, kuburan dan lain-lain. Dengan demikian, waqaf
untuk tujuan pemberdayaan ekonomi masih sangat minim. Padahal apabila aset
waqaf dipergunakan untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat miskin maka akan memberikan
dampak yang sangat positif bagi peningkatan kesejahteraan umat Islam. Karena
menurut data dari BPS, angka kemiskinan di Indonesia masih sangat tinggi.
Angka kemiskinan di tingkat nasional, sebagai dirilis oleh harian Kompas (6
Oktober 2010), menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010, tercatat
13,3 persen dari penduduk Indonesia. Jumlah ini sedikit menurun
dibanding tahun 2009 yang angkanya mencapai 14,1 persen. Dan apabila kita
menggunakan data kependudukan sebagaimana dirilis oleh wikipedia yaitu
240,271,522,000.00 jiwa maka pada tahun 2009 penduduk miskin berjumlah 33,878,284,602,000 jiwa atau 14,1 persen
sedangkan pada tahun 2010 berjumlah 31,956,112,426,000 jiwa atau 13,3 persen.
Sumber: Kompas 4 Oktober 2010
Berdasarkan pie-chart di atas,
maka dapat disimpulkan bahwa angka kemiskinan pada tahun 2009 dan tahun 2010
tidak berbeda jauh. Dan ini
menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi di Indonesia belum menunjukkan peningkatan
yang signifikan. Sehingga penurunan angka kemiskinan belum signifikan.
Di Provinsi Aceh, jumlah penduduk miskin menurut Badan Pusat Statistik
(BPS) NAD, jumlah penduduk miskin atau penduduk yang berada di bawah garis
kemiskinan di Aceh mencapai 959,7 ribu jiwa atau 23,53 persen dari jumlah
penduduk Aceh saat ini. Kepala BPS NAD Iskandar Asyeik mengatakan, jika
dibandingkan dengan penduduk miskin tahun 2007 yang jumlahnya mencapai 1,08
juta jiwa atau 26,65 persen berarti ada penurunan sebesar 3,12 persen. Selama
periode 2007-2008, persentase penduduk miskin di daerah pedesaan berkurang
sebesar 3,57 persen sedangkan daerah perkotaan berkurang 2,01 persen (BPS dalam
www.acehutara.go.id, rabu 2 juli 2008).
Dari-data kemiskinan di atas menunjukkan bahwa permasalahan kemiskinan
masih merupakan permasalahan utama bangsa Indonesia. Karena jumlah penduduk
miskin di Indonesia masih sangat tinggi. Oleh sebab itu, melihat populasi umat
Islam Indonesia yang begitu besar, maka institusi waqaf yang merupakan salah
solusi bagi pemberdayaan masyarakat miskin sehingga akan dapat mengurangi
angka-angka kemiskinan di Indonesia. Atas dasar itu, tulisan ini akan mengkaji
potensi waqaf dan beberapa model pemberdayaan ekonomi masyarakat miskin.
KONSEP WAQAF
Waqaf, berasal
dari bahasa Arab al-waqf bentuk masdar (kata benda) dari kata kerja waqafa
yang berarti menahan, mencegah, menghentikan dan berdiam di tempat. Kata al-waqf juga semakna dengan al-habs
bentuk masdar dari kata kerja habasa, dan istilah waqf pada
awalnya menggunakan kata “alhabs”, hal tersebut diperkuat dengan adanya
riwayat hadist yang menggunakan istilah al habs untuk waqf, tapi
kemudian yang berkembang adalah istilah waqf dibanding istilah al-habs,
kecuali orang-orang Maroko yang masih mengunakan istilah al habs untuk waqf
sampai saat ini.
Bagi mayoritas
umat Islam Indonesia, pengertian wakaf yang umum diketahui, antara lain,
adalah: "menahan harta yang dapat dimanfaatkan tanpa lenyap bendanya,
dengan cara tidak melakukan tindakan hukum terhadap benda tersebut, disalurkan
pada sesuatu yang mubah (tidak haram) yang ada (al-Ramli, 1984: 357,
al-Syarbaini, tth:376); atau "Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau
kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya
guna kepentingan ibadat atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran
Islam" dan "Benda wakaf adalah segala benda, baik bergerak atau tidak
bergerak, yang memiliki daya tahan yang tidak hanya sekali pakai dan bernilai
menurut ajaran Islam" (Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Buku III, Bab
I, Pasal 215, (1) dan (4)); sehingga atas dasar pengertian tersebut, bagi
mereka hukum wakaf uang (waqf al-nuqud, cash wakaf) adalah tidak sah.
Imam Abu
Hanifah mendefinisikan ” Menahan suatu benda yang kepemilikannya tetap dimiliki
oleh si pewakaf, akan tetapi manfaatnya disedekahkan untuk kepentingan umum ”
sedangkan Imam Muhammad dan Abu Yusuf yang juga ulama Hanafiyah menyatakan
seperti apa yang didefinisikan oleh gurunya tanpa menyebutkan “ untuk
kepentingan”.
Sedangkan ulama
Malikiyah mendefinisikan wakaf sebagaimana definisi yang diungkapkan oleh ulama
Hanafiyah yaitu tidak lepasnya kepemilikan bagi si pewakaf, akan tetapi
memberikan hak kepada pihak penerima wakaf untuk menjual objek wakaf tersebut
dengan dua syarat ; pertama, dipersyaratkan diawal hak tersebut kepada
penerima wakaf ; kedua, ada alasan yang mendesak untuk melakukan hal
tersebut. Demikian Ad Dardiir
menjelaskan dalam Syarh Al Kabiir.
Ulama
Syafi'iyah menyebutkan, “ wakaf adalah menahan harta yang dapat dimanfaatkan
dengan tetap menjaga keutuhan barangnya, terlepas dari campur tangan wakif atau
lainnya, dan hasilnya disalurkan untuk kebaikan semata-mata, untuk taqarrub
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala ”.
Ulama Hanabilah
mendefinisikan wakaf adalah “ menahan asal dan mengalirkan hasilnya ”. Demikian
pula Ibnu Qudamah dalam Al Mughni. Definisi ini dianggap paling umum dan
menjadi definisi pilihan karena Pertama : definisi ini adalah penukilan
dari hadits Nabi SAW kepada Umar bin Khathab RA, “ menahan yang asal dan
mengalirkan hasilnya ”, Dan Nabi SAW adalah orang yang paling fasih lisannya
dan yang paling sempurna penjelasannya serta yang paling mengerti akan
sabdanya. Kedua : Definisi ini tidak dipertentangkan seperti definisi
yang lainnya. Ketiga : Bahwa definisi ini hanya membatasi pada hakikat
wakaf saja, dan tidak mengandung perincian lain yang dapat mencakup definisi
yang lain, seperti mensyaratkan niat mendekatkan diri kepada Allah, atau
tetapnya kepemilikan wâqif atau keluar dari kepemilikannya dan
perincian-perincian yang lainnya, tetapi menyerahkan perincian itu dalam
pembicaraan rukun–rukun dan syarat–syaratnya. Karena masuk dalam perincian
terkadang menyimpangkan definisi dari dilalahnya (maksud dan tujuan) dan menjauhi
dari sasarannya. (Kubaisy, 1977)
Dr Mundzir Qohf
mendefinisikan dengan bahasa kontemporer ” Wakaf adalah penahan harta, baik
muabbad (untuk selamanya) atau muaqqat (sementara), untuk dimanfaatkan, baik
harta tersebut maupun hasilnya, secara berulang-ulang untuk suatu tujuan
kemaslahatan umum atau khusus. ” Dalam bagian lain beliau mengistilahkan ”
Wakaf dalam artian umum dan menurut pengertian realitasnya adalah menempatkan
harta dan aset produktif terpisah dari tasharruf (pengelolaan) pemiliknya secara
langsung terhadap harta tersebut serta mengkhususkan hasil atau manfaatnya
untuk tujuan kebajikan tertentu, baik yang bersifat perorangan, sosial,
keagamaan maupun kepentingan umum."
Sedangkan dalam
redaksi Undang-Undang Wakaf No. 41 tahun 2004 , menyebutkan sebagai berikut: ”
Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum
yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk
selama-lamanya guna kepentingan ibadat atau keperluan umum lainnya sesuai
dengan ajaran agama Islam ”. Definisi ini juga seperti yang didefinisikan dalam
kompilasi hukum islam di Indonesia.
Jadi, dapat
disimpulkan bahwa benda apa saja sepanjang ia tidak dapat musnah setelah
diambil manfaatnya, dapat diwakafkan. Uangpun termasuk benda yang dapat
diwakafkan (wakaf tunai), sepanjang uang tersebut dimanfaatkan sesuai dengan
tujuan akad wakaf dan tidak habis atau musnah. Jadi uang dapat saja diwakafkan
dengan mekanisme membelanjakan uang tersebut pada bendabenda yang memiliki
sifat tidak musnah.
Namun, dalam
kasus wakaf tunai yang bersifat temporer (temporary wakaf), uang diposisikan
juga sebagai harta yang dapat diwakafkan. Dan harta yang diwakafkan bukanlah
perpindahan kepemilikan fisik atau materi harta tapi hanya sekedar mewakafkan
manfaat kegunaan uang tersebut, yang secara fisik atau materi kepemilikannya
tidak berubah. Ta’rif yang cenderung diambil oleh mazhab Maliki, Hambali
dan Syafi’i bahwa definisi harta tidak terbatas pada materi tapi juga pada
manfaatnya, bahkan unsur manfaat inilah yang menjadi elemen penting dalam
mendefinisikan harta.
Sehingga
konsekuensi pemahaman ini adalah munculnya perbedaan dalam aplikasi-aplikasi
syariah yang melibatkan harta, misalnya dalam mekanisme wakaf yang kita bahas
saat ini. Abu Hanifah bahkan secara spesifik berpendapat bahwa wakaf kemudian
tidak harus ada perpindahan materi harta tapi cukup pemanfaatan kegunaan harta
saja oleh pihak yang membutuhkan (Ghufron A. Mas’adi, 2002).
Selain itu
dengan menggunakan pemahaman Maliki, wakaf tunai juga dapat dimanfaatkan untuk
pembiayaan pembangunan gedung atau sarana apapun yang sifatnya pinjaman tanpa
biaya (free of charge), kecuali biaya administrasi yang dibolehkan
syariat dalam proses pinjaman tersebut. Dan diharapkan nanti pemakai bangunan
tersebut mengembalikan pinjaman itu untuk dapat digunakan pada program-proglam
yang lainnya. Jadi wakaf tunai jumlahnya tidak pernah terpakai untuk biaya
administrasi, biaya administrasi diambil dari pengenaan biaya pada pemakai.
Perbedaan
pendapat ulama mengenai tabiat objek wakaf adalah karena perbedaan titik
pandang mereka tentang kepemilikan objek wakaf tersebut sehingga hal
tersebut mempengaruhi pada definisi yang
mereka buat. Ulama Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa kepemilikan objek
wakaf tidak berpindah dari si wakif kepada pihak penerima wakaf (atau
penerima amanah wakaf) sehingga dimungkinkan menurut pendapat mereka pencabutan
atau penarikan kembali objek wakaf oleh si pewakaf dan ahli warisnya, maka
wakaf tidak beda dengan hibah manfaat atau sedekah. Sedangkan ulama Syafi’iyah
dan ulama Hanabilah berpendapat bahwa kepemilikan objek wakaf lepas dari si
pewakaf dan berpindah menjadi milik pengguna wakaf tersebut, dan dalam satu
riwayat kepemilikan menjadi kepemilikan Allah SWT. (Hasan Abdullah Amin, 1989)
PERANAN WAQAF DALAM SEJARAH
Dalam Islam, wakaf merupakan ibadah yang bercorak sosial
ekonomi yang cukup penting. Dalam sejarah Islam klasik, wakaf telah memainkan
peran yang sangat signifikan dalam meningkatkan kesejahteraan kaum muslimin,
baik di bidang pendidikan, pelayanan kesehatan, pelayanan sosial dan
kepentingan umum, keagamaan, pengembangan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam
secara umum. Salah satu bentuk wakaf yang berkembang di zaman klasik Islam
bahkan sampai zaman modern ini adalah wakaf tunai.
Telah banyak penelitian historis
yang dilakukan oleh para pakar tentang fungsi wakaf dalam berbagai sektor
kehidupan umat. Michael Dumper juga menyimpulkan bahwa di Timur Tengah, pada
masa kalsik Islam dan pertengahan, institusi wakaf telah memainkan peran yang
sangat penting dalam sejarah kaum muslimin dalam membangun kesejahteraan rakyat
(Michael Dumper, 1994:1).
Penelitian lain dilakukan oleh
R.D McChesney (1991) yang telah menulis buku sebagai hasil penelitiannya
tentang Kegiatan Wakaf di Asia Tengah selama lebih kurang 400 tahun.
Dalam deskripsi bukunya disebutkan bahwa wakaf dalam rentang waktu yang cukup
lama telah berada pada pusat paling penting dari kehidupan umat Islam
sehari-hari, membangun lembaga-lembaga keagamaan, cultural dan kesejahteraan.
Wakaf juga menjadi sarana yang sah untuk menjaga keutuhan kekayaan keluarga
dari satu generasi ke generasi berikutnya. Bahkan penelitian ini menunjukkan
betapa pentingnya peran lembaga wakaf dalam kehidupan masyarakat muslim dan ini
berfluktuasi sejalan dengan sikap penguasa pemerintah.
Selanjutnya, penelitian yang
dilakukan oleh Timur Kuran tentang wakaf di kalangan umat Islam menyebutkan
bahwa wakaf Islam telah muncul sebagai sarana komitmen yang dapat dipercaya
untuk memberikan keamanan bagi para pemilik harta sebagai imbangan dari layanan
sosial. Penelitian ini memberikan hasil bahwa wakaf telah lama berfungsi
sebagai instrumen penting untuk memberikan public goods dengan cara yang
tidak sentralistik. Pada prinsipnya manajer (nazhir) wakaf harus mematuhi
persyaratan yang digariskan oleh pemberi wakaf (wakif). Dalam praktiknya tujuan
atau arahan waqif seringkali harus disesuaikan dengan berbagai faktor yang
berkembang dalam masyarakat. (Kuran, 2001)
Beberapa penelitian di atas
menunjukkan bahwa selama ratusan tahun bahkan lebih dari seribuan tahun,
institusi wakaf telah berhasil menjadi instrumen yang penting dalam
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, baik pendidikan, layanan sosial,
ekonomi, keagamaan dan layanan publik lainnya. Keberadaan wakaf dan perannya
yang demikian besar, seringkali mengkhawatirkan penguasa pemerintahan Barat
atau pemerintaha nasional pasca kemerdekaan dari penjajahan. Kekhawatiran akan
semakin menonjolnya peran masyarakat dengan institusi wakaf, melahirkan sejumlah
pandangan negatif terhadap sistem wakaf dari para penguasa, karena wewenang
pemerintah bisa disaingi atau malah dikalahkan oleh lembaga-lembaga wakaf. Contohnya antara
lain, ketika bala tentara Perancis menduduki Al-jazair pada 1831, penguasa
kolonial
menguasai dan mengawasi harta wakaf untuk menekan
tokoh-tokoh keagamaan yang berjuang melawan penjajahan (Abu al-Afjan,
1985:325).
Dalam berbagai penelitian
lainnya tentang sejarah wakaf disebutkan, bahwa sepanjang sejarah Islam, wakaf
telah memberikan kontribusi yang cukup besar bagi pembangunan masyarakat, di
antaranya:
1.
Hampir 75% seluruh lahan yang dapat ditanami di Daulah Khilafah Turki Usmani
merupakan tanah wakaf.
2.
Setengah (50 %) dari lahan di Aljazair, pada masa penjajahan Perancis pada
pertengahan abad ke 19 merupakan tanah wakaf
3.
Pada periode yang sama, 33 % Tanah di Tunisia merupakan tanah wakaf
4.
Di Mesir sampai dengan tahun 1949, 12,5 persen lahan pertanian adalah tanah
wakaf
5. Pada Tahun 1930 di Iran, sekitar 30 persen dari lahan yang ditanami
adalah lahan wakaf. (M.A, Mannan,2001: 13)
Sebuah penelitian yang meliputi
104 yayasan Wakaf di Mesir, Suriah, Turki, Palestina dan Anatoly land,
menyebutkan bahwa dalam kurun waktu 1340-1947, bagian terbesar dari asset wakaf
adalah dalam bentuk real estate, yaitu mencapai 93 % denga rincian sebagai
berikut :
1. 58 % dari
wakaf, terkonsentrasi di kota-kota besar yang terdiri dari toko, rumah dan
gedung.
2. 35 % dari wakaf terdapat di desa-desa yanag terdiri
dari lahan pertanian, perkebunan dan tanaman lainnya.
3. 7
% sisanya merupakan dalam bentuk uang (wakaf tunai) (Ibid). Namun informasi terkini
berdasarkan hasil kajian yang dilakukan oleh Departemen Agama, perolehan wakaf
tunai di Timur Tengah mencapai 20 persen. Menurut Ridwan El-Sayed, wakaf dalam
bentuk uang tunai dan dalam bentuk penyertaan saham telah dikenal pada zaman
Bani Mamluk dan Turki Usmani dan saat ini telah diterima luas di Turki modern ,
Mesir, India, Pakistan, Iran, Singapura dan banyak negara lainnya (Lihat, Proceeding of Seminar Management
and Development of Awqaf Properties, IRTI-IDB, 1987)
.
Menurut Monzer Khaf, kegiatan
wakaf dapat dibagi atas tiga, yaitu wakaf keagamaan, wakaf philanthropic,
dan wakaf family atau wakaf keluarga. Wakaf keagamaan biasanya diperuntukkan
untuk kegiatan keagamaan seperti mesjid. Mesjid Quba di Madinah merupakan salah
satu contoh wakaf keagamaan. Wakaf philantropi antara lain layanan kesehatan,
pendidikan, dan sejumlah fasilitas umum lainnya. Sedangkan wakaf keluarga
biasanya lebih
ditujukan sebagai jaminan untuk kelangsungan hidup dan
kesejahteraan dari keturunan yang ditinggalkan.
PEMBERDAYAAN EKONOMI UMAT MELALUI WAKAF TANAH DAN WAKAF
TUNAI
Berdasarkan
data Departemen Agama Republik Indonesia tahun 2007, bahwa jumlah harta wakaf
dalam bentuk tanah di Indonesia sebanyak 2.686.536.565,68 M2 (2,7 milyar M2)
tersebar di 366.595 (Sula, 2008). Dari keseluruhan tanah wakaf yang ada,
penggunaannya masih didominasi oleh wakaf fisik yang bersifat sosial,
diantaranya 68% digunakan untuk tempat ibadah, 8,51% untuk pendidikan, 8,40%
untuk kuburan dan 14,60% untuk lain-lain. (Suparman Usman, 1994: 48.)
Mengutip sebuah studi yang
dilakukan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah yang mengungkapkan
jumlah unit wakaf yang terdata mencapai hampir 363.000 bidang tanah, dengan
nilai secara nominal diperkirakan mencapai Rp590 triliun.
Data-data di atas menunjukkan bahwa potensi waqaf berupa
lahan di Indonesia sangat besar sekali. Namun potensi waqaf tersebut belum
dimanfaatkan secara produkti sehingga potensi yang begitu tidak memberikan
manfaat yang signifikan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk Indonesia. Paradigma yang keliru tentang wakaf
menjadi kendala bagi pengelolaan wakaf di Indonesia, sehingga saat ini
diperkirakan sekitar 76 persen wakaf di Indonesia tidak dikelola dengan baik,
kata Duta Waqf Fund, Marissa Haque Fawzi. (www.waqafcenter.com).
Oleh sebab itu, agar lahan waqaf yang begitu luas dan
banyak yang tersebar di seluruh Indonesia dapat memberikan manfaat kepada semua
kalangan umat Islam maka lahan waqaf tersebut seyogyanya dikelola dengan baik
melalui unit-unit usaha produktif. Dalam hal ini pengelola waqaf (nazhir)
memiliki tanggungjawab moral untuk memberdayakan tanah waqaf tersebut pada
sentra usaha produktif seperti pembangunan tempat pasar rakyat, usaha
perhotelan, pertokoan, rumah sewa dan sebagainya. Unit-unit usaha tersebut akan
dapat memberikan nilai lebih bagi semua kalangan umat Islam, karena menjadikan
lahan tidur menjadi lahan produktif. Keuntungan dari unit-unit usaha seperti
itu dapat dimanfaatkan untuk kegiatan social, pendidikan, ekonomi lainnya
seperti menunjang pendidikan dengan pendidikan gratis bagi kaum miskin, modal
usaha tanpa bunga bagi kaum miskin, layanan kesehatan gratis, workshop gratis,
beasiswa bagi kaum miskin dan sebagainya.
Di samping waqaf tanah, pada masa sekarang juga mulai
diperkenalkan tunai. Menurut Agustianto (2006), pengembangan wakaf tunai
memiliki nilai ekonomi yang strategis. Dengan dikembangkannya wakaf tunai, maka akan didapat
sejumlah keunggulan, di antaranya adalah sebagai berikut:
Pertama, wakaf uang jumlahnya bisa
bervariasi sehingga seseorang yang memiliki dana terbatas sudah bisa mulai
memberikan dana wakafnya tanpa harus menunggu menjadi orang kaya atau tuan
tanah terlebih dahulu, sehingga dengan program wakaf tunai akan memudahkan si
pemberi wakaf atau wakif untuk melakukan ibadah wakaf.
Kedua, melalui wakaf uang,
aset-aset wakaf yang berupa tanah-tanah kosong bisa mulai dimanfaatkan dengan
pembangunan gedung atau diolah untuk lahan pertanian.
Ketiga, dana wakaf tunai juga
bisa membantu sebagian lembaga-lembaga pendidikan Islam yang cash flow-nya
kembang-kempis dan menggaji civitas akademika ala kadarnya.
Keempat, pada gilirannya, insya
Allah, umat Islam dapat lebih mandiri dalam mengembangkan dunia pendidikan
tanpa harus terlalu tergantung pada anggaran pendidikan negara yang memang
semakin lama semakin terbatas.
Kelima, dana waqaf tunai bisa
memberdayakan usaha kecil yang masih dominan di negeri ini (99,9 % pengusaha di
Indonesia adalah usaha kecil). Dana yang terkumpul dapat disalurkan kepada para
pengusaha tersebut dan bagi hasilnya digunakan untuk kepentingan sosial, dsb.
Keenam, dana waqaf tunai dapat
membantu perkembangan bank-bank syariah, khususnya BPR Syariah. Keunggulan dana
waqaf, selain bersifat abadi atau jangka panjang, dana waqaf adalah dana
termurah yang seharusnya menjadi incaran bank-bank syariah.
Dengan adanya lembaga yang
concern dalam mengelola wakaf tunai, maka diharapkan kontribusi dalam mengatasi
problem kemiskinan dan kebodohan yang mendera bangsa akan lebih signifikan.
Apalagi sebagaimana yang telah dihitung oleh seorang ekonom, Mustafa E.
Nasution, Ph.D, potensi wakaf tunai umat Islam di Indonesia saat ini bisa
mencapai Rp 3 triliun setiap tahunnya. Bahkan bisa jauh bisa lebih besar.
Hal ini, dikarenakan, lingkup
sasaran pemberi wakaf tunai (wakif) bisa menjadi sangat luas dibanding dengan
wakaf biasa. Sertifikat Wakaf Tunai dapat dibuat dalam berbagai macam pecahan
yang disesuaikan dengan segmen muslim yang dituju yang kira-kira memiliki
kesadaran beramal tinggi. Misalkan Rp 10.000,-, Rp 25.000,- 50.000,-, Rp
100.000,- Rp 500.000,- Rp 1.000.000,- Rp 2.000.000.
Jika jumlah umat Islam yang
berwakaf 26 juta saja, maka bisa dihimpun dana lebih dari 22 triliun lebih.
Tingkat
Penghasilan
/bulan Rp
|
Jumlah
Muslim
|
Tarif wakaf/bulan
Rp
|
Potensi
Wakaf
Rp
|
Potensi wakaf/tahun
Rp
|
1000.000
|
12 juta
|
10.000
|
120 milyar
|
1,44 triliun
|
2.500.000
|
6 juta
|
25.000
|
150 milyar
|
1,70 triliun
|
5.000.000
|
4 juta
|
50.000
|
200 milyar
|
2,4 triliun
|
10.000.000
|
2 juta
|
100.000
|
200 milyar
|
2,4 triliun
|
20.000.000
|
1 juta
|
500.000
|
500 Milyard
|
6 triliun
|
30.000.000
|
500.000 orang
|
1000.000
|
500 milyar
|
6 triliun
|
40.000.000
|
100 Orang
|
2.000.000
|
200 milyard
|
2,4 triliun
|
Total
|
22,4 triliun
|
Sumber:
Agustianto, 2006
Potensi ini mesti segera digarap secara profesional
oleh umat Islam Indonesia, khususnya lembaga-lembaga wakaf, bahkan juga oleh
lembaga-lembaga keuangan syariah.
Pentingnya pengembangan wakaf di Indonesia tentunya
berimplikasi pada bagaimana pengelolaan wakaf yang optimal dalam memberikan
pemanfaatan bagi masyarakat. Untuk diperlukan manajemen pengelolaan wakaf yang
profesional, amanah, transparan, dan accountable. Untuk itulah perlu
dilaksanakan peningkatan kualitas dan kapabilitas para nazhir melalui training,
workshop dan kegiatan-kegiatan yang mendukung lainnya.
BEBERAPA
PENDEKATAN PENDAYAGUNAAN WAQAF
Dari itu, beberapa pendekatan
dalam memberdayakan asset waqaf perlu dilakukan di antaranya seperti yang
dilakukan oleh Tabung Waqaf Indonesia (TWI) yaitu melalui tiga pendekatan,
yaitu pendekatan produktif, nonproduktif dan terpadu (gabungan pendekatan
produktif dan non produktif pada satu objek wakaf). (Rozalinda, 2010:708-709).
a) Pendekatan Produktif
Dalam pendekatan ini, TWI mengelola
harta wakaf untuk hal-hal yang sifatnya produktif dan menghasilkan keuntungan.
Lalu keuntungan ini akan dimanfaatkan untuk kemaslahatan masyarakat banyak dengan
tetap mempertahankan nilai pokok dari harta wakaf (Apiko JM dalam
http://www.tabungwakaf. com, 6 Juni 2007, 13.17 WIB). Dalam hal ini, TWI
mengalokasikan dana wakafnya untuk usaha peternakan, perkebunan, penyediaan
sarana niaga dan bentuk usaha produktif lainnya. Dari hasil usaha tersebut,
keuntungannya digunakan untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat miskin.
Penempatan wakaf uang ke sektor
produktif dilakukan agar prinsip “tahan pokok dan nikmati hasil” seperti yang
digariskan dalam hadis Nabi, bisa terwujud. Dana wakaf dari wakif adalah
“pokok”, sedangkan surplus dari pengelolaan dana wakaf adalah “buah”. Hasil
inilah yang dialokasikan untuk program-program seperti pembangunan masjid dan
sekolah. Untuk itu, dalam perwakafan yang harus diperhatikan adalah tetapnya
nilai harta yang diwakafkan. Dalam waktu yang bersamaan wakaf tersebut juga
dapat menghasilkan sesuatu yang dapat disalurkan kepada mauquf alaih. (Apiko:
Ibid).
b) Pendekatan Nonproduktif,
Berdasarkan pendekatan ini, TWI
mengelola harta wakaf untuk hak-hal yang sifatnya tidak menghasilkan keuntungan
(nonproduktif). Manfaat yang ditimbulkan dari harta benda wakaf yang
bersangkutan adalah karena nilai manfaat yang dapat dirasakan oleh masyarakat
sebagai pemetik manfaat wakaf, misalnya TWI mengalokasikan dana wakafnya untuk
investasi pendirian sebuah rumah sakit gratis seperti LKC. Ini berarti tidak
ada pemasukan sama sekali. Dengan demikian, biaya operasional rumah sakit
cuma-cuma tersebut harus dicarikan dari sumber lainnya (Apiko: Ibid). Di samping
itu, TWI juga mendirikan sekolah gratis untuk kaum dhuafa seperti Smart
Ekselensia, sedangkan seluruh biaya operasional dicarikan dari dana lain
seperti zakat, infak, dan sedekah. Wakaf uang yang dialokasikan untuk program
sosial, sejatinya kurang tepat, karena asas-asas wakaf yaitu keswadayaan,
keberhasilan dan kemandirian, kurang terpenuhi di sini.
c) Terpadu
Yaitu program penyaluran wakaf
untuk sarana dan prasarana institusi pelayanan umat dikombinasikan dengan
program wakaf dalam bentuk sarana niaga, properti, perkebunan, perdagangan,
pertanian, dan lain-lain. Surplusnya disalurkan untuk kaum dhuafa dan atau
untuk operasional institusi pelayanan umat dalam satu area program (Apiko:
1430:17). Seperti Rumah Cahaya, sarana perpustakaan dan pelatihan penulisan
bagi masyarakat umum yang dikombinasikan dengan aset properti yang disewakan. Kemudian surplusnya digunakan untuk
mendukung program perpustakaan dan pelatihan penulisan. Wakaf perkebunan
cokelat dan kelapa di Kabupaten Banggai Sulawesi Tengah pun merupakan bentuk
program wakaf terpadu TWI. Hasil dari perkebunan cokelat dan kelapa ini
digunakan untuk mendanai SMU Mansamat yang berada di daerah itu.
MEKANISME WAQAF TUNAI DAN WAQAF TANAH
Dalam rangka pelaksanaan waqaf tunai dan waqaf tanah maka
diperlukan kerjasama dan mekanisme para pihak terkait di antaranya waqif,
pengelola waqaf (nazhir), lembaga waqaf, lembaga keuangan syariah (LKS),
Instansi Pemerintah, unit usaha dan sebagainya. Bentuk kerjasama dan mekanisme
tersebut dapat diilustrasikan sebagai berikut:
Mekanisme Kerjasama Waqaf Tanah
Sumber: diolah oleh Penulis dari Rahmat Hidayat, 2010
Berdasarkan gambar di atas maka dapat dijelaskan bahwa
diperlukan kerjasama yang kuat di antara berbagai pihak. Di mana menyerahkan lahannya kepada pengelola waqaf
(nazhir), kemudian nazhir melakukan kerjasama dengan pihak lembaga waqaf,
seterusnya lembaga waqaf melakukan kerjasama dengan unit usaha tertentu untuk
diinvestasikan tanah tersebut menjadi lahan produktif seperti pembangunan rumah
untuk disewakan, pasar untuk disewakan, perhotelan, pertokoan dan sebagainya.
Dan seterusnya, keuntungan tersebut dibagihasilkan antara lembaga waqaf dan
unit usaha menurut proporsi keuntungan yang disepakati. Dan keuntungan tersebut
dikembalikan kepada nazhir serta disalurkan kepada sasaran-sasaran waqaf
(al-mauquf alaih) seperti pembangunan sarana dan prasarana pendidikan,
kesehatan, gaji pegawai lembaga pengelola waqaf, modal usaha dan sebagainya.
Sedangkan untuk waqaf tunai, maka juga harus melalui
sebuah mekanisme dan kerjasama di antara berbagai pihak. Hal ini dapat
dijelaskan dalam bagan alur berikut ini:
Kerjasama Dan Mekanisme Waqaf
Tunai
Sumber:
Rahmat Hidayat, 2010
Berdasarkan
gambar bagan alur di atas maka dapat dijelaskan bahwa mekanisme dan kerjasama
yang diperlukan dalam memberdayakan waqaf tunai dimulai oleh lembaga waqaf
sendiri yaitu dengan melakukan kerjasama dengan pemerintah agar menerbitkan
sertifikat waqaf tunai dengan berbagai nominalnya. Seterusnya sertifikat
tersebut diserahkan kepada lembaga keuangan syariah dan memasarkannya. Setelah
proses penghimpunan dana melalui pemasaran sertifikat waqaf tersebut dilakukan,
seterusnya dana yang terkumpulkan tersebut diinvestasikan pada proyek-proyek
yang produktif dan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Keuntungan dari
investasi tersebut dimanfaatkan untuk disalurkan kepada sasaran waqaf seperti
layanan kesehatan, layanan pendidikan, beasiswa dan sebagainya. Karena investasi
memiliki karakteristik yang berbeda, maka untuk menjaga keabadian dana waqaf
tersebut diperlukan lembaga penjamin yang akan menjaga keutuhan dana waqaf dari
kerugian.
Dalam
melakukan investasi, pihak pengelola waqaf bisa saja melakukannya sendiri
ataupun mewakilkan kepada pihak lain. Apabila pihak pengelola waqaf
melakukannya sendiri, maka seluruh total keuntungan akan diterima oleh pihak
pengelola waqaf. Sedangkan apabila pengelola waqaf melakukan kerjasama dengan
pihak lain, maka keuntungan tersebut dibagihasilkan sesuai dengan kesepakatan.
Berikut ini akan ditampilkan bentuk pembiayaan yang dilakukan secara langsung
oleh pihak pengelola waqaf:
Model Pembiayaan Dengan System Direct Financing
Sumber:
Diolah penulis dari Rahmat Hidayat, 2010
Berdasarkan
gambar di atas maka dapat dijelaskan bahwa nazhir bertindak sebagai pihak
pertama sebagai pemegang amanah waqaf sedangkan investor bertindak sebagai
pihak kedua yang diberikan kepercayaan oleh nazhir untuk melakukan investasi.
Oleh sebab itu, keuntungan dari proyek investasi dibagihasilkan antara nazhir
dan investor. Dan apabila terjadi kerugian dalam proyek investasi, maka
kerugian tersebut ditanggung oleh lembaga penjamin sehingga dana waqaf dikembalikan
secara utuh kepada pihak nazhir. Sedangkan dalam gambar berikut ini merupakan
penjelasan tentang mekanisme pembiayaan indirect financing:
Pembiayaan Dengan Sistem Indirect
Financing
Sumber:
Diolah penulis dari Rahmat Hidayat, 2010
Berdasarkan
gambar di atas, maka dapat dijelaskan bahwa nazhir bertindak sebagai pihak
penyandang dana (modal), sedangkan lembaga keuangan syariah bertindak sebagai
pihak yang mengatur/ mempertemukan antara pihak nazhir dengan pihak pelaksana
investasi. Oleh sebab itu, keuntungan hanya dibagihasilkan antara pihak nazhir
dengan pihak pelaksasna investasi. Sedangkan lembaga keuangan syariah hanya
menerima fee saja. Dan apabila terjadi kerugian, maka kerugian tersebut
ditanggung oleh lembaga penjamin. Sehingga modal yang bersumber dari dana waqaf
dikembalikan seutuhnya kepada pihak nazhir.
PENUTUP
Berdasarkan uraian-uraian terdahulu maka dapat
disimpulkan bahwa potensi waqaf tanah di Indonesia sangat besar sekali. Berdasarkan data Departemen Agama Republik
Indonesia tahun 2007, bahwa jumlah harta wakaf dalam bentuk tanah di Indonesia
sebanyak 2.686.536.565,68 M2 (2,7 milyar M2) tersebar di 366.595. Namun potensi
tersebut belum dimanfaatkan secara maksimal oleh pengelola waqaf karena lahan
tersebut belum dimanfaatkan dalam bentuk produktif. Oleh sebab, pengelolaan
waqaf dalam bentuk produktif sangat urgen dilakukan. Karena melalui pemanfaatan
waqaf dalam bentuk produktif akan memberikan manfaat yang begitu banyak bagi
peningkatan kesejahteraan umat Islam.
Di samping potensi waqaf tanah yang begitu besar, terdapat satu bentuk
waqaf lagi pada masa sekarang yaitu waqaf tunai. Dinamakan tunai karena
kebalikan dari waqaf tanah. Waqaf tunai bisa terdiri dari uang, surat berharga,
cheque dan sebagainya. Dalam waqaf tunai terdapat keistimewaan yaitu
keistimewaannya terletak pada kemudahannya. Di mana pewakaf tidak perlu
menunggu sampai memiliki lahan berhektar-hektar akan tetapi setiap orang bisa
melakukan kegiatan wakaf dengan berbagai nominalnya. Berdasarkan proyeksi
potensi waqaf tunai di Indonesia, maka diketemukan bahwa waqaf tunai memiliki potensi
yang begitu. Hal ini mengingat populasi umat Islam yang begitu besar yaitu
mencapai 85,1 % atau 204,471,065,222.00 jiwa dari total penduduk Indonesia yang
berjumlah 240,271,522,000 jiwa.
Dua bentuk waqaf di atas, diyakini akan dapat memberikan solusi bagi
berbagai permasalahan pembangunan di Indonesia. Untuk itu, diperlukan beberapa
pendekatan dalam pengelolaan waqaf. Di antaranya melalui waqaf produktif, waqaf
non-produktif dan waqaf produktif-nonproduktif.
Di samping itu, juga diperlukan peningkatan sumber daya nazhir waqaf
(pengelola waqaf). Hal ini dimaksudkan agar dapat memaksimalkan nilai
produktifitas waqaf baik diinvestasikan sendiri oleh lembaga pengelola waqaf
atau dengan melakukan kerjasama dengan pihak perbankan maupun instansi
pemerintah.
REFERENSI
Abu Su’ud Muhammad, 1997, Risalah fi Jawazi Waqf al-Nuqud, Beirut,
Dar Ibn Hazm
al-Khathib al-Syarbaini, T.Th,
Mughni al-Muhtaj, Beirut: Dar al-Fikr
Al-Mawardy, Al-Hawi al-Kabir,
Tahqiq, Mahmud Mukhraji, (Beirut Dar al-Fikri, 1994), Juz IX
al-Ramli, 1984, Nihayah al-Muhtaj
ila Syarh al-Minhaj, Beirut: Dar alFikr
Apiko
JM, Di Balik Pendirian Tabung Wakaf Indonesia, http://www.tabungwakaf.
com, 6 Juni 2007, 13.17 WIB
Apiko
JM, Program Wakaf TWI, Tawadu Media Tabung Wakaf Indonesia, edisi 04,
Tahun II 1430 H
Ibn Abidin, Rad al-Mukhtâr
ala al-Dâr al-Mukhtâr Syarah Tanwir al-Abshâr
Kahf, M, (1999), Towards
the Revival of Awqaf: A Few Fiqhi Issues to Reconsider,
Khalil, Jabril. 2008. Standarisasi Nazhir Wakaf Uang
Profesional, Al-Awqaf, Vol. 1, Nomor 01, Desember 2008.
M.A, Mannan, 2001, Sertifikat
Wakaf Tunai, terjemahan, Jakarta, UI
MA, Mannan, Mobilization
Effors Cash Waqf Fund at Local, National and International Levels for
Development of Sosial Infrastructure of the Islamic Ummah and Establishment of
World Sosial Bank, makalah disampaikan dalam International Seminar on
Awqaf 2008; Awqaf: The Social and Economic Empowermant of the Ummah,
Malaysia, 11-12 Agustus 2008
Michael Dumper, 1994, Wakaf Muslimin di Negara Yahudi, (Jakarta
: Penerbit Lentera,
Monzer Kahf, 2000, Al-Waqf
al-Islâmī Tathawwaruh, Idâratuh, Tanmiyatuh, (Damaskus: Dâr al-Fikr
Nasution,
Mustofa E.. 2008. Peran Badan Wakaf Indonesia (BWI) dalam Pengembangan
Nomor
01, Desember 2008.
Paper Presented at the Harvard
Forum on Islamic Finance and Economics, October 1, 1999, Harvard University,
U.S.A.
Proceeding of Seminar Management
and Development of Awqaf Properties, IRTI-IDB, 1987
Qahaf,
M, (2005),Manajemen Wakaf Produktif, Jakarta: Khalifah
Rahmat Hidayat, 2010, Potensi wakaf untuk pembangunan
Perumahan di Indonesia dalam Seventh International Conference – The Tawhidi
Epistemology: Zakat and Waqf Economy, Bangi 2010
Sula,
Menakar Kerjasama Nazhir dengan Lembaga Keuangan Syariah, Al-Awqaf, Vol. 1
,
Suparman Usman, Hukum Perwakafan di Indonesia, (Kudus:
Percetakatan Menara Kudus, 1994
Uswatun
Hasanah, Wakaf Uang dalam Bentuk Investasi, Modal No.26-Maret 2005
Wakaf di Indonesia, Al-Awqaf, Vol. 1,
Nomor 01, Desember 2008.
http://www. id.wikipedia.org
BPS dalam www.acehutara.go.id
infonya terima kasih tapi sedikit terjanggal di fikiran saya yaitu manakah yang termasuk waqaf non produktif?
BalasHapus