Deskripsi Diri

Khairil Anwar, SE, M.Si lahir di Paya Naden pada 20 April 1978 dari pasangan Tengku Umar bin Abu Bakar dan Fatimah binti Muhammad. Gelar Sarjana di peroleh dari Unsyiah Banda Aceh, sementara gelar Magister di peroleh dari SPs-USU Medan. Sejak tahun 2002 sampai saat ini bekerja sebagai dosen pada Prodi IESP Fakultas Ekonomi Universitas Malikussaleh. Menikah dengan Riza Izwarni dan telah dikarunia dua orang anak; Muhammad Pavel Askari dan Aisha Naury.

Rabu, 28 Desember 2011

Redenominasi Rupiah Supaya Gagah? Belum Perlu


Rencana  redenominasi rupiah kembali marak diperbincangkan. Bank Indonesia ingin rencana ini mulai terwujud pada 2013. Pemerintah sepakat, dan bergegas mengajukan rancangan undang-undang ke DPR.

Secara bahasa, denominasi artinya sebutan nilai nominal uang. Jadi, re-denominasi berarti perubahan penyebutan nilai uang (BI lebih suka menyebutnya “penyederhanaan nilai mata uang”). Melalui redenominasi, BI akan menjadikan denominasi Rp 1000 menjadi Rp 1 dengan nilai yang sama. Tidak berkurang.

Tujuannya apa? Sederhana, yaitu agar rupiah seolah gagah. Tidak timpang dengan mata uang negara lain, terutama yang satu kawasan. Jika kini $ 1 dihargai Rp 9.500, misalnya, kelak hanya Rp 9,5.

Namun di balik rencana yang sepertinya sederhana itu ada ongkos besar! Berikut ini adalah biaya ekonomi dan sosial jika redenominasi berjalan:

Mencetak uang baru
Proyek percetakan uang sudah pasti di depan mata.  Ini proyek raksasa, dengan biaya yang raksasa pula. Dan sangat rentan bocor. Ingat kasus dugaan korupsi pengadaan uang kertas pecahan Rp 100 ribu yang dibuat di Australia? Nilainya mencapai Rp 12 miliar. Sekarang kasusnya sudah menghilang pelan-pelan dari perhatian publik.

Proyek sosialisasi
Bank Indonesia sudah merencanakan masa sosialisasi selama dua tahun. Anggaran yang disiapkan untuk kegiatan ini jelas tidak akan kecil. Ada perkiraan, biaya keseluruhan untuk mencetak uang baru dan proyek sosialisasi bisa mencapai Rp 10 triliun.

Proyek ini bisa digunakan untuk membiayai para pendukung kebijakan. Bisa jadi, setelah DPR menyetujui misalnya, jumlah kuantitas seminar dan diskusi di Jakarta terutama, akan naik lantaran ada injeksi dari proyek sosialisasi ini. Dan asosiasi perusahaan iklan pun harus merevisi proyeksi belanja iklan.

Masyarakat bisa panik
Ada pula kemungkinan bencana atau kekacauan. Bayangkan ketika Anda membeli ikan mas seharga Rp 17 (padahal biasanya Rp 17 ribu), misalnya. Para pedagang sayur atau yang berada di pasar basah tentu bakal kaget.

Apalagi selama masa transisi, masyarakat diperbolehkan berbelanja baik dengan uang baru (hasil redenominasi) maupun lama. Anda bisa saja berbelanja senilai Rp 1.200 dan membayar dengan uang Rp 2. Lalu dapat kembalian Rp 800. Apa tidak kaget dan bingung?

Pembulatan harga
Hati-hati terhadap pembulatan harga. Misalnya, jika saat ini sebuah barang dijual Rp 2.400, bisa jadi nanti dibulatkan ke Rp 3 (uang baru). Pembulatan ini akibat keinginan mengambil jalan pintas alias gampangnya saja.

Padahal, dengan pembulatan seperti itu, ada kenaikan harga sebesar Rp 600 rupiah dengan uang yang saat ini berlaku. Konsumen jelas sangat dirugikan. Dan potensi kenaikan inflasi atau penurunan nilai mata uang, bisa tak terelakkan.

Ongkos penyesuaian
Dunia usaha dan perbankan pun harus menyesuaikan diri dengan kebijakan ini melalui perubahan standar harga dan biaya. Daftar harga makanan di restoran harus dicetak ulang. Software komputer harus disesuaikan. Mesin hitung mungkin saja harus diganti. Bagi usaha kelas kecil dan menengah, biayanya tidak sedikit.

Jika dihitung-hitung, ongkos ekonomi dan sosial dari redenominasi terlalu mahal di tengah situasi yang tidak menguntungkan bagi rakyat. Krisis global belum pulih. Hal ini bahkan, bisa segera merambat ke dunia usaha di dalam negeri yang selanjutnya berpotensi mempengaruhi kondisi ketenagakerjaan.

Tidak ada gunanya membebani rakyat dengan menelurkan kebijakan yang bisa bikin panik. Kalau memang Gubernur BI Darmin Nasution ingin meninggalkan warisan pada akhir masa jabatannya 2013 kelak, sebaiknya carilah kebijakan lain. Yang lebih arif.

Herry Gunawan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar