Keberadaan suatu teori sangat diperlukan untuk memberikan eksplanasi terhadap pelbagai fenomena dengan melihat pada:
(1) unit analisisnya (individu, komunitas, organisasi, negara, asosiasi regional, atau gabungan antara pelbagai aktor);
(2)
 tingkat analisisnya (mikro, mezzo atau makro yang juga identik dengan 
lokal/kecil, nasional/menengah, dan internasional/ besar);
(3) keterkaitan antara variabel-variabelnya (independen atau dependen);
(4) regularitasnya, yaitu apakah pola-pola tertentu berulang;
(5) kemungkinan untuk melakukan generalisasi terhadap suatu fenomena tertentu; serta
(6) memprediksi konsekuensi-konsekuensi yang mungkin ditimbulkan oleh suatu fenomena tertentu.
Banyak
 pengamat beranggapan bahwa valid atau tidaknya suatu teori dapat 
dinilai dan solid atau tidaknya proposisi-proposisi yang dikemukakannya;
 jelas atau tidaknya gambaran tentang keterkaitan antarvariabel yang ada
 dan lemah atau kuatnya daya prediksi teori tersebut.
Walaupun 
tidak semua teori harus mampu melakukan prediksi, sebuah teori 
sekurang-kurangnya harus mampu memberikan eksplanasi logis terhadap 
berbagai kejadian yang ada. Sebagai contoh, dalam disiplin hubungan 
internasional teori Balance of Power (Perimbangan 
Kekuatan) yang dikemukakan kaum Realis dapat menjelaskan perilaku 
ofensif sebuah negara. Dengan berasumsi bahwa setiap negara mempunyai 
kecenderungan untuk memaksimalkan pencapaian kepentingan nasional dan 
kewajiban untuk meminimalisir ancaman dari luar, maka teori ini dapat 
memberikan eksplanasi logis terhadap perlombaan persenjataan serta 
persekutuan dan perseteruan antarnegara. Di dalam konteks pembangunan ekonomi,
 Teori Ketergantungan (Dependency) mengeksplanasi ketimpangan hubungan 
ekonomi antara negara maju dan berkembang. Menurut teori ini. hubungan 
eksploitatif yang memungkinkan repatriasi surplus produksi dari 
negara-negara satelit ke negara-negara pusat (metropok) telah membagi 
dunia menjadi dua bagian: negara-negara maju yang dengan kekuatannya 
mendominasi pasar dunia, dan negara-negara terbelakang yang 
terus-menerus menyuplai produk dan profit ke negara-negara maju.
Di dalam bisnis internasional
 terdapat salah satu macam pendekatan yang umum dipakai oleh para pakar 
dalam menganalisis fenomena transaksi ekonomi antarbangsa di berbagai 
literatur, yauit adalah: pendekatan beroirentasi kekuasaan (power).
Pendekatan Kekuasaan (power)
Pendekatan
 ini menekankan pada pentingnya faktor kekuasaan di dalam menganalisis 
hubungan ekonomi antarbangsa. Sebagaimana dikatakan Robert Keohane 
(1984: 21): “Di dalam perekonomian dunia, kapan pun juga, para pelakunya
 menggunakan kekuasaan (power) untuk saling memberikan pengaruh satu 
sama lain agar dapat mencapai tujuan masing-masing. Hal inilah yang 
membuat ekonomi internasional sarat dengan muatan politik”. Secara 
sederhana, kekuasaan dapat dipahami sebagai kemampuan suatu pihak 
(individu maupun lembaga) untuk mencapai tujuan, baik dengan cara 
persuasi maupun pemaksaan kehendak. Di dalam bukunya, Economy and 
Society (1978 [1956]: 53), Max Weber mendetinisikan kekuasaan sebagai: 
“suatu situasi di mana aktor tertentu dalam melakukan hubungan sosial 
cenderung melakukan kehendaknya sendiri dalam menghadapi resistensi yang
 datang dari pelbagai pihak”.
Sistem ekonomi pasar
 pun tidak lepas dari unsur kekuasaan. Sekalipun para petnikir liberal 
beranggapan bahwa mekanisme pasar dapat dengan sendirinya menciptakan 
kemakmuran bersama, persoalan bagaimana kemakmuran itu didistribusikan 
sering kali menjadi masalah besar. Elemen kekuasaan sering kali terlibat
 dalam menentukan siapa menerima bagian terbanyak di dalam berdaulat). 
Sejak akhir 1970-an, negara menjadi perhatian utama para pakar 
ekonomi-politik bersamaan dengan makin kuatnya perspektif negare dalam 
wacana politik. Ada dua hal yang mendorong negara dalam mendominasi 
kegiatan politik-ekonomi. Pertama, kecenderungan negara untuk selalu 
“mengungguli” pelbagai kekuatan kemasyarakatan dan membendung pelbagai 
tekanan yang datang dari kelompok maupun organisasi di luar negara. 
Keunggulan ini ditentukan oleh pelbagai cara. Pada masyarakat 
demokratis, keunggulan negara ditentukan oleh proses bargaining 
(tawar-menawar), sedangkan pada masyarakat nondemokratis, keunggulan 
negara sering ditentukan oleh penggunaan kekerasan. Kedua, negara 
dianggap mampu untuk memaksakan kehendaknya kepada rakyat bilamana 
perlu. Dalam konteks ini Eric Nordlinger (1981) berbicara tentang strong
 state yang mengacu pada kemampuan negara untuk melakukan keinginannya 
tanpa hambatan berarti dari pihak-pihak lain. Karena negara memonopoli 
penggunaan kekerasan dan berhak untuk melindungi kepen-tingannya dengan 
seperangkat peraturan dan undang-undang, maka posisinya selalu sebagai 
pemegang privilege (hak istimewa) di dalam proses tawar-menawar dengan 
kekuatan-kekuatan yang datang dari masyarakat.
Di dalam kajian 
ekonomi-politik internasional, teori yang dianggap paling mewakili 
pendekatan berorientasi pada kekuasaan adalah Teori Stabilitas Hegemoni 
(Hegemonic Stability Theory). Oleh para pencetusnya — Charles 
Kindleberger, Stephen Krasner, dan Robert Keohane — teori ini dipakai 
untuk menjelaskan stabilitas perdagangan internasional di
 bawah payung hegemoni Amerika Serikat. Teori ini berangkat dari asumsi 
bahwa stabilitas perekonomian dunia dapat tercipta jika ada satu 
kekuatan hegemonis yang kekuatannya militer maupun ekonomi — tidak dapat
 diimbangi oleh negara mana pun (Hadiwinata, 1993: 17). Stabilitas 
terjadi karena negara hegemonis dapat menggunakan sumber-sumber yang 
dimilikinya (termasuk kekuatan militer) untuk memaksa pihak lain agar 
mematuhi peraturan dan standar perilaku internasional (Kindleberger, 
1973; Krasner, 1976; Gilpin, 1987).
Robert Cox (1993: 62) 
menggambarkan hegemoni sebagai suatu manifestasi struktur sosial, 
ekonomi, dan politik yang diekspresikan dalam bentuk normanorma 
universal, institusi-institusi dan mekanisme-mekanisme yang mendasari 
aturan dan tingkah laku negara serta civil society yang melampaui 
batas-batas nasional — suatu tatanan yang menopang mode produksi yang 
dominan. Di bawah hegemoni AS sistem perdagangan bebas dapat menjamin 
terjadinya Balance of Power dan stabilitas. Menurut Kindleberger (1973),
 bagaimanapun liberalnya sebuah sistem internasional, stabilitas tidak 
akan pernah terwujud jika tidak ada kekuatan hegemonis yang dapat 
“menghukum” para pelanggar atau “memberikan imbalan” bagi mereka yang 
mematuhi peraturan maupun ketentuan.
Pada masa pasca-Perang Dunia 
II, proyek rekonstruksi politik-ekonomi dunia dijalankan di bawah 
pengawasan AS sebagai kekuatan hegemonis. Proyek ini meliputi Marshall 
Plans, pembentukan lembaga keuangan internasional IBRD (World Bank) dan 
IMF, serta pelembagaan sistem perdagangan bebas dalam bentuk GATT 
(General Agreement on Tariffs and Trade). Melalui lembaga-lembaga 
tersebut AS — dengan dibantu oleh Eropa Barat — memberlakukan sistem 
pasar bebas. Hingga awal dekade 1970-an AS berperan sebagai penjamin 
sistem pertukaran dunia melalui pemberlakuan sistem koversi langsung US 
dollar terhadap harga emas. Sekalipun pada dekade 1980-an, sistem 
perdagangan bebas sempat terguncang oleh berbagai konflik yang 
melibatkan AS, Jepang, dan Uni Eropa, namun pada dekade 1990-an AS 
kembali memainkan peran besar dalam memberlakukan prinsip perdagangan 
bebas di dalam konteks WTO (World Trade Organization). Sejak pertemuan 
Marakesh pada tahun 1994, agenda WTO dapat disesuaikan dengan 
kepentingan AS untuk menciptakan sistem perdagangan dunia yang bebas dan
 terbuka. Secara ekonomis, sistem perdagangan bebas memang lebih 
menguntungkan negara-negara besar yang dapat dengan mudah berpindah dari
 satu bidang ke bidang lainnya.
Teori Stabilitas Hegemoni 
beranggapan bahwa sistem kapitalisme dunia yang berlaku saat ini erat 
berkaitan dengan dominasi AS. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah: 
Mengapa AS begitu dominan? Gilpin (1981) berusaha menjawab pertanyaan 
ini dengan menyatakan bahwa di dalam sistem perekonomian
 bebas — di mana para aktor bebas untuk melakukan transaksi — mereka 
yang berproduksi secara lebih efisien akan menghasilkan keuntungan lebih
 dari yang lainnya. Maka, tidak mengherankan jika AS — yang dianggap 
paling efisien secara ekonomis maupun politis — menjadi kekuatan 
terbesar dunia tanpa dapat diimbangi oleh negara-negara lain (Gilpin, 
1981: 129). Alasan lain- nya adalah perang dingin.
Pembagian dua 
kubu Liberalistne/Kapitalisme dan Komunisme/Sosialisme — di mana AS 
tampil sebagai pembela utama ke-kuatan liberal-kapitalis seolah-olah 
memberikan justifikasi bagi pelbagai aksi militer dan ekonomi AS di 
pelbagai wilayah dunia. Dengan dalih untuk menciptakan stabilitas 
perekonomian dunia dan upaya untuk membendung pengaruh ideologi radikal 
komunisme, maka AS merasa berhak untuk tnenggunakan kekuatan militernya 
yang besar untuk mengukuhkan diri sebagai sebuah kekuatan hegemonik 
dunia (Hadiwinata, 1993: 11).
Secara historis, kebenaran asumsi 
teori ini dibuktikan oleh fakta bahwa sejak masa prasejarah hingga saat 
ini stabilitas politik ekonomi dunia tercipta di bawah perlindungan 
kekuatan-kekuatan hegemonik seperti Imperium Ro-mawi pada masa Pax 
Romana (100 SM – 300), Belanda pada masa Par Ho!-landa (1200-an hingga 
1600-an), Inggris pada masa Pax Britanica (1600-an hingga awal 1900-an),
 dan AS pada masa Pal: Americana (1940-an hingga saat ini). Pax 
Americana bermula dari pertumbuhan pesat perekonomian AS. Antara tahun 
1946 – 1949, AS menikmati surplus neraca pembayaran yang sangat 
signifikan.
Supreinasi teknologi dan kapasitas organisasional 
bangsa Amerika telah menghasilkan penumpukan kesejahteraan dari hasil 
transaksi produk dan jasa. Melalui pelbagai perusahaan multinasionalnya 
yang tersebar ke mancanegara, AS mengontrol perekonomian dunia. Pada 
awal dekade 1970-an, misalnya, perusahaan-perusahaan multinasional AS 
menguasai 52 persen dari seluruh investasi asing di dunia. Maka bagi AS,
 proteksionisme atau nasionalisme ekonomi dianggap berbahaya karena 
dapat menghambat peredaran barang dan jasa serta merusak kelancaran 
aliran modal antarnegara. Dalam konteks ini AS memainkan peran sebagai 
“bearer of world capitalist leadership” (pemimpin kapitalisme dunia) 
dengan menekankan pada prinsip pasar bebas keterbukaan (Krasner, 1982).
Terlepas
 dari fakta yang mendukung kebenaran asumsi-asumsinya, Teori Stabilitas 
Hegemoni mendapat kritikan tajam dari beberapa pakar. Salah seorang 
pengkritiknya, Robert Keohane, justru adalah orang yang sebelumnya 
merupakan salah satu pencetus teori ini. Menurut Keohane (1984), ukuran 
kekuatan (power) suatu negara yang dipakai teori ini terlalu 
mengandalkan pada faktorfaktor yang dapat dilihat (tangible resources) 
seperti GDP (Gross Domestic Product), kekuatan militer, pemilikan 
sumber-sumber alam, jumlah penduduk, luas wilayah, dan lain-lain; serta 
kurang memberikan perhatian pada faktorfaktor yang tidak dapat dilihat 
(intangible resources) seperti kemampuan diplomasi, dukungan 
internasional yang diperoleh suatu negara, kemampuan untuk menarik 
investor asing, kemampuan untuk melakukan inovasi teknologi, dan 
lain-lain. Keohane bahkan sangat meragukan kemampuan negara hegemonik 
untuk mendiktekan kemauannya di dalam rezim moneter maupun perdagangan 
internasional. Sejak pertengahan dekade 1970-an AS tampak semakin 
kewalahan dalam upaya untuk mempertahankan peran “kepemimpinannya” dalam
 menyelesaikan pelbagai krisis moneter yang dialami negara-negara 
berkembang, terutama di Amerika Latin dan Afrika (Keohane, 1984: 102). 
Di dalam perdagangan internasional pun dominasi AS semakin 
menurun, terbukti ketika pada awal dekade 1970-an negara ini tidak mampu
 menjaga kestabilan dunia akibat aksi embargo minyak yang dilancarkan 
oleh negara-negara anggota OPEC (Or-ganization of Petroleum Exporting 
Countries). Di dalam forum GATT pun peran AS semakin menurun, terutama 
ketika banyak permintaan negara-negara anggota EC (European Community) 
yang lebih diakomodasi di dalam peraturanperaturan GATT.
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar