Irwandi dan Buah Berkulit Tikar
Sabtu, 26 Nopember 2011 WIT
Ini kisah tentang masa kecil seorang anak bernama Irwandi Yusuf.
Irwandi kecil adalah seorang anak yang ingin tahu segala hal. Ketika
anak seusianya membuat mobil mainan berbentuk truk atau bus, Irwandi
malah membuat tank perang. Ia juga menjadikan batang pisang di belakang
rumahnya sebagai 'partner' latihan karate.
TERLETAK di sebuah tikungan kawasan Bireuen, gampong –kampung-- itu
berhadap-hadapan dengan rawa bernama Paya Kareung. Bila berjalan dari
arah Banda Aceh menuju Medan, setelah melewati kota Bireuen, maka
perkampungan ada di sebelah kiri, paya –rawa-- ada di kanan jalan.
Terbentengi bantaran Irigasi, inilah gerbang Gampong Sagoe.
Di situlah bermukim seorang guru agama yang juga guru ngaji,
bernama Muhammad Yusuf, bersama istrinya, Nafsiah Puteh. Pengantin yang
baru setahun berkeluarga, tentu merindukan buah hati. Masa itu tiba pada
pukul 12.00 WIB, 2 Agustus 1960, Yusuf duduk gelisah di ruang tamu
rumahnya di Gampong Sagoe itu.
Maklum, isterinya, Nafsiah, yang sedang hamil tua sedang berjuang
bersama dukun beranak, Fatimah, di dalam kamar sayap kanan rumahnya. Ini
sebuah proses persalinan yang biasa di masa itu, tetapi Yusuf cemas
sebab sedang menanti kelahiran anak pertamanya.
Begitu mendengar tangisan bayi, Yusuf reflek terbangun dari
duduknya. Lalu buru-buru menuju kamar. “Ka lahee aneuek agam,” kata sang
istri, Nafsiah, kepadanya. Sang suami mengangguk tersenyum. Ini adalah
putra pertama mereka. “Lon boeh nan Irwan. (Saya beri nama: Irwan),”
kata Nafsiah.
Oleh Zainal Abidin –Nek Teungku--, ayah kandung Yusuf, menambahkan
'Di' di belakang nama Irwan. Jadilah Irwandi, lalu satu suku kata lagi
yaitu Yusuf adalah penggalan nama belakang ayahnya, Muhammad Yusuf.
Jadilah Irwandi Yusuf. Kelahiran Irwandi hanya disambut khanduri
kecil-kecilan. Maklum desa yang penuh hutan belukar itu masih sepi, baru
ada 30 rumah tanpa penerangan listrik.
Irwandi tumbuh bersama bocah-bocah kecil lainnya di Gampong Sagoe
dengan ciri khas rambut tegak lurus. Kata orang kampung, “balon
beureutoh meunyoe keuneung ok gobnyan (balon meletus jika kena
rambutnya).” Di usia lima tahun, dia sudah mahir membaca Al-Quran.
Gurunya tak lain adalah kakeknya, Zainal Abidin yang akrab disapa
Teungku Gampong, kadang-kadang dia belajar pada ayahnya, Yusuf. Sesekali
yang bertindak menjadi guru adalah Nafsiah, ibunya.
Sering, Nafsiah kerepotan dengan pertanyaan putra sulungnya saat
belajar itu. Termasuk tentang kelahiran adik-adiknya. “Adek bayi nyoe
ata dipeutroen dari kapai (adik-adik diturunkan dari pesawat),” kata
Nafsiah. Mendengar penjelasan ibunya, Irwandi hanya tersenyum saja.
Akhirnya, Nafsiah menyadari sifat Irwandi yang selalu penuh
pertanyaan itu. “Jih meunan droe. Miseu lagee tapeureuno beut, keun ka
ta kheun sigoe trok bah jih meuphom, watee ta kheuen sigoe treuek nyan
langsong jikheuen 'pu neukheun sabe- sabe? ' Peue syit yang lon pike
meuseu neukheun sabe-sabe (Dia –sifatnya-- memang begitu. Misalnya
ketika kita mengajarkannya membaca Al-Quran, kita akan membaca satu kali
lagi agar dia memahaminya, waktu kita baca lagi langsung saja dia
katakan kenapa membaca berkali-kali? Kalau Ibu membaca berkali-kali lalu
apa yang harus saya fikirkan lagi),” kata Nafsiah.
Tempat pengajian ini memang berada di rumah keluarga besar Irwandi.
Semua anak-anak di kampung itu belajar mengaji di sini, maklum Nek Imum
adalah seseorang yang sangat dihormati di sini. Keluarga Irwandi
dikenal sebagai keluarga terpandang di desanya. Selain seorang imam, Nek
Teungku --kadang juga disapa Teungku Denon--, sang kakek, sebelum
kemerdekaan adalah wakil/orang kepercayaan Ampon Chiek Peusangan untuk
kawasan Gampong Sagoe dan sekitarnya. Adapun Yusuf, ayah Irwandi,
selain seorang guru agama di Madrasah Ifitaiyah Negeri (MIN) Cot Bada,
Peusangan, dia adalah Geuchik Gampong Sagoe.
****
Bagi Irwandi, semua yang dilihat dan belum dimengertinya selalu
menjadi pertanyaan. Suatu kali, dia penasaran dengan sejenis buah-buahan
yang membuatnya sampai menelan ludah. Glek. Keinginannya makin menggoda
manakala melihat tetangga membawa pulang buah berkulit tikar itu.
Tak tahan, Irwandi pun merengek pada ibunya untuk membeli.
“Mak, neublo boh kaye nyan that hawaku, lagee tika kulet boh kaye
nyan (Mamak, belikan aku buah-bauhan, aku sangat menginginkannya,
buah-buahan itu kulitnya mirip tikar),” katanya. Tentu saja Nafsiah
bingung. “Kiban boh kayee lagee tika (bagaimana buah-buahan yang mirip
dengan tikar itu)?” dia bertanya.
Melihat ibunya kebingungan, Irwandi pun berlari-lari kecil ke rumah
tetangganya, dia mencari di tempat sampah. Setelah menemukan kulit
buah-buahan yang mirip tikar itu, Irwandi memberikan pada ibunya sambil
berkata, “nyoe, kulet boh kayee nyang lagee tika nyan.”
Sembari tersenyum, Nafsiah berkata: “oh nyan boh meuria, hana
mangat hai nyak, nyan rasajih klat (Oh itu, buah rumbia –salak Aceh--,
nggak enak rasanya kecut)”. Kendati demikian Nafsiah tetap membelikannya
untuk Irwandi, bahkan sekeranjang.
Girang bukan kepalang, Irwandi pun mengupas buah berkulit tikar itu
dan melahapnya satu. Dan, apa yang terjadi? Dia merasakan buah yang
sangat kecut, dan kesat. Satu pun tak habis dimakannya. Diam-diam dia
meninggalkan sekaranjang buah yang sejatinya sering digunakan buat rujak
Aceh. Sejak itu, Irwandi berhenti minta buah rumbia.
Memasuki usia enam tahun, Nek Teungku menginginkan cucunya menjadi
seorang terpelajar, begitu juga sang ayah, Yusuf, yang berharap anaknya
menjadi orang pintar. Irwandi didaftarkan ke Madrasah Iftidayah Negeri
(MIN) Cot Bada, Kecamatan Peusangan, Kabupaten Bireuen. Pada seorang
guru di sekolah, Yusuf berpesan agar Irwandi jangan dimasukkan ke dalam
kelasnya mengajar. “Leu that ji teumanyoeng (banyak sekali bertanya),”
kata Yusuf kepada guru itu.
Sementara, Nek Teungku yang juga akrab disapa Teungku Gampong yang
menganggap Irwandi sudah mulai bersentuhan dengan dunia luar, selalu
mengingatkan satu hal pada cucunya, “bek jak meurangak bak gob”.
Sangking mendalamnya ajaran ‘bek meurangak’ itulah yang membuat Irwandi
tak pernah berharap mendapat bantuan siapapun. Jika jam makan siang
tiba, dia segera pulang.
Sebab, kalau terlambat tiba di rumah, maka ayah-ibunya ataupun
kakeknya akan bertanya, “nyan pat kayak raheung. Pasti kayak raheung bak
rumoh gob, cet-cet uroe goh lom ka woe (nah di mana kamu raheung. Pasti
pergi raheueng di rumah orang, siang-siang begini belum pulang-pulang?”
Satu kalimat itu sudah cukup membuat Irwandi malu, diapun menunduk
tanpa menjawab langsung ke dapur mengambil piring lalu makan siang.
Begitu juga ketika di rumah tetangga terdengar buah kelapa jatuh sebab
ada yang memanjatnya, langsung kakeknya bilang pada Irwandi “nyan kah
bek kameuraheung boh u muda bak rumoh gob (nah kau jangan meuraheueng
buah kelapa muda tetangga).
***
Setelah bersekolah, Irwandi mulai banyak teman. Tak ada angkutan,
di masa itu mereka sekampung berjalan kaki menuju sekolah yang berjarak
satu kilometer dari gampong. Anak-anak tanpa seragam, beraneka macam
baju yang dikenakan. Bahkan, di antaranya banyak memakai sendal, ada
yang bertelanjang kaki. Setiap hari begitu, mereka pun menjadi akrab dan
menjadi teman sepermainan.
Sepulang sekolah, Irwandi mengisi harinya bercengkrama bersama
teman-teman kecilnya. Salah satu permainan yang suka mereka mainkan
adalah “polisi dan penjahat”. Mereka memakai bedil dari kayu dan pelepah
kelapa. Bersama teman-temannya, dia juga memanfaatkan Paya Kareung
sebagai tempat berenang sambil main kejar–kejaran. Irwandi suka
memancing di sini. Biasanya, dia membawa pulang ikan Petek, Sepat,
Gabus, dan Seungkeo (Lele).
Selain itu, Irwandi bersama teman-teman kecilnya itu juga suka
bermain mobil-mobilan. Tentu bukan membeli, anak-anak di kampung
membuatnya sendiri dari pelepah rumbia. Kesukaan Irwandi berbeda, jika
anak-anak lain membuat truk atau bus, dia malah membuat tank perang.
Bahkan dibikin dua lalu dirancangnya perang-perangan, biar mirip
dibuatnya tembakan dari gelang karet.
Kegemarannya dengan peralatan tentara juga terbawa ke sekolah, saat
melukis pun biasanya dia menggambar peralatan militer, jika pun guru
menyuruhnya bikin lain maka dilukisnya pemandangan.
****
Irwandi di tengah keluarganya, di kenal tak suka ke sawah. Bahkan
Yusuf dan Nafsiah tak bisa menyuruh putranya turun ke sawah, sebab
selalu melihatnya bermain. Jika tak bermain, Irwandi sedang asyik
membaca buku. Semua buku yang dibacanya berasal dari peti buku milik
Yusuf.
Irwandi suka mengacak-acak toeng –peti—itu untuk mencari buku yang
hendak dilahapnya. Mulai dari sebuah novel, buku ilmu teknik ringan,
serta sejarah seperti sebuah buku yang paling disukainya berjudul “Singa
Atjeh” yang bercerita tentang Sultan Iskandar Muda. Dari buku ini dia
mendapat gambaran bagaimana Aceh sangat makmur di zaman Pemerintahan
Kesultanan Iskandar Muda. Aceh di abad-17 sudah mahsyur sampai ke negeri
Cina.
Ayahnya berpesan, buku Singa Atjeh itu jangan sampai rusak. “Nyan
buku gob, ata ta pinjam (itu buku orang yang kita pinjam),” katanya.
Irwandi diam saja, tetapi tiap hari dibacanya sampai buku itu lecek, ada
lembaran-lembaran yang terlepas. “Nyan ka reuleuh lagoe buku, kiban ta
pulang lom (nah itu sudah rusak buku orang, bagaimana mau kita
kembalikan lagi)?” Buku itupun akhirnya entah bagaimana nasibnya.
Salah satu novel yang dibacanya menceritakan tentang dua anak
yatim-piatu. Anak ini sudah ditinggal mati oleh ibunya, dan ayahnya yang
adalah Tentara KNIL tewas di Aceh. Dua anak itu hidup di Jakarta
bersama ibu tirinya. Setiap hari mereka disuruh mengemis di Matraman,
Muara Angke, Pancoran, dan Stasion Kereta Api Gambir, di Jakarta. Uang
yang didapat dari hasil mengemis itu dipakai ibunya untuk kebutuhannya
memadat candu. Sang ibu tiri pecandu narkoba.
Novel dibaca habis, bahkan sampai-sampai air matanya meleleh. Rupanya, dia mengandaikan dirinya menjadi si pengemis cilik itu.
Isi novel bisa diceritakannya secara utuh pada teman-teman
kecilnya. Bahkan dari sini ini pula Irwandi mampu mendiskripsikan
tentang Jakarta seperti dia melihat sendiri ibu kota negara itu. Dari
novel ini pula Irwandi tahu detail tentang Kereta Api, lengkap dengan
bahaya jika berada dekat rel.
Di masa itu, di Bireuen ada Kereta Api yang melintas di kawasan
ini. Irwandi sering was-was jika kereta lewat, “jangan-jangan ada orang
di atas rel.” Itulah sebabnya, ibu-ibu di sana sering menggodanya.
Tatkala ada kereta api melintas, ibu-ibu langsung berteriak, “ada orang
berjalan di atas rel.”
Mendengar jeritan ibu-ibu, Irwandi yang sedang berada di dalam
rumah terperanjat bukan kepalang. Dia pun ikut berteriak, “yu minah, yu
minah laju, bek na bak ren (suruh minggir, jangan ada orang di rel
bahaya).” Teriakannya terdengar se-antero kampung. Akhirnya membuat para
ibu-ibu yang menggodanya tertawa terpingkal-pingkal.
Peti buku itu memang penuh makna bagi Irwandi. Sebab dari situ pula
dia mendapat jawaban berbagai hal yang menjadi pertanyaan di benaknya.
Misalnya buku Ilmu Falak, dari sini dia bisa mengetahui berbagai hal
tentang alam. Di antaranya adalah soal gerhana matahari, gerhana bulan,
dan juga bencana alam.
Ini semua menepis sahibul hikayat yang didengarnya, yaitu tentang
dunia ini yang berada di ujung tanduk lembu, jika lembu bergoyang maka
terjadilah gempa. Gerhana yang didengarnya pertanda akan hari menjelang
kiamat. Dia sangat takut datangnya kiamat, sebab akan berpisah dari
nenek dan orang tuanya. Nah, setelah membaca buku ilmu falak itu dia pun
paham tentang gejala alam.
Dari hasil membaca pula dia mampu melukiskan bagaimana mesin
kenderaan bermotor bekerja. Dia membaca buku mekanik di peti buku
ayahnya, di situ ada satu buku yang menerangkan tentang bagaimana mesin
bekerja secara sederhana. Di usia dini, dia sudah paham bagaimana
bekerja piston, dan pembakaran. Rupanya buku itu telah menjawab
pertanyaan yang terbawa dalam mimpinya, yaitu kenapa mobil bisa berjalan
sendiri?
Sejak itu, dia pun paham mengapa mobil sedan yang digunakan sebuah
perusahaan di dekat kampungnya itu mesinnya ada di bagian belakang.
Ketika bertemu teman-temannya dia pun mengatakan, “nyan moto nyan
mesin jih jiduk di likoet (mobil itu mesinnya ada di belakang).”
Langsung saja mereka menyanggah, “kiban jiduek di likot sedangkan
dijak u keue. Weng jih pih di keu (bagaimana bisa di belakang, sedangkan
jalannya ke depan. Setirnya pun di depan).”
Irwandi pun menjelaskan bahwa, mesin mobil itu bekerja untuk
memutar roda, jadi sangat mungkin bagasi mobil menjadi tempat mesin dan
kap mesin menjadi bagasi. Penjelasan ini, malah membuat teman-temannya
makin mengerutkan dahi.
Tak hanya membuat bingung teman-temannya, kebiasaan Irwandi
terkadang juga membuat Nafsiah mengerutkan dahi. Misalnya, suatu hari
Nafsiah terkejut mendengar gedebak-gedebuk di kebun pisang belakang
rumahnya. Ada pula teriakan, “ciat… ciat..”.
Penasaran, dia pun melongok. Dan yang dilihatnya, Irwandi sedang
meniru gaya kung fu Bruce Lee --bintang film Hong Kong -- dan sasarannya
menggebuk batang pisang. Sang ibu pun hanya bisa menarik nafas
dalam-dalam. Pelajaran karate ini pun dibawanya ke sekolah. Dia
memperagakan jurus-jurusnya saat jam istirahat, lalu mengajak
kawan-kawannya untuk mencoba kemampuannya itu, ya berkelahi.
Seperti itulah, Irwandi melalui masa kecilnya.
*******
Masih kenalkah Anda dengan Irwandi? “Kiban han ta turi, jinoe jih
ka jeuet keu gubernur, watee jiwoe keuen murumpok syit ngeuen kamoe.”
Begitu Mustafa, teman kecil Irwandi, menjawab. Irwandi memang sudah
menjadi seorang gubernur setelah dipilih rakyat Aceh pada 2006, namun
Mustafa tetap seorang petani kecil di Gampoeng Sagoe.[]
Sumber : www.atjehpost.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar