Deskripsi Diri

Khairil Anwar, SE, M.Si lahir di Paya Naden pada 20 April 1978 dari pasangan Tengku Umar bin Abu Bakar dan Fatimah binti Muhammad. Gelar Sarjana di peroleh dari Unsyiah Banda Aceh, sementara gelar Magister di peroleh dari SPs-USU Medan. Sejak tahun 2002 sampai saat ini bekerja sebagai dosen pada Prodi IESP Fakultas Ekonomi Universitas Malikussaleh. Menikah dengan Riza Izwarni dan telah dikarunia dua orang anak; Muhammad Pavel Askari dan Aisha Naury.

Selasa, 17 Januari 2012

BEBERAPA PENDEKATAN DALAM PENGELOLAAN WAQAF


BEBERAPA PENDEKATAN DALAM PENGELOLAAN WAQAF

Mukhlish Muhammad Nur, Lc.,MA
Dosen pada Fakultas Ekonomi
Universitas Malikussaleh Lhokseumawe
Hp: 0852-77049375
Email:sagoe_nyo@yahoo.com



ABSTRAK
Jumlah penduduk miskin di Indonesia masih sangat banyak. Ini menandakan bahwa pembangunan di Indonesia belum merata. Oleh sebab itu, diperlukan pendekatan lainnya agar dapat meminimalkan angka kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Waqaf sebagai sebuah institusi keagamaan telah memainkan peran yang begitu besar dalam pembangunan fisik dan manusia. Hal ini
ditemukan dan dipraktekkan sendiri oleh Rasulullah s.a.w. dan diteruskan oleh khulafaurrasyidin dan sampai sekarang. Dalam perjalanannya yang sangat panjang, waqaf telah memberikan kontribusi yang begitu besar dalam pembangunan fisik dan manusia. Bersamaan dengan semangat kembali kepada Islam secara seutuhnya, maka berdasarkan beberapa penelitian, waqaf sangat diyakini memiliki peran yang besar untuk membangun manusia seutuhnya. Namun demikian, beberapa pendekatan pengelolaan waqaf perlu diperkenalkan di antaranya pendekatan produktif, pendekatan non-produktif dan gabungan. Melalui tiga pendekatan tersebut, maka waqaf di samping dapat membiayai lembaga dan manajemen (nazhir) waqaf itu sendiri, juga dapat memberikan kontribusi bagi pembangunan manusia seutuhnya dari berbagai aspeknya.

Keywords: Waqaf, Nazhir, Pendekatan

PENDAHULUAN

Potensi waqaf di Indonesia sangat besar sekali. Apabila dilihat dari jumlah populasi pemeluk agama Islam maka negara Indonesia termasuk salah satu negara yang memiliki populasi pemeluk agama Islam terbesar di dunia. Karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Menurut wikipedia yang diupdate pada tanggal 23 November 2010, pada tahun 2010, kira-kira 85,1% dari 240.271.522 penduduk Indonesia adalah pemeluk Islam, 9,2% Protestan, 3,5% Katolik, 1,8% Hindu, dan 0,4% Buddha (http://id.wikipedia.org). Dan dalam tabel di bawah ini dapat diketahui masing-masing jumlah pemeluk agama di Indonesia:

Tabel jumlah umat beragama di Indonesia

N0
URAIAN
PERSENTASE
JUMLAH
KET.
1
ISLAM
85,1
204,471,065,222.00

2
PROTESTAN
9,2
  22,104,980,024.00

3
KATOLIK
3,5
    8,409,503,270.00

4
HINDU
1,8
    4,324,887,396.00

5
BUDHA
0,4
       961,086,088.00


Jumlah
100%
240,271,522,000.00


sumber: Dioleh oleh Penulis dari www.id.wikipedia.org

Berdasarkan tabel di atas, maka dapat diketahui bahwa jumlah penduduk beragama Islam menempati rangking pertama yaitu berjumlah 204,471,065,222.00 jiwa. Kemudian diikuti oleh pemeluk agama Protestan berjumlah 22,104,980,024.00 jiwa, 8,409,503,270.00 jiwa pemeluk agama Katolik, 4,324,887,396.00 pemeluk agama Hindu, dan yang terakhir pemeluk agama Budha berjumlah 961,086,088.00 jiwa.

Apabila dilihat dari data kependudukan di atas maka jumlah penduduk muslim menunjukkan perbedaan yang sangat signifikan di mana penduduk Indonesia yang beragama Islam jauh lebih banyak dibandingkan pemeluk agama-agama lainnya di Indonesia. Ini menunjukkan bahwa potensi waqaf di Indonesia sangat besar sekali.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) NAD jumlah penduduk miskin atau penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan di Aceh mencapai 959,7 ribu jiwa atau 23,53 persen dari jumlah penduduk  Aceh saat ini. Kepala BPS NAD Iskandar Asyeik mengatakan, jika dibandingkan dengan penduduk miskin tahun 2007 yang jumlahnya mencapai 1,08 juta jiwa atau 26,65 persen berarti ada penurunan sebesar 3,12 persen. Selama periode 2007-2008, persentase penduduk miskin di daerah pedesaan berkurang sebesar 3,57 persen sedangkan daerah perkotaan berkurang 2,01 persen.

Berdasarkan data Departemen Agama Republik Indonesia tahun 2007, bahwa jumlah harta wakaf dalam bentuk tanah di Indonesia sebanyak 2.686.536.565,68 M2 (2,7 milyar M2) tersebar di 366.595 (Sula, 2008). Dari keseluruhan tanah wakaf yang ada, penggunaannya masih didominasi oleh wakaf fisik yang bersifat sosial, diantaranya 68% digunakan untuk tempat ibadah, 8,51% untuk pendidikan, 8,40% untuk kuburan dan 14,60% untuk lain-lain. (Suparman Usman, 1994: 48.)

Dari data-data tentang pemanfaatan waqaf di Indonesia yang disampaikan oleh Suparman Usman, menunjukkan bahwa waqaf tanah untuk tempat ibadah masih sangat dominan, selanjutnya pendidikan, kuburan dan lain-lain. Dengan demikian, waqaf untuk tujuan pemberdayaan ekonomi masih sangat minim. Padahal apabila aset waqaf dipergunakan untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat miskin maka akan memberikan dampak yang sangat positif bagi peningkatan kesejahteraan umat Islam. Karena menurut data dari BPS, angka kemiskinan di Indonesia masih sangat tinggi.

Angka kemiskinan di tingkat nasional, sebagai dirilis oleh harian Kompas (6 Oktober 2010), menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010, tercatat 13,3 persen dari penduduk Indonesia. Jumlah ini sedikit menurun dibanding tahun 2009 yang angkanya mencapai 14,1 persen. Dan apabila kita menggunakan data kependudukan sebagaimana dirilis oleh wikipedia yaitu 240,271,522,000.00 jiwa maka pada tahun 2009 penduduk miskin berjumlah    33,878,284,602,000 jiwa atau 14,1 persen sedangkan pada tahun 2010 berjumlah    31,956,112,426,000 jiwa atau 13,3 persen.


Sumber: Kompas 4 Oktober 2010

Berdasarkan pie-chart di atas, maka dapat disimpulkan bahwa angka kemiskinan pada tahun 2009 dan tahun 2010 tidak berbeda jauh. Dan ini menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi di Indonesia belum menunjukkan peningkatan yang signifikan. Sehingga penurunan angka kemiskinan belum signifikan.

Di Provinsi Aceh, jumlah penduduk miskin menurut Badan Pusat Statistik (BPS) NAD, jumlah penduduk miskin atau penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan di Aceh mencapai 959,7 ribu jiwa atau 23,53 persen dari jumlah penduduk  Aceh saat ini. Kepala BPS NAD Iskandar Asyeik mengatakan, jika dibandingkan dengan penduduk miskin tahun 2007 yang jumlahnya mencapai 1,08 juta jiwa atau 26,65 persen berarti ada penurunan sebesar 3,12 persen. Selama periode 2007-2008, persentase penduduk miskin di daerah pedesaan berkurang sebesar 3,57 persen sedangkan daerah perkotaan berkurang 2,01 persen (BPS dalam www.acehutara.go.id, rabu 2 juli 2008).

Dari-data kemiskinan di atas menunjukkan bahwa permasalahan kemiskinan masih merupakan permasalahan utama bangsa Indonesia. Karena jumlah penduduk miskin di Indonesia masih sangat tinggi. Oleh sebab itu, melihat populasi umat Islam Indonesia yang begitu besar, maka institusi waqaf yang merupakan salah solusi bagi pemberdayaan masyarakat miskin sehingga akan dapat mengurangi angka-angka kemiskinan di Indonesia. Atas dasar itu, tulisan ini akan mengkaji potensi waqaf dan beberapa model pemberdayaan ekonomi masyarakat miskin.

KONSEP WAQAF

Waqaf, berasal dari bahasa Arab al-waqf bentuk masdar (kata benda) dari kata kerja waqafa yang berarti menahan, mencegah, menghentikan dan berdiam di tempat. Kata al-waqf juga semakna dengan al-habs bentuk masdar dari kata kerja habasa, dan istilah waqf pada awalnya menggunakan kata “alhabs”, hal tersebut diperkuat dengan adanya riwayat hadist yang menggunakan istilah al habs untuk waqf, tapi kemudian yang berkembang adalah istilah waqf dibanding istilah al-habs, kecuali orang-orang Maroko yang masih mengunakan istilah al habs untuk waqf sampai saat ini.

Bagi mayoritas umat Islam Indonesia, pengertian wakaf yang umum diketahui, antara lain, adalah: "menahan harta yang dapat dimanfaatkan tanpa lenyap bendanya, dengan cara tidak melakukan tindakan hukum terhadap benda tersebut, disalurkan pada sesuatu yang mubah (tidak haram) yang ada (al-Ramli, 1984: 357, al-Syarbaini, tth:376); atau "Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya guna kepentingan ibadat atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam" dan "Benda wakaf adalah segala benda, baik bergerak atau tidak bergerak, yang memiliki daya tahan yang tidak hanya sekali pakai dan bernilai menurut ajaran Islam" (Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Buku III, Bab I, Pasal 215, (1) dan (4)); sehingga atas dasar pengertian tersebut, bagi mereka hukum wakaf uang (waqf al-nuqud, cash wakaf) adalah tidak sah.

Imam Abu Hanifah mendefinisikan ” Menahan suatu benda yang kepemilikannya tetap dimiliki oleh si pewakaf, akan tetapi manfaatnya disedekahkan untuk kepentingan umum ” sedangkan Imam Muhammad dan Abu Yusuf yang juga ulama Hanafiyah menyatakan seperti apa yang didefinisikan oleh gurunya tanpa menyebutkan “ untuk kepentingan”.
Sedangkan ulama Malikiyah mendefinisikan wakaf sebagaimana definisi yang diungkapkan oleh ulama Hanafiyah yaitu tidak lepasnya kepemilikan bagi si pewakaf, akan tetapi memberikan hak kepada pihak penerima wakaf untuk menjual objek wakaf tersebut dengan dua syarat ; pertama, dipersyaratkan diawal hak tersebut kepada penerima wakaf ; kedua, ada alasan yang mendesak untuk melakukan hal tersebut. Demikian Ad Dardiir menjelaskan dalam Syarh Al Kabiir.

Ulama Syafi'iyah menyebutkan, “ wakaf adalah menahan harta yang dapat dimanfaatkan dengan tetap menjaga keutuhan barangnya, terlepas dari campur tangan wakif atau lainnya, dan hasilnya disalurkan untuk kebaikan semata-mata, untuk taqarrub kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala ”.

Ulama Hanabilah mendefinisikan wakaf adalah “ menahan asal dan mengalirkan hasilnya ”. Demikian pula Ibnu Qudamah dalam Al Mughni. Definisi ini dianggap paling umum dan menjadi definisi pilihan karena Pertama : definisi ini adalah penukilan dari hadits Nabi SAW kepada Umar bin Khathab RA, “ menahan yang asal dan mengalirkan hasilnya ”, Dan Nabi SAW adalah orang yang paling fasih lisannya dan yang paling sempurna penjelasannya serta yang paling mengerti akan sabdanya. Kedua : Definisi ini tidak dipertentangkan seperti definisi yang lainnya. Ketiga : Bahwa definisi ini hanya membatasi pada hakikat wakaf saja, dan tidak mengandung perincian lain yang dapat mencakup definisi yang lain, seperti mensyaratkan niat mendekatkan diri kepada Allah, atau tetapnya kepemilikan wâqif atau keluar dari kepemilikannya dan perincian-perincian yang lainnya, tetapi menyerahkan perincian itu dalam pembicaraan rukun–rukun dan syarat–syaratnya. Karena masuk dalam perincian terkadang menyimpangkan definisi dari dilalahnya (maksud dan tujuan) dan menjauhi dari sasarannya. (Kubaisy, 1977)

Dr Mundzir Qohf mendefinisikan dengan bahasa kontemporer ” Wakaf adalah penahan harta, baik muabbad (untuk selamanya) atau muaqqat (sementara), untuk dimanfaatkan, baik harta tersebut maupun hasilnya, secara berulang-ulang untuk suatu tujuan kemaslahatan umum atau khusus. ” Dalam bagian lain beliau mengistilahkan ” Wakaf dalam artian umum dan menurut pengertian realitasnya adalah menempatkan harta dan aset produktif terpisah dari tasharruf (pengelolaan) pemiliknya secara langsung terhadap harta tersebut serta mengkhususkan hasil atau manfaatnya untuk tujuan kebajikan tertentu, baik yang bersifat perorangan, sosial, keagamaan maupun kepentingan umum."

Sedangkan dalam redaksi Undang-Undang Wakaf No. 41 tahun 2004 , menyebutkan sebagai berikut: ” Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadat atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam ”. Definisi ini juga seperti yang didefinisikan dalam kompilasi hukum islam di Indonesia.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa benda apa saja sepanjang ia tidak dapat musnah setelah diambil manfaatnya, dapat diwakafkan. Uangpun termasuk benda yang dapat diwakafkan (wakaf tunai), sepanjang uang tersebut dimanfaatkan sesuai dengan tujuan akad wakaf dan tidak habis atau musnah. Jadi uang dapat saja diwakafkan dengan mekanisme membelanjakan uang tersebut pada bendabenda yang memiliki sifat tidak musnah.

Namun, dalam kasus wakaf tunai yang bersifat temporer (temporary wakaf), uang diposisikan juga sebagai harta yang dapat diwakafkan. Dan harta yang diwakafkan bukanlah perpindahan kepemilikan fisik atau materi harta tapi hanya sekedar mewakafkan manfaat kegunaan uang tersebut, yang secara fisik atau materi kepemilikannya tidak berubah. Ta’rif yang cenderung diambil oleh mazhab Maliki, Hambali dan Syafi’i bahwa definisi harta tidak terbatas pada materi tapi juga pada manfaatnya, bahkan unsur manfaat inilah yang menjadi elemen penting dalam mendefinisikan harta.

Sehingga konsekuensi pemahaman ini adalah munculnya perbedaan dalam aplikasi-aplikasi syariah yang melibatkan harta, misalnya dalam mekanisme wakaf yang kita bahas saat ini. Abu Hanifah bahkan secara spesifik berpendapat bahwa wakaf kemudian tidak harus ada perpindahan materi harta tapi cukup pemanfaatan kegunaan harta saja oleh pihak yang membutuhkan (Ghufron A. Mas’adi, 2002).

Selain itu dengan menggunakan pemahaman Maliki, wakaf tunai juga dapat dimanfaatkan untuk pembiayaan pembangunan gedung atau sarana apapun yang sifatnya pinjaman tanpa biaya (free of charge), kecuali biaya administrasi yang dibolehkan syariat dalam proses pinjaman tersebut. Dan diharapkan nanti pemakai bangunan tersebut mengembalikan pinjaman itu untuk dapat digunakan pada program-proglam yang lainnya. Jadi wakaf tunai jumlahnya tidak pernah terpakai untuk biaya administrasi, biaya administrasi diambil dari pengenaan biaya pada pemakai.

Perbedaan pendapat ulama mengenai tabiat objek wakaf adalah karena perbedaan titik pandang mereka tentang kepemilikan objek wakaf tersebut sehingga hal tersebut  mempengaruhi pada definisi yang mereka buat. Ulama Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa kepemilikan objek wakaf tidak berpindah dari si wakif kepada pihak penerima wakaf (atau penerima amanah wakaf) sehingga dimungkinkan menurut pendapat mereka pencabutan atau penarikan kembali objek wakaf oleh si pewakaf dan ahli warisnya, maka wakaf tidak beda dengan hibah manfaat atau sedekah. Sedangkan ulama Syafi’iyah dan ulama Hanabilah berpendapat bahwa kepemilikan objek wakaf lepas dari si pewakaf dan berpindah menjadi milik pengguna wakaf tersebut, dan dalam satu riwayat kepemilikan menjadi kepemilikan Allah SWT. (Hasan Abdullah Amin, 1989)


PERANAN WAQAF DALAM SEJARAH
Dalam Islam, wakaf merupakan ibadah yang bercorak sosial ekonomi yang cukup penting. Dalam sejarah Islam klasik, wakaf telah memainkan peran yang sangat signifikan dalam meningkatkan kesejahteraan kaum muslimin, baik di bidang pendidikan, pelayanan kesehatan, pelayanan sosial dan kepentingan umum, keagamaan, pengembangan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam secara umum. Salah satu bentuk wakaf yang berkembang di zaman klasik Islam bahkan sampai zaman modern ini adalah wakaf tunai.

Telah banyak penelitian historis yang dilakukan oleh para pakar tentang fungsi wakaf dalam berbagai sektor kehidupan umat. Michael Dumper juga menyimpulkan bahwa di Timur Tengah, pada masa kalsik Islam dan pertengahan, institusi wakaf telah memainkan peran yang sangat penting dalam sejarah kaum muslimin dalam membangun kesejahteraan rakyat (Michael Dumper, 1994:1).

Penelitian lain dilakukan oleh R.D McChesney (1991) yang telah menulis buku sebagai hasil penelitiannya tentang Kegiatan Wakaf di Asia Tengah selama lebih kurang 400 tahun. Dalam deskripsi bukunya disebutkan bahwa wakaf dalam rentang waktu yang cukup lama telah berada pada pusat paling penting dari kehidupan umat Islam sehari-hari, membangun lembaga-lembaga keagamaan, cultural dan kesejahteraan. Wakaf juga menjadi sarana yang sah untuk menjaga keutuhan kekayaan keluarga dari satu generasi ke generasi berikutnya. Bahkan penelitian ini menunjukkan betapa pentingnya peran lembaga wakaf dalam kehidupan masyarakat muslim dan ini berfluktuasi sejalan dengan sikap penguasa pemerintah.

Selanjutnya, penelitian yang dilakukan oleh Timur Kuran tentang wakaf di kalangan umat Islam menyebutkan bahwa wakaf Islam telah muncul sebagai sarana komitmen yang dapat dipercaya untuk memberikan keamanan bagi para pemilik harta sebagai imbangan dari layanan sosial. Penelitian ini memberikan hasil bahwa wakaf telah lama berfungsi sebagai instrumen penting untuk memberikan public goods dengan cara yang tidak sentralistik. Pada prinsipnya manajer (nazhir) wakaf harus mematuhi persyaratan yang digariskan oleh pemberi wakaf (wakif). Dalam praktiknya tujuan atau arahan waqif seringkali harus disesuaikan dengan berbagai faktor yang berkembang dalam masyarakat. (Kuran, 2001)

Beberapa penelitian di atas menunjukkan bahwa selama ratusan tahun bahkan lebih dari seribuan tahun, institusi wakaf telah berhasil menjadi instrumen yang penting dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat, baik pendidikan, layanan sosial, ekonomi, keagamaan dan layanan publik lainnya. Keberadaan wakaf dan perannya yang demikian besar, seringkali mengkhawatirkan penguasa pemerintahan Barat atau pemerintaha nasional pasca kemerdekaan dari penjajahan. Kekhawatiran akan semakin menonjolnya peran masyarakat dengan institusi wakaf, melahirkan sejumlah pandangan negatif terhadap sistem wakaf dari para penguasa, karena wewenang pemerintah bisa disaingi atau malah dikalahkan oleh lembaga-lembaga wakaf. Contohnya antara lain, ketika bala tentara Perancis menduduki Al-jazair pada 1831, penguasa kolonial

menguasai dan mengawasi harta wakaf untuk menekan tokoh-tokoh keagamaan yang berjuang melawan penjajahan (Abu al-Afjan, 1985:325).
Dalam berbagai penelitian lainnya tentang sejarah wakaf disebutkan, bahwa sepanjang sejarah Islam, wakaf telah memberikan kontribusi yang cukup besar bagi pembangunan masyarakat, di antaranya:
1. Hampir 75% seluruh lahan yang dapat ditanami di Daulah Khilafah Turki Usmani merupakan tanah wakaf.
2. Setengah (50 %) dari lahan di Aljazair, pada masa penjajahan Perancis pada pertengahan abad ke 19 merupakan tanah wakaf
3. Pada periode yang sama, 33 % Tanah di Tunisia merupakan tanah wakaf
4. Di Mesir sampai dengan tahun 1949, 12,5 persen lahan pertanian adalah tanah wakaf
5. Pada Tahun 1930 di Iran, sekitar 30 persen dari lahan yang ditanami adalah lahan wakaf. (M.A, Mannan,2001: 13)

Sebuah penelitian yang meliputi 104 yayasan Wakaf di Mesir, Suriah, Turki, Palestina dan Anatoly land, menyebutkan bahwa dalam kurun waktu 1340-1947, bagian terbesar dari asset wakaf adalah dalam bentuk real estate, yaitu mencapai 93 % denga rincian sebagai berikut :
1. 58 % dari wakaf, terkonsentrasi di kota-kota besar yang terdiri dari toko, rumah dan gedung.
2. 35 % dari wakaf terdapat di desa-desa yanag terdiri dari lahan pertanian, perkebunan dan tanaman lainnya.
3. 7 % sisanya merupakan dalam bentuk uang (wakaf tunai) (Ibid). Namun informasi terkini berdasarkan hasil kajian yang dilakukan oleh Departemen Agama, perolehan wakaf tunai di Timur Tengah mencapai 20 persen. Menurut Ridwan El-Sayed, wakaf dalam bentuk uang tunai dan dalam bentuk penyertaan saham telah dikenal pada zaman Bani Mamluk dan Turki Usmani dan saat ini telah diterima luas di Turki modern , Mesir, India, Pakistan, Iran, Singapura dan banyak negara lainnya (Lihat, Proceeding of Seminar Management and Development of Awqaf Properties, IRTI-IDB, 1987)
.
Menurut Monzer Khaf, kegiatan wakaf dapat dibagi atas tiga, yaitu wakaf keagamaan, wakaf philanthropic, dan wakaf family atau wakaf keluarga. Wakaf keagamaan biasanya diperuntukkan untuk kegiatan keagamaan seperti mesjid. Mesjid Quba di Madinah merupakan salah satu contoh wakaf keagamaan. Wakaf philantropi antara lain layanan kesehatan, pendidikan, dan sejumlah fasilitas umum lainnya. Sedangkan wakaf keluarga biasanya lebih

ditujukan sebagai jaminan untuk kelangsungan hidup dan kesejahteraan dari keturunan yang ditinggalkan.

PEMBERDAYAAN EKONOMI UMAT MELALUI WAKAF TANAH DAN WAKAF TUNAI
Berdasarkan data Departemen Agama Republik Indonesia tahun 2007, bahwa jumlah harta wakaf dalam bentuk tanah di Indonesia sebanyak 2.686.536.565,68 M2 (2,7 milyar M2) tersebar di 366.595 (Sula, 2008). Dari keseluruhan tanah wakaf yang ada, penggunaannya masih didominasi oleh wakaf fisik yang bersifat sosial, diantaranya 68% digunakan untuk tempat ibadah, 8,51% untuk pendidikan, 8,40% untuk kuburan dan 14,60% untuk lain-lain. (Suparman Usman, 1994: 48.)

Mengutip sebuah studi yang dilakukan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah yang mengungkapkan jumlah unit wakaf yang terdata mencapai hampir 363.000 bidang tanah, dengan nilai secara nominal diperkirakan mencapai Rp590 triliun.

Data-data di atas menunjukkan bahwa potensi waqaf berupa lahan di Indonesia sangat besar sekali. Namun potensi waqaf tersebut belum dimanfaatkan secara produkti sehingga potensi yang begitu tidak memberikan manfaat yang signifikan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk Indonesia. Paradigma yang keliru tentang wakaf menjadi kendala bagi pengelolaan wakaf di Indonesia, sehingga saat ini diperkirakan sekitar 76 persen wakaf di Indonesia tidak dikelola dengan baik, kata Duta Waqf Fund, Marissa Haque Fawzi. (www.waqafcenter.com).

Oleh sebab itu, agar lahan waqaf yang begitu luas dan banyak yang tersebar di seluruh Indonesia dapat memberikan manfaat kepada semua kalangan umat Islam maka lahan waqaf tersebut seyogyanya dikelola dengan baik melalui unit-unit usaha produktif. Dalam hal ini pengelola waqaf (nazhir) memiliki tanggungjawab moral untuk memberdayakan tanah waqaf tersebut pada sentra usaha produktif seperti pembangunan tempat pasar rakyat, usaha perhotelan, pertokoan, rumah sewa dan sebagainya. Unit-unit usaha tersebut akan dapat memberikan nilai lebih bagi semua kalangan umat Islam, karena menjadikan lahan tidur menjadi lahan produktif. Keuntungan dari unit-unit usaha seperti itu dapat dimanfaatkan untuk kegiatan social, pendidikan, ekonomi lainnya seperti menunjang pendidikan dengan pendidikan gratis bagi kaum miskin, modal usaha tanpa bunga bagi kaum miskin, layanan kesehatan gratis, workshop gratis, beasiswa bagi kaum miskin dan sebagainya.

Di samping waqaf tanah, pada masa sekarang juga mulai diperkenalkan tunai. Menurut Agustianto (2006), pengembangan wakaf tunai memiliki nilai ekonomi yang strategis. Dengan dikembangkannya wakaf tunai, maka akan didapat sejumlah keunggulan, di antaranya adalah sebagai berikut:
Pertama, wakaf uang jumlahnya bisa bervariasi sehingga seseorang yang memiliki dana terbatas sudah bisa mulai memberikan dana wakafnya tanpa harus menunggu menjadi orang kaya atau tuan tanah terlebih dahulu, sehingga dengan program wakaf tunai akan memudahkan si pemberi wakaf atau wakif untuk melakukan ibadah wakaf.
Kedua, melalui wakaf uang, aset-aset wakaf yang berupa tanah-tanah kosong bisa mulai dimanfaatkan dengan pembangunan gedung atau diolah untuk lahan pertanian.
Ketiga, dana wakaf tunai juga bisa membantu sebagian lembaga-lembaga pendidikan Islam yang cash flow-nya kembang-kempis dan menggaji civitas akademika ala kadarnya.
Keempat, pada gilirannya, insya Allah, umat Islam dapat lebih mandiri dalam mengembangkan dunia pendidikan tanpa harus terlalu tergantung pada anggaran pendidikan negara yang memang semakin lama semakin terbatas.
Kelima, dana waqaf tunai bisa memberdayakan usaha kecil yang masih dominan di negeri ini (99,9 % pengusaha di Indonesia adalah usaha kecil). Dana yang terkumpul dapat disalurkan kepada para pengusaha tersebut dan bagi hasilnya digunakan untuk kepentingan sosial, dsb.
Keenam, dana waqaf tunai dapat membantu perkembangan bank-bank syariah, khususnya BPR Syariah. Keunggulan dana waqaf, selain bersifat abadi atau jangka panjang, dana waqaf adalah dana termurah yang seharusnya menjadi incaran bank-bank syariah.

Dengan adanya lembaga yang concern dalam mengelola wakaf tunai, maka diharapkan kontribusi dalam mengatasi problem kemiskinan dan kebodohan yang mendera bangsa akan lebih signifikan. Apalagi sebagaimana yang telah dihitung oleh seorang ekonom, Mustafa E. Nasution, Ph.D, potensi wakaf tunai umat Islam di Indonesia saat ini bisa mencapai Rp 3 triliun setiap tahunnya. Bahkan bisa jauh bisa lebih besar.
Hal ini, dikarenakan, lingkup sasaran pemberi wakaf tunai (wakif) bisa menjadi sangat luas dibanding dengan wakaf biasa. Sertifikat Wakaf Tunai dapat dibuat dalam berbagai macam pecahan yang disesuaikan dengan segmen muslim yang dituju yang kira-kira memiliki kesadaran beramal tinggi. Misalkan Rp 10.000,-, Rp 25.000,- 50.000,-, Rp 100.000,- Rp 500.000,- Rp 1.000.000,- Rp 2.000.000.


Jika jumlah umat Islam yang berwakaf 26 juta saja, maka bisa dihimpun dana lebih dari 22 triliun lebih.

Tingkat
Penghasilan
/bulan Rp
Jumlah
Muslim
Tarif wakaf/bulan
Rp
Potensi
Wakaf
Rp
Potensi wakaf/tahun
Rp
1000.000
12 juta
10.000
120 milyar
1,44 triliun
2.500.000
6 juta
25.000
150 milyar
1,70 triliun
5.000.000
4 juta
50.000
200 milyar
2,4 triliun
10.000.000
2 juta
100.000
200 milyar
2,4 triliun
20.000.000
1 juta
500.000
500 Milyard
6 triliun
30.000.000
500.000 orang
1000.000
500 milyar
6 triliun
40.000.000
100 Orang
2.000.000
200 milyard
2,4 triliun
Total
22,4 triliun
Sumber: Agustianto, 2006

Potensi ini mesti segera digarap secara profesional oleh umat Islam Indonesia, khususnya lembaga-lembaga wakaf, bahkan juga oleh lembaga-lembaga keuangan syariah.
Pentingnya pengembangan wakaf di Indonesia tentunya berimplikasi pada bagaimana pengelolaan wakaf yang optimal dalam memberikan pemanfaatan bagi masyarakat. Untuk diperlukan manajemen pengelolaan wakaf yang profesional, amanah, transparan, dan accountable. Untuk itulah perlu dilaksanakan peningkatan kualitas dan kapabilitas para nazhir melalui training, workshop dan kegiatan-kegiatan yang mendukung lainnya.

BEBERAPA PENDEKATAN PENDAYAGUNAAN WAQAF


Dari itu, beberapa pendekatan dalam memberdayakan asset waqaf perlu dilakukan di antaranya seperti yang dilakukan oleh Tabung Waqaf Indonesia (TWI) yaitu melalui tiga pendekatan, yaitu pendekatan produktif, nonproduktif dan terpadu (gabungan pendekatan produktif dan non produktif pada satu objek wakaf). (Rozalinda, 2010:708-709).

a) Pendekatan Produktif

Dalam pendekatan ini, TWI mengelola harta wakaf untuk hal-hal yang sifatnya produktif dan menghasilkan keuntungan. Lalu keuntungan ini akan dimanfaatkan untuk kemaslahatan masyarakat banyak dengan tetap mempertahankan nilai pokok dari harta wakaf (Apiko JM dalam http://www.tabungwakaf. com, 6 Juni 2007, 13.17 WIB). Dalam hal ini, TWI mengalokasikan dana wakafnya untuk usaha peternakan, perkebunan, penyediaan sarana niaga dan bentuk usaha produktif lainnya. Dari hasil usaha tersebut, keuntungannya digunakan untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat miskin.

Penempatan wakaf uang ke sektor produktif dilakukan agar prinsip “tahan pokok dan nikmati hasil” seperti yang digariskan dalam hadis Nabi, bisa terwujud. Dana wakaf dari wakif adalah “pokok”, sedangkan surplus dari pengelolaan dana wakaf adalah “buah”. Hasil inilah yang dialokasikan untuk program-program seperti pembangunan masjid dan sekolah. Untuk itu, dalam perwakafan yang harus diperhatikan adalah tetapnya nilai harta yang diwakafkan. Dalam waktu yang bersamaan wakaf tersebut juga dapat menghasilkan sesuatu yang dapat disalurkan kepada mauquf alaih. (Apiko: Ibid).


b) Pendekatan Nonproduktif,

Berdasarkan pendekatan ini, TWI mengelola harta wakaf untuk hak-hal yang sifatnya tidak menghasilkan keuntungan (nonproduktif). Manfaat yang ditimbulkan dari harta benda wakaf yang bersangkutan adalah karena nilai manfaat yang dapat dirasakan oleh masyarakat sebagai pemetik manfaat wakaf, misalnya TWI mengalokasikan dana wakafnya untuk investasi pendirian sebuah rumah sakit gratis seperti LKC. Ini berarti tidak ada pemasukan sama sekali. Dengan demikian, biaya operasional rumah sakit cuma-cuma tersebut harus dicarikan dari sumber lainnya (Apiko: Ibid). Di samping itu, TWI juga mendirikan sekolah gratis untuk kaum dhuafa seperti Smart Ekselensia, sedangkan seluruh biaya operasional dicarikan dari dana lain seperti zakat, infak, dan sedekah. Wakaf uang yang dialokasikan untuk program sosial, sejatinya kurang tepat, karena asas-asas wakaf yaitu keswadayaan, keberhasilan dan kemandirian, kurang terpenuhi di sini.

c) Terpadu

Yaitu program penyaluran wakaf untuk sarana dan prasarana institusi pelayanan umat dikombinasikan dengan program wakaf dalam bentuk sarana niaga, properti, perkebunan, perdagangan, pertanian, dan lain-lain. Surplusnya disalurkan untuk kaum dhuafa dan atau untuk operasional institusi pelayanan umat dalam satu area program (Apiko: 1430:17). Seperti Rumah Cahaya, sarana perpustakaan dan pelatihan penulisan bagi masyarakat umum yang dikombinasikan dengan aset properti yang disewakan. Kemudian surplusnya digunakan untuk mendukung program perpustakaan dan pelatihan penulisan. Wakaf perkebunan cokelat dan kelapa di Kabupaten Banggai Sulawesi Tengah pun merupakan bentuk program wakaf terpadu TWI. Hasil dari perkebunan cokelat dan kelapa ini digunakan untuk mendanai SMU Mansamat yang berada di daerah itu.




MEKANISME WAQAF TUNAI DAN WAQAF TANAH

Dalam rangka pelaksanaan waqaf tunai dan waqaf tanah maka diperlukan kerjasama dan mekanisme para pihak terkait di antaranya waqif, pengelola waqaf (nazhir), lembaga waqaf, lembaga keuangan syariah (LKS), Instansi Pemerintah, unit usaha dan sebagainya. Bentuk kerjasama dan mekanisme tersebut dapat diilustrasikan sebagai berikut:

Mekanisme Kerjasama Waqaf Tanah



 



















Sumber: diolah oleh Penulis dari Rahmat Hidayat, 2010

Berdasarkan gambar di atas maka dapat dijelaskan bahwa diperlukan kerjasama yang kuat di antara berbagai pihak. Di mana menyerahkan lahannya kepada pengelola waqaf (nazhir), kemudian nazhir melakukan kerjasama dengan pihak lembaga waqaf, seterusnya lembaga waqaf melakukan kerjasama dengan unit usaha tertentu untuk diinvestasikan tanah tersebut menjadi lahan produktif seperti pembangunan rumah untuk disewakan, pasar untuk disewakan, perhotelan, pertokoan dan sebagainya. Dan seterusnya, keuntungan tersebut dibagihasilkan antara lembaga waqaf dan unit usaha menurut proporsi keuntungan yang disepakati. Dan keuntungan tersebut dikembalikan kepada nazhir serta disalurkan kepada sasaran-sasaran waqaf (al-mauquf alaih) seperti pembangunan sarana dan prasarana pendidikan, kesehatan, gaji pegawai lembaga pengelola waqaf, modal usaha dan sebagainya.

Sedangkan untuk waqaf tunai, maka juga harus melalui sebuah mekanisme dan kerjasama di antara berbagai pihak. Hal ini dapat dijelaskan dalam bagan alur berikut ini:


Kerjasama Dan Mekanisme Waqaf Tunai


 





 



























Sumber: Rahmat Hidayat, 2010

Berdasarkan gambar bagan alur di atas maka dapat dijelaskan bahwa mekanisme dan kerjasama yang diperlukan dalam memberdayakan waqaf tunai dimulai oleh lembaga waqaf sendiri yaitu dengan melakukan kerjasama dengan pemerintah agar menerbitkan sertifikat waqaf tunai dengan berbagai nominalnya. Seterusnya sertifikat tersebut diserahkan kepada lembaga keuangan syariah dan memasarkannya. Setelah proses penghimpunan dana melalui pemasaran sertifikat waqaf tersebut dilakukan, seterusnya dana yang terkumpulkan tersebut diinvestasikan pada proyek-proyek yang produktif dan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Keuntungan dari investasi tersebut dimanfaatkan untuk disalurkan kepada sasaran waqaf seperti layanan kesehatan, layanan pendidikan, beasiswa dan sebagainya. Karena investasi memiliki karakteristik yang berbeda, maka untuk menjaga keabadian dana waqaf tersebut diperlukan lembaga penjamin yang akan menjaga keutuhan dana waqaf dari kerugian.

Dalam melakukan investasi, pihak pengelola waqaf bisa saja melakukannya sendiri ataupun mewakilkan kepada pihak lain. Apabila pihak pengelola waqaf melakukannya sendiri, maka seluruh total keuntungan akan diterima oleh pihak pengelola waqaf. Sedangkan apabila pengelola waqaf melakukan kerjasama dengan pihak lain, maka keuntungan tersebut dibagihasilkan sesuai dengan kesepakatan. Berikut ini akan ditampilkan bentuk pembiayaan yang dilakukan secara langsung oleh pihak pengelola waqaf:
Model Pembiayaan Dengan System Direct Financing


 





Text Box: Bagihasil Untuk NazhirText Box: Bagihasil Untuk Investor
 





















Sumber: Diolah penulis dari Rahmat Hidayat, 2010

Berdasarkan gambar di atas maka dapat dijelaskan bahwa nazhir bertindak sebagai pihak pertama sebagai pemegang amanah waqaf sedangkan investor bertindak sebagai pihak kedua yang diberikan kepercayaan oleh nazhir untuk melakukan investasi. Oleh sebab itu, keuntungan dari proyek investasi dibagihasilkan antara nazhir dan investor. Dan apabila terjadi kerugian dalam proyek investasi, maka kerugian tersebut ditanggung oleh lembaga penjamin sehingga dana waqaf dikembalikan secara utuh kepada pihak nazhir. Sedangkan dalam gambar berikut ini merupakan penjelasan tentang mekanisme pembiayaan indirect financing:





Pembiayaan Dengan Sistem Indirect Financing



 





Text Box: BAGI HASIL UNTUK LWText Box: FEE ARRANGERText Box: BAGI HASIL UNTUK UNIT USAHA
 





























Sumber: Diolah penulis dari Rahmat Hidayat, 2010

Berdasarkan gambar di atas, maka dapat dijelaskan bahwa nazhir bertindak sebagai pihak penyandang dana (modal), sedangkan lembaga keuangan syariah bertindak sebagai pihak yang mengatur/ mempertemukan antara pihak nazhir dengan pihak pelaksana investasi. Oleh sebab itu, keuntungan hanya dibagihasilkan antara pihak nazhir dengan pihak pelaksasna investasi. Sedangkan lembaga keuangan syariah hanya menerima fee saja. Dan apabila terjadi kerugian, maka kerugian tersebut ditanggung oleh lembaga penjamin. Sehingga modal yang bersumber dari dana waqaf dikembalikan seutuhnya kepada pihak nazhir.



PENUTUP
Berdasarkan uraian-uraian terdahulu maka dapat disimpulkan bahwa potensi waqaf tanah di Indonesia sangat besar sekali. Berdasarkan data Departemen Agama Republik Indonesia tahun 2007, bahwa jumlah harta wakaf dalam bentuk tanah di Indonesia sebanyak 2.686.536.565,68 M2 (2,7 milyar M2) tersebar di 366.595. Namun potensi tersebut belum dimanfaatkan secara maksimal oleh pengelola waqaf karena lahan tersebut belum dimanfaatkan dalam bentuk produktif. Oleh sebab, pengelolaan waqaf dalam bentuk produktif sangat urgen dilakukan. Karena melalui pemanfaatan waqaf dalam bentuk produktif akan memberikan manfaat yang begitu banyak bagi peningkatan kesejahteraan umat Islam.

Di samping potensi waqaf tanah yang begitu besar, terdapat satu bentuk waqaf lagi pada masa sekarang yaitu waqaf tunai. Dinamakan tunai karena kebalikan dari waqaf tanah. Waqaf tunai bisa terdiri dari uang, surat berharga, cheque dan sebagainya. Dalam waqaf tunai terdapat keistimewaan yaitu keistimewaannya terletak pada kemudahannya. Di mana pewakaf tidak perlu menunggu sampai memiliki lahan berhektar-hektar akan tetapi setiap orang bisa melakukan kegiatan wakaf dengan berbagai nominalnya. Berdasarkan proyeksi potensi waqaf tunai di Indonesia, maka diketemukan bahwa waqaf tunai memiliki potensi yang begitu. Hal ini mengingat populasi umat Islam yang begitu besar yaitu mencapai 85,1 % atau 204,471,065,222.00 jiwa dari total penduduk Indonesia yang berjumlah 240,271,522,000 jiwa.

Dua bentuk waqaf di atas, diyakini akan dapat memberikan solusi bagi berbagai permasalahan pembangunan di Indonesia. Untuk itu, diperlukan beberapa pendekatan dalam pengelolaan waqaf. Di antaranya melalui waqaf produktif, waqaf non-produktif dan waqaf produktif-nonproduktif.  Di samping itu, juga diperlukan peningkatan sumber daya nazhir waqaf (pengelola waqaf). Hal ini dimaksudkan agar dapat memaksimalkan nilai produktifitas waqaf baik diinvestasikan sendiri oleh lembaga pengelola waqaf atau dengan melakukan kerjasama dengan pihak perbankan maupun instansi pemerintah.

















REFERENSI

Abu Su’ud Muhammad, 1997, Risalah fi Jawazi Waqf al-Nuqud, Beirut, Dar Ibn Hazm

al-Khathib al-Syarbaini, T.Th, Mughni al-Muhtaj, Beirut: Dar al-Fikr

Al-Mawardy, Al-Hawi al-Kabir, Tahqiq, Mahmud Mukhraji, (Beirut Dar al-Fikri, 1994), Juz IX

al-Ramli, 1984, Nihayah al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj, Beirut: Dar alFikr

Apiko JM, Di Balik Pendirian Tabung Wakaf Indonesia, http://www.tabungwakaf. com, 6 Juni 2007, 13.17 WIB

Apiko JM, Program Wakaf TWI, Tawadu Media Tabung Wakaf Indonesia, edisi 04, Tahun II 1430 H

Ibn Abidin, Rad al-Mukhtâr ala al-Dâr al-Mukhtâr Syarah Tanwir al-Abshâr

Kahf, M,  (1999), Towards the Revival of Awqaf: A Few Fiqhi Issues to Reconsider,

Kahf, M, (1993), Waqf and Its Sociopolitical Aspects, http://www.kahf.net/papers.html.

Khalil, Jabril. 2008. Standarisasi Nazhir Wakaf Uang Profesional, Al-Awqaf, Vol. 1, Nomor 01, Desember 2008.

M.A, Mannan, 2001, Sertifikat Wakaf Tunai, terjemahan, Jakarta, UI

MA, Mannan, Mobilization Effors Cash Waqf Fund at Local, National and International Levels for Development of Sosial Infrastructure of the Islamic Ummah and Establishment of World Sosial Bank, makalah disampaikan dalam International Seminar on Awqaf 2008; Awqaf: The Social and Economic Empowermant of the Ummah, Malaysia, 11-12 Agustus 2008

Michael Dumper, 1994, Wakaf Muslimin di Negara Yahudi, (Jakarta : Penerbit Lentera,

Monzer Kahf, 2000, Al-Waqf al-Islâmī Tathawwaruh, Idâratuh, Tanmiyatuh, (Damaskus: Dâr al-Fikr

Nasution, Mustofa E.. 2008. Peran Badan Wakaf Indonesia (BWI) dalam Pengembangan
Nomor 01, Desember 2008.

Paper Presented at the Harvard Forum on Islamic Finance and Economics, October 1, 1999, Harvard University, U.S.A.

Proceeding of Seminar Management and Development of Awqaf Properties, IRTI-IDB, 1987

Qahaf, M, (2005),Manajemen Wakaf Produktif, Jakarta: Khalifah

Rahmat Hidayat, 2010, Potensi wakaf untuk pembangunan Perumahan di Indonesia dalam Seventh International Conference – The Tawhidi Epistemology: Zakat and Waqf Economy, Bangi 2010

Sula, Menakar Kerjasama Nazhir dengan Lembaga Keuangan Syariah, Al-Awqaf, Vol. 1
,
Suparman Usman, Hukum Perwakafan di Indonesia, (Kudus: Percetakatan Menara Kudus, 1994
Uswatun Hasanah, Wakaf Uang dalam Bentuk Investasi, Modal No.26-Maret 2005

Wakaf di Indonesia, Al-Awqaf, Vol. 1, Nomor 01, Desember 2008.

http://www. id.wikipedia.org





1 komentar:

  1. infonya terima kasih tapi sedikit terjanggal di fikiran saya yaitu manakah yang termasuk waqaf non produktif?

    BalasHapus