Deskripsi Diri

Khairil Anwar, SE, M.Si lahir di Paya Naden pada 20 April 1978 dari pasangan Tengku Umar bin Abu Bakar dan Fatimah binti Muhammad. Gelar Sarjana di peroleh dari Unsyiah Banda Aceh, sementara gelar Magister di peroleh dari SPs-USU Medan. Sejak tahun 2002 sampai saat ini bekerja sebagai dosen pada Prodi IESP Fakultas Ekonomi Universitas Malikussaleh. Menikah dengan Riza Izwarni dan telah dikarunia dua orang anak; Muhammad Pavel Askari dan Aisha Naury.

Jumat, 30 Desember 2011

Indikator kemiskinan


Ada dua pendekatan seseorang tergolong sebagai orang miskin. Pertama, pendekatan absolut yang menekankan pada pemenuhan kebutuhan fisik manusia. Tolok ukur yang dipakai adalah kebutuhan keluarga, dengan memperhatikan kebutuhan minimal yang harus dipenuhi oleh suatu
keluarga agar dapat melangsungkan kehidupannya secara sederhana, tetapi memadai sebagai warga masyarakat yang layak. Termasuk didalamnya kebutuhan akan pangan, perumahan, sandang, pemeliharaan kesehatan dan pendidikan anak. Menurut pendekatan ini kemiskinan dipahami sebagai suatu keadaan dimana seseorang atau sekelompok orang tidak mampu mencapai kebutuhan fisik pada tingkat minimal dari standar kebutuhan yang sudah ditetapkan (Suparlan, 1993).
Kedua adalah pendekatan relatif yang mendefinisikan kemiskinan dalam kaitannya dengan kebutuhan seseorang di dalam masyarakat. Tolok ukur yang dipakai adalah tingkat pendapatan kepala keluarga per bulan atau per tahun. Berdasarkan tolok ukur ini seseorang yang tergolong miskin ditentukan berdasarkan kedudukan relatifnya dalam masyarakat dengan memperhatikan sejauhmana mutu kehidupannya berbeda dibandingkan dengan rata‑rata mutu kehidupan yang berlaku secara keseluruhan. Menurut pendekatan relatif, kemiskinan sekelompok orang dalam masyarakat yang hidup dalam keadaan melarat, terhina, dan tidak layak disebabkan tidak meratanya pembagian pendapatan di dalam masyarakat.
Kemiskinan dapat juga ditentukan dengan cara membandingkan tingkat pendapatan individu atau keluarga dengan pendapatan yang dibutuhkan untuk memperoleh kebutuhan dasar minimum. Dengan demikian, tingkat pendapatan minimum merupakan pembatas antara keadaan miskin dan tidak miskin. Konsep kemiskinan seperti ini dikenal sebagai konsep kemiskinan absolut. Pada kondisi lain bila tingkat pendapatan sudah mencapai tingkat pemenuhan kebutuhan dasar minimum, tetapi masih jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan pendapatan masyarakat di sekitarnya. Dalam pengertian masih berada dalam keadaan miskin bila dibandingkan dengan keadaan masyarakat di sekitarnya. Konsep kemiskinan seperti ini dikenal sebagai kemiskinan relatif (Esmara, 1986).
Dengan demikian, sekurang‑kurangnya ada dua pendekatan yang digunakan untuk pemahaman tentang kemiskinan, yaitu pendekatan absolut dan pendekatan relatif. Pendekatan pertama adalah perspektif yang melihat kemiskinan secara absolut yaitu berdasarkan garis absolut yang biasanya disebut dengan garis kemiskinan (Syahrir, 1992). Pendekatan yang kedua adalah pendekatan relatif, yaitu melihat kemiskinan itu berdasarkan lingkungan dan kondisi sosial masyarakat.
Pendekatan yang sering digunakan oleh para ahli ekonomi adalah pendekatan dari segi garis kemiskinan (poverty line). Garis kemiskinan diartikan sebagai batas kebutuhan minimum yang diperlukan seseorang atau rumah tangga untuk dapat hidup dengan layak. Akan tetapi, diantara para ekonom terdapat perbedaan dalam menetapkan tolok ukur yang digunakan untuk menetapkan garis kemiskinan tersebut.
Para pakar kemiskinan dan lembaga pemerintah mencoba menetapkan garis kemiskinan tersebut berdasarkan alasan yang logis, yaitu berdasarkan kebutuhan pokok (basic needs). Kebutuhan pokok merupakan kebutuhan minimum yang diperlukan untuk kelangsungan hidup manusia baik yang berupa konsumsi individu seperti perumahan, pakaian, ataupun keperluan pelayanan sosial seperti kebutuhan air minum, transportasi, kesehatan, dan pendidikan (Sumardi dan Dieter, 1985).
Manullang (1971) membedakan kebutuhan pokok (basic needs) menjadi dua, yaitu kebutuhan primer dan kebutuhan skunder. Kebutuhan primer adalah kebutuhan yang paling utama, untuk mempertahankan hidup seperti makanan, pakaian, dan perumahan. Kebutuhan sekunder adalah kebutuhan yang diperlukan guna melengkapi kebutuhan primer seperti alat‑alat dan perabotan.
Sinaga dan White (1980) menyatakan bahwa kemiskinan dibedakan dalam dua bentuk, yaitu kemiskinan alamiah dan kemiskinan buatan. Kemiskinan alamiah merupakan kemiskinan yang timbul sebagai akibat sumberdaya yang langka jumlahnya atau karena perkembangan teknologi yang rendah. Kondisi ini dapat diatasi dengan pembangunan infrastruktur fisik, pemasukan modal serta pengembangan teknologi baru. Kemiskinan buatan (tidak jauh bedanya dengan kemiskinan struktural). Menurut mereka, bahwa kemiskinan lebih erat hubungannya dengan perubahan‑perubahan struktur ekonomi, teknologi dan pembangunan itu sendiri. Karena kelembagaan yang ada membuat masyarakat tidak menguasai sarana ekonomi dan fasilitas secara merata. Kemisknan buatan ini dapat diatasi, misalnya dengan mencari strategi perombakan struktural kelembagaan serta hubungan sosial ekonomi dalam masyarakat.
Untuk menghasilkan program yang benar‑benar mengenai sasaran penduduk miskin tersebut perlu dibuat pengelompokan penduduk miskin berdasarkan kriteria yang jelas, yaitu melalui penetapan suatu batas kemiskinan yang sesuai dengan keadaan kemiskinan di daerah itu sendiri. Penetapan batas kemiskinan tersebut haruslah berdasarkan landasan teori yang kuat sehingga dapat digunakan sebagai batas kemiskinan yang sesuai dengan keadaan kemiskinan di suatu lokasi dengan kondisi dan waktu tertentu. Garis kemiskinan dapat pula digunakan untuk melihat berapa luas kemiskinan di suatu daerah, yaitu dengan melihat persentase penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan tersebut. Dengan demikian, garis kemiskinan dapat juga digunakan sebagai indikator keberhasilan pembangunan yang dilaksanakan di suatu daerah (Todaro, 1994).
Menurut BPS (2007), keluarga yang sama sekali tidak mempunyai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok atau orang yang mempunyai sumber mata pencaharian akan tetapi tidak dapat memenuhi kebutuhan keluarga yang layak bagi kemanusiaan dengan ciri‑ciri atau kriteria sebagai berikut :
(i)      Pembelanjaan rendah atau berada di bawah garis kemiskinan, yaitu kurang dari Rp.175.324 untuk masyarakat perkotaan, dan Rp.131.256 untuk masyarakat pedesaan per orang per bulan di luar kebutuhan non pangan;
(ii)     Tingkat pendidikan pada umumnya rendah dan tidak ada keterampilan;
(iii)    Tidak memiliki tempat tinggal yang layak huni, termasuk tidak memiliki MCK;
(iv)    Pemilikan harta sangat terbatas jumlah atau nilainya;
(v)     Hubungan sosial terbatas, belum banyak terlibat dalam kegiatan kemasyarakatan; dan
(vi)    Akses informasi (koran, radio, televisi, dan internet) terbatas.
Menurut Sajogyo (1977), garis kemiskinan berdasarkan kebutuhan minimum rumah tangga adalah senilai 2.140 kg beras setiap orang per tahun di pedesaan dan 360 kg beras setiap orang per tahun di daerah kota. Penetapan garis kemiskinan ini yang setara dengan nilai beras dimaksudkan ini untuk dapat membandingkan tingkat hidup antar waktu dan perbedaan harga kebutuhan pokok antar wilayah. Pendapat  Sajogyo ini pada masa berikutnya mendapat kritikan dari Both dan Sundrum, karena dalam kenyataannya beras tidak merupakan bahan kebutuhan pokok penduduk pedesaan yang miskin terutama di Pulau Jawa.
Selain itu, taksiran Sajogyo masih mengundang kritik karena digunakannya data konsumsi rumah tangga dan mengalihkannya menjadi data dalam arti per kapita, yaitu dengan membaginya dengan ukuran rumah tangga rata‑rata di setiap daerah. Di sini dianggap ukuran rumah tangga dalam setiap kelompok pengeluaran masyarakat adalah sama sedangkan pada kenyataannya tidak demikian (Suparta, 1997).
            Dalam literatur studi kemiskinan didokumentasikan bahwa ukuran garis kemiskinan berdasarkan kemampuan pengeluaran per kapita untuk memenuhi suatu tingkat minimum kebutuhan kalori mula‑mula dikemukakan oleh Den Daker dan Rath pada tahun 1971 dalam studi mereka di India. Ukuran garis kemiskinan ini kemudian diterapkan di Indonesia oleh BPS (Arief, 1993).
            Di Indonesia untuk pertama kali BPS (tahun 1984) menetapkan garis kemiskinan berdasarkan nilai makanan dalam rupiah setara dengan 2.100 kalori per orang setiap hari ditambah dengan kebutuhan non pangan yang utama seperti sandang, pangan, transportasi, dan pendidikan.
Secara garis besar ada dua cara orang memandang kemiskinan. Sebagian orang berpendapat bahwa kemiskinan adalah suatu proses, sedangkan sebagian lagi memandang kemiskinan sebagai suatu akibat atau fenomena di dalam masyarakat. Sebagai suatu proses, kemiskinan mencerminkan kegagalan suatu sistem masyarakat dalam mengalokasikan sumber daya dan dana secara adil kepada anggota masyarakatnya. Dengan demikian, kemiskinan dapat dipandang pula sebagai salah satu akibat dari kegagalan kelembagaan pasar dalam mengalokasikan sumber daya yang terbatas secara adil kepada seluruh anggota masyarakat. Paham ini mengemukakan konsep tentang kemiskinan nisbi atau sering pula dikenal sebagai kemiskinan struktural. Di dalam konsep kemiskinan nisbi dinyatakan bahwa garis kemiskinan berubah‑ubah menurut kondisi perekonomian yang bersangkutan.
Pandangan tentang kemiskinan sebagai suatu fenomena atau gejala dari suatu masyarakat melahirkan konsep kemiskinan mutlak. Dalam kemiskinan mutlak, suatu perekonomian mempunyai patokan garis kemiskinan yang tetap sepanjang waktu. Misalkan garis kemiskinan suatu perekonomian dinyatakan konsumsi kalori, yaitu  2.100 kalori per hari. Jika nilai tersebut dianggap konstan sepanjang waktu, maka kemiskinan yang terjadi di perekonomian tersebut adalah kemiskinan mutlak.
Tolok ukur kemiskinan dari BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional) dikategorikan ke dalam kelompok Pra KS 1 (Pra Keluarga Sejahtera Tahap Pertama) disebut miskin, bila lima indikator di bawah ini tidak dipenuhi oleh keluarga tersebut, yakni :
(i)           Anggota keluarga melaksanakan ibadah agama;
(ii)         Pada umumnya anggota keluarga makan dua kali sehari atau lebih;
(iii)       Anggota keluarga memiliki pakaian yang berbeda untuk di rumah, belanja/sekolah, dan bepergian;
(iv)       Bagian lantai yang terluas bukan dari tanah; dan
(v)         Anak sakit atau pasangan usia subur ingin ber KB dibawa ke sarana kesehatan.
            Departemen Sosial menetapkan bahwa seseorang individu berada di bawah Garis Fakir Miskin (GFM) apabila tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok minimal, yaitu sejumlah rupiah untuk membayar makanan setara 2.100 kkal sehari ditambah nilai sewa rumah dan nilai satu stel pakaian. Batas miskin untuk makanan ditambah pengeluaran minimum untuk pemenuhan kebutuhan bukan makanan itulah yang disebut Garis Kemiskinan.

1 komentar: